Azizi Fathoni K.
Belakangan
ini ada sebagian kalangan menolak syari’at khilafah dengan menjadikan hadits
Nabi –shallallâhu ‘alaihi
wa sallam– tentang khilafah 30 tahun sebagai alasan bagi penolakan mereka. Hadits
yang dimaksud adalah hadits Safinah berikut.
( الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً
ثُمَّ مُلْكًا بَعْدَ ذَلِكَ ) ثُمَّ قَالَ سَفِينَةُ : أَمْسِكْ خِلَافَةَ أَبِي
بَكْرٍ وَخِلَافَةَ عُمَرَ وَخِلَافَةَ عُثْمَانَ وَأَمْسِكْ خِلَافَةَ عَلِيٍّ
رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ قَالَ: فَوَجَدْنَاهَا ثَلَاثِينَ سَنَةً.
“Khilafah
di ummatku berlangsung selama 30 tahun kemudian setelah itu kerajaan.” Kemudian
Safinah berkata: Peganglah khilafah Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan Ali –radhiyallâhu ‘anhum–, maka kami mendapatinya
itu berlangsung selama 30 tahun. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)[1]
Berdasarkan hadits ini mereka
mengatakan bahwa khilafah hanya berlangsung selama 30 tahun saja, dan setelah
itu tidak ada lagi khilafah. Oleh karenanya -masih menurut mereka-, tidak perlu
memperjuangkan dan menerapkan khilafah, sebab itu merupakan kesia-siaan.
Pemahaman di
atas adalah keliru ditinjau dari beberapa aspek:
Kewajiban Khilafah Berlaku Untuk
Selamanya
Secara
normatif para ulama seluruhnya sepakat bahwa khilafah hukumnya wajib. Berkata Al-Imam
An-Nawawi Asy-Syafi’i (w. 676 H):
«وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى
الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ
وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنِ الْأَصَمِّ أَنَّهُ قَالَ لَا يَجِبُ وَعَنْ غَيْرِهِ
أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ»
Para ulama
telah bersepakat bahwa wajib atas kaum muslimin untuk mengangkat seorang
khalifah. Dasar kewajibannya adalah dalil syara’ bukan akal. Adapun riwayat
pendapat Al-Ashamm (tokoh Muktazilah) yang mengatakan tidak wajib, dan pendapat
lain yang mengatakan wajibnya berdasarkan akal bukan dalil syara, keduanya
adalah pendapat batil.[2]
dan kewajiban tersebut terus
berlaku sejak wafatnya Rasulullah –shallallâhu ‘alaihi wa sallam– sampai datangnya
hari kiamat. Al-Imam Burhanuddin Ibrahim Al-Laqqani Al-Maliki (w. 1041 H)
menerangkan dalam syarahnya atas nazham beliau sendiri, yaitu Jauharah
At-Tauhîd:
«مَبْحَثُ الإِمَامَةِ أَوِ الْخِلَافَةِ الْعُظْمَي
... ( وَوَاجِبٌ نَصْبُ إِمَامٍ ) يَعْنِي بِهِ أَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ مِنَ الوَاجِبَاتِ
عَلَى الْأُمَّةِ ، وَالْفُرُوْضِ الْكِفَائِيَّةِ فِي الْجُمْلَةِ ، فَيُخَاطَبُ
بِذَلِكَ جَمِيْعُ الْأُمَّةِ مِنِ ابْتِدَاءِ مَوْتِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
– إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ .»
Pembahasan
tentang imamah atau khilafah yang agung[3] … (matn: dan
wajib mengangkat seorang imam/khalifah) artinya bahwa mengangkat imam/khalifah adalah
termasuk kewajiban atas umat Islam, dan wajibnya tergolong fardhu kifayah.
Seruan wajibnya berlaku atas seluruh umat Islam sejak wafatnya Rasulullah –shallallâhu ‘alaihi wa sallam–
sampai datangnya hari kiamat.[4]
Tidak
dijumpai seorangpun dari ulama muktabar yang menggunakan hadits Safinah
tersebut untuk menegasikan atau membatasi kewajiban khilafah. Justru yang ada
semua ulama sepakat khilafah hukumnya wajib dan itu berlaku sampai hari kiamat.
Maka bahaya menganggap khilafah terbatas hanya terbatas 30 tahun saja, sebab
itu berarti melanggar ijmak yang derajatnya mutawatir.
Ulama Mengakui Berlangsungnya
Khilafah Selama Berabad-abad
Secara
praktis para ulama juga mengakui keberlangsungan khilafah meski jauh
berabad-abad lamanya selepas 30 tahun tersebut. Tergambar dalam ungkapan Al-Imam
‘Adhduddin Al-Iji Asy-Syafi’i (w. 756 H) ini misalnya:
«إنه تواتر إجماع المسلمين في الصدر الأول
بعد وفاة النبي على امتناع خلو الوقت عن إمام ، حتى قال أبو بكر رضي الله عنه في خطبته
: ألا إن محمدا قد مات ولا بد لهذا الدين ممن يقوم به ، فبادر الكل إلى قبوله
وتركوا له أهم الأشياء وهو دفن رسول الله . ولم يزل الناس على ذلك في كل عصر إلى
زماننا هذا من نصب إمام متبع في كل عصر. »
Bahwasannya
telah sampai secara mutawatir perihal terjadinya ijma’ oleh kaum muslim di
periode awal (para sahabat) pasca wafatnya Nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam– atas
ketidak-bolehan adanya masa yang kosong dari keberadaan seorang imam/khalifah.
Sampai-sampai Abu Bakar ra. berkata dalam khutbahnya: Ketahuilah bahwa Muhammad
telah meninggal, dan harus ada orang yang terus menegakkan agama ini. Maka para
sahabat pun bergegas menerimanya dan demi hal itu mereka menunda perkara yang
sangat penting yaitu memakamkan jenazah Rasulullah –shallallâhu ‘alaihi wa sallam–. Kaum
muslimin terus menjalankan hal itu di setiap masa sampai pada masa kami saat
ini, yaitu mengangkat seorang imam/khalifah yang ditaati di setiap masa.[5]
Bahkan diakui oleh kibar ulama Al-Azhar
bahwa khilafah itu baru diruntuhkan pada tahun 1924 M/1342 H. Sebagaimana
diungkapkan oleh Asy-Syaikh Prof. Dr. As-Sayyid Taqiyuddin As-Sayyid dalam kata
pengantar beliau untuk kutaib berjudul Radd Hai`ah Kibâr ‘Ulamâ` ‘alâ Kitâb Al-Islâm wa Ushûl Al-Hukm:
«فَقَدْ كَانَ لِنَبَأِ إِلْغَاءِ الْخِلَافَةِ
فِي أَوَائِلِ مَارِسْ 1924 م / 1342 ه وَقْعٌ أَلِيْمٌ فِي جَمِيْعِ الْبِلَادِ
الْإِسْلَامِيَّةِ. »
Sungguh
berita tentang dihapuskannya khilafah di awal bulan Maret tahun 1924 M/1342 H
menjadi sebuah peristiwa yang sangat memilukan di seluruh negeri-negeri Islam.[6]
Itu
artinya, para ulama tidak memahami hadits Safinah di atas sebagai hadits yang
membatasi keberlangsungan khilafah secara mutlak. Sehingga masih mengaggap
masa-masa setelah 30 tahun sebagai periode khilafah.
Banyak Hadits Menunjukkan Khilafah
tidak Terbatas 30 Tahun
Terdapat
banyak hadits yang menunjukkan bahwa khilafah tidak terbatas hanya 30 tahun
saja. Diantaranya adalah:
Pertama, hadits tentang akan
munculnya khalifah dalam jumlah yang banyak. Dimana lima khalifah di 30 tahun
pertama, yaitu Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi
Thalib, dan Hasan bin ‘Ali, masih belum terbilang banyak.
( كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ )
Dahulu
Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan
digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi
lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah yang berjumlah banyak."
(HR. Muslim)[7]
Mejelaskan hadits ini, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah Al-Hambali (w. 728 H) mengatakan:
«(
فتكثر ) دليل على من سوى الخلفاء
الراشدين ، فإنهم
لم يكونوا كثيرًا .
وأيضًا قوله : ( فوا بيعة الأول فالأول ) دلّ على أنهم يختلفون ، والراشدون لم
يختلفوا. »
(Lalu mereka
berjumlah banyak) ini menjadi dalil (kekhalifahan) bagi selain khulafa
rasyidun, karena mereka (khulafa rasyidun) belum terbilang banyak. Demikian
juga sabda Beliau (penuhilah baiat siapa yang paling pertama diangkat)
menunjukkan bahwa mereka mengalami perbedaan sedangkan khulafa rasyidun tidak.[8]
Ke-dua, hadits yang memberitakan
akan kemunculan 12 khalifah, yang diantara redaksinya berbunyi:
( لَا يَزَالُ هَذَا الدِّينُ قَائِمًا
حَتَّى يَكُونَ عَلَيْكُمْ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ
الْأُمَّةُ ) ، ( كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ )
“Agama ini
akan senantiasa tegak hingga muncul di antara kalian dua belas khalifah, dan umat
Islam akan bersatu di bawah kepemimpinan setiap mereka.”, “Mereka semua dari
suku Quraisy”. (HR. Abu Dawud)[9]
Sedangkan masa khilafah 30 tahun
pada realitanya hanya mengakomodasi 5 khalifah saja, yaitu khulafa’ rasyidun
ditambah Hasan bin Ali –radhiyallâhu
‘anhum-. Maka hadits 12 khalifah ini meniscayakan khilafah lebih dari 30 tahun
untuk mengakomodasi para khalifah lainnya.
Terlebih
jika dipahami bahwa 12 khalifah itu tidak muncul secara bersusulan, karena ke-khas-an
sifat mereka yang disebutkan dalam hadits 12 khalifah. Yaitu berasal dari suku
quraisy, bersifat adil dan bisa mempersatukan umat Islam. Sebagaimana
dijelaskan oleh Al-Imam Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi Asy-Syafi’i (w. 806 H):
«قلتُ وليس المراد بالاثني عشر خليفةً على الولاء، بل المراد:
من اجتمعت عليه الكلمةُ من قريشٍ، وكانوا أهلَ العدل. والظاهر: أن آخرَهم المهدي، فإنه يملك جميعَ الأرض، وبعده يقعُ الهرجُ. »
Aku (Al-Imam
Al-‘Iraqi) katakan: yang dimaksud dengan 12 khalifah bukanlah yang muncul
secara bersusulan, melainkan yang dimaksud adalah mereka yang dapat menyatukan
umat, dari keturunan quraisy, dan memiliki sifat ‘adil. Yang jelas bahwa yang
terakhir adalah Al-Mahdi. Sebab dia akan menguasai seluruh dunia, dan setelah
itu akan terjadi huru-hara.[10]
Dan lebih rinci lagi Al-Imam
Jalaluddin As-Suyuthi Asy-Syafi’i (w. 911 H) menyebutkan siapa saja 12 khalifah
tersebut.
«قلت:
وعلى هذا فقد وجد
من الاثني عشر خليفة الخلفاء الأربعة، والحسن، ومعاوية، وابن الزبير، وعمر بن عبد
العزيز، هؤلاء ثمانية، ويحتمل أن يضم إليهم المهتدي من العباسيين؛ لأنه فيهم كعمر
بن عبد العزيز في بني أمية، وكذلك الظاهر لما أوتيه من العدل، وبقي الاثنان
المنتظران أحدهما المهدي.»
Saya (Imam
Suyuthi) katakan: atas dasar ini, maka dijumpai dua belas khalifah itu adalah
para khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), lalu Hasan,
Muawiyah, Ibnu Zubair, dan Umar bin Abdul Aziz, mereka sudah delapan khalifah. Dan
dapat digabungkan kepada mereka, Al-Muhtadi dari kalangan khalifah Bani Abbas,
karena bagi mereka beliau seperti Umar bin Abdul Aziz bagi Bani Umayah. Begitu
pula at-Thahir, karena beliau diberi sifat adil. Dan masih tersisa dua khalifah
lagi yang masih dinanti-nantikan, salah satunya adalah Imam Mahdi.[11]
Maka untuk
tergenapinya jumlah mereka membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan sampai
menjelang hari kiamat. Karena di antara mereka adalah Al-Mahdi yang diberitakan
akan muncul di akhir zaman.
Ke-tiga, hadits tentang kedatangan
khalifah Al-Mahdi. Banyak sekali hadits yang memberitakannya. Bahkan derajatnya
menurut sejumlah ulama sudah mencapai mutawatir maknawi. Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Aburi
As-Sajistani (w. 363 H) misalnya, beliau mengatakan:
«قد تواترت
الأخبار واستفاضت بكثرة رواتها عن المصطفى صلى الله عليه وسلم -يعني في المهدي-
وأنه من أهل بيت النبي صلى الله عليه وسلم , وأنه يملك سبع سنين, ويملأ الأرض
عدلاً وأنه يخرج مع عيسى بن مريم, ويساعده في قتل الدجال بباب لد بأرض فلسطين»
Telah
sampai hadits-hadits dari Rasulullah –shallallâhu ‘alaihi wa sallam– (maksudnya
tentang Al-Mahdi) secara mutawatir dan mustafidh karena saking banyaknya para
perwainya. Bahwa beliau dari keturunan Nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam–, dan
akan berkuasa selama tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan. Beliau akan keluar
bersama Nabi ‘Isa bin Maryam yang membantunya dalam membunuh Dajjal di gerbang
Lud di tanah Palestina.[12]
Ke-empat, hadits tentang kemunculan
khalifah yang dermawan di akhir zaman. Al-Imam Muslim bin Hajjaj dalam kitab
shahihnya meriwayatkan hadits yang berbunyi:
( يَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي خَلِيفَةٌ
يَحْثِي الْمَالَ حَثْيًا، لَا يَعُدُّهُ عَدَدًا )
"Diakhir ummatku nanti
akan ada seorang khalifah yang menebar harta tanpa menghitung-hitung jumlahnya."[13]
Di riwayat beliau yang lain dengan
redaksi:
( يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَلِيفَةٌ
يَقْسِمُ الْمَالَ وَلَا يَعُدُّهُ )
"Diakhir
zaman nanti akan ada seorang khalifah yang membagikan harta tanpa menghitung-hitungnya."[14]
Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H)
menjelaskan hadits tersebut dengan mengatakan:
« وهذا الحثو الذي يفعله هذا الخليفة يكون
لكثرة الأموال والغنائم والفتوحات مع سخاء نفسه. »
Pembagian
harta yang dilakukan oleh khalifah ini terjadi disebabkan karena saking
banyaknya harta, melimpahnya rampasan perang, serta gencarnya futuhat, disamping
juga sifat dermawan yang dimiliki oleh khalifah.[15]
Ini
mengisyaratkan bahwa akan berlangsung kembali di akhir zaman atau di akhir umat
Islam kelak kekhilafahan islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang
dermawan yang menghidupkan kembali amalan futûhât dalam
menyebarkan Islam.
Ke-lima, hadits tentang munculnya
masa khilâfah alâ minhâji-n-nubuwwah yang
kedua. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya
dari jalur sahabat Hudzaifah ibn Al-Yaman:
( تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ
أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ
خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ
تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ
اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ )
Akan
berlangsung masa kenabian di tengah-tengah kalian selama masa yang Allah
kehendaki, lalu Dia mengakhirinya bila berkehendak mengakhirinya. Kemudian
berlangsung kekhilafahan yang berdasarkan metode kenabian selama masa yang
Allah kehendaki, lalu Dia mengakhirinya bila berkehendak mengakhirinya.
Kemudian berlangsung masa kerajaan yang menggigit selama masa yang Allah
kehendaki, lalu Dia mengakhirinya bila berkehendak mengakhirinya. Kemudian
berlangsung masa kekuasaan yang diktator selama masa yang Allah kehendaki, lalu
Dia mengakhirinya bila berkehendak mengakhirinya. Kemudian akan berlangsung
kembali kekhilafahan yang berdasarkan metode kenabian.[16]
Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hafizh
Zainuddin Al-‘Iraqi[17] dan Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Haitami[18]. Meski
ada perbedaan apakah masa khilâfah alâ minhâji-n-nubuwwah yang
kedua di situ sudah terrealisasi di masa khalifah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz
sebagaimana dugaan perawinya yang bernama Habib bin Salim, ataukah akan
berlangsung di akhir zaman sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam Al-‘Iraqi, Al-Imam
Ibnu Hajar Al-Haitami, dan Al-Imam Ali Al-Qari, yang jelas keduanya sama-sama
membatalkan pemahaman bahwa khilafah terbatas 30 tahun saja. Sebab, 30 tahun di
hadits Safinah adalah masa berlangsungnya khilâfah alâ minhâji-n-nubuwwah yang
pertama saja, sedangkan di hadits Hudzaifah di atas menyebutkan akan ada masa khilâfah alâ minhâji-n-nubuwwah yang
kedua.
Bagaimana Memahami Hadits Safinah
Antara
hadits Safinah tentang khilafah 30 tahun dengan hadits-hadits lain di atas yang
menunjukkan keberlangsungan khilafah di masa setelahnya -baik setelahnya langsung
maupun di akhir zaman- sama-sama merupakan hadits maqbul yang shahih atau
minimal hasan. Namun seolah-olah keduanya mengalami ta’arudh
(kontradiksi). Sehingga yang dilakukan oleh para ulama adalah
mengkompromikannya berdasarkan kaidah i’mâlu-d-dalîlayni awlâ min ihmâli ahadi-himâ (mengamalkan
dua dalil itu lebih utama daripada mengabaikan salah satunya). Al-Imam Al-Muhaqqiq
Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i (w. 974 H) misalnya, mengkompromikan hadits
Safinah dan hadits 12 khalifah di atas dengan mengatakan:
« فَإِنْ
قُلْتَ يُنَافِي هَذَا خَبَرُ الْاِثْنَي عَشَرَ خَلِيْفَةً السَّابِقُ.
قُلْتُ: لَا يُنَافِيْهِ لِأَنَّ أَلْ هُنَا لِلْكَمَالِ فَيَكُوْنُ الْمُرَادُ هُنَا الْخِلَافَةُ
الْكَامِلَةُ ثَلَاثُونَ سَنَةً وَهِيَ مُنْحَصِرَةٌ فِي الْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ
وَالْحَسَنِ لِأَنَّ مُدَّتَهُ هِيَ الْمُكَمِّلَةُ لِلثَّلَاثِيْنَ وَالْمُرَادُ
ثُمَّ مُطْلَقُ الْخِلَافَةِ الَّتِي فِيْهَا كَمَالٌ وَغَيْرُهُ لِمَا مَرَّ أَنَّ
مِنْ جُمْلَتِهِمْ نَحْوَ يَزِيْدِ بْنِ مُعَاوِيَةَ. »
Jika anda
mengatakan: hadits ini (hadits Safinah) bertentangan dengan hadits 12 khalifah
di atas. Maka aku (Ibnu Hajar al Haitami) katakan: Tidak bertentangan. Karena
'alif lam' di situ (pada lafadz Al-khilafah di hadits Safinah) adalah untuk
menunjukkan kesempurnaan[19]. Sehingga
maksudnya di situ "khilafah yang sempurna (Al-khilâfah Al-kâmilah) itu berlangsung selama 30 tahun".
Yaitu terbatas pada khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), dan Al-Hasan
karena masa kepemimpinannya menyempurnakan hitungan menjadi 30 tahun. Maka maksudnya,
kemudian (setelah itu) adalah khilafah secara mutlak, yang di dalamnya ada yang
sempurna dan ada yang tidak. Berdasarkan apa yang telah lalu, bahwa diantara
mereka ada yang semisal Yazid bin Muawiyah.[20]
Lantas
bagaimana memahami lanjutan dari hadits Safinah yang berbunyi tsumma
mulk[an] ba’da dzâlika (kemudian
setelah itu menjadi kerajaan)? Bukankah itu menunjukkan bahwa setelah masa
khilafah 30 tahun yang berlangsung kemudian adalah kerajaan. Maka kita jumpai
itu sudah dijelaskan oleh Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Farra` Al-Hambali (w. 458 H)
sebagaimana dikutip oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
« قَالَ
السَّائِلُ: فَلَمَّا خَصَّ الْخِلَافَةَ بَعْدَهُ بِثَلاَثِيْنَ سَنَةً، كَانَ آخِرَهَا
آخِرُ أَيَّامِ عَلِيٍّ وَأَنَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَكُوْنُ مُلْكًا، دَلَّ عَلَى أَنَّ
ذَلِكَ لَيْسَ بِخِلَافَةٍ . فَأَجَابَ الْقَاضِي: بِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ
الْمُرَادُ بِهِ "الْخِلَافَةَ" الَّتِيْ لَا يَشُوْبُهَا مُلْكٌ بَعْدَهُ
"ثَلَاثُوْنَ سَنَةً"
وَهَكَذَا كَانَتْ خِلَافَةُ الْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ . وَمُعَاوِيَةُ : قَدْ شَابَهَا الْمُلْكُ ؛ وَلَيْسَ هَذَا
قَادِحًا فِي خِلَافَتِهِ . »
Penanya
berkata: tatkala Rasulullah –shallallâhu ‘alaihi wa sallam– mengkhususkan
khilafah sepeninggal beliau itu 30 tahun, dan itu selesai dengan berakhirnya masa
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, dan bahwa kemudian setelah itu menjadi
kerajaan, maka itu menunjukkan (masa setelah 30 tahun) bukan khilafah. Maka Al-Qadhi
(Abu Ya’la Al-Farra`) menjawab: bahwasannya dimungkinkan maksudnya adalah khilafah
yang tidak tercampuri dengan unsur kerajaan sepeninggal beliau adalah 30 tahun,
begitulah kekhilafahan para khalifah yang empat. Sedangkan (kekuasaan)
Mu’awiyah, telah tercampuri unsur kerajaan tersebut. Namun hal itu tidak menciderai
perihal kekhilafahan beliau.[21]
Menegaskan kekhalifahan sahabat
Mu’awiyah, berkata Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki (w. 543 H) dalam
kitabnya Al-‘Awâshim wa Al-Qawâshim:
« فمعاوية
خليفة وليس بملك. فإن قيل: فقد روي عن سفينة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
«الخلافة ثلاثون سنة، ثم تعود ملكًا» فإذا عددنا من ولاية أبي بكر إلى تسليم الحسن
كانت ثلاثين سنة لا تزيد ولا تنقص يومًا، قلنا: ... وهذا حديث لا يصح. ولو صح فهو
معارض لهذا الصلح المتفق عليه، فوجب الرجوع إليه»
Mu’awiyah
adalah seorang khalifah, bukan raja. Jika dikatakan ada riwayat dari Safinah
bahwa Nabi –shallallâhu ‘alaihi
wa sallam- bersabda: “khilafah itu 30 tahun, lalu kembali menjadi kerajaan”
jika dihitung sejak berkuasanya Abu Bakar sampai penyerahan kekuasaan oleh
Hasan (kepada Mu’awiyah) maka jumlahnya 30 tahun, tidak kurang dan tidak lebih
walaupun sehari. Maka kami (Al-Qadhi Ibnu Al-‘Arabi) katakan: … hadits ini (hadits
Safinah) tidak shahih. Bahkan meski shahih sekalipun dia bertentangan dengan
adanya perdamaian (ash-shulh) yang telah disepakati, maka wajib merujuk
kepadanya (perdamaian yang disepakati).[22]
Selain Al-Qadhi
Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi Al-Maliki ada Al-Imam Ibnu Khaldun Al-Maliki (w. 808
H) yang juga mendha’ifkan hadits Safinah tersebut.
«وَلَا يُنْظَرُ فِي ذَلِكَ
إِلَى حَدِيْثِ ( الْخِلَافَةُ بَعْدِي ثَلَاثُوْنَ سَنَةً ) فَإِنَّهُ لَمْ يَصِحَّ»
Terkait
hal itu (perihal kekhalifahan Mu’awiyah) tidak perlu memperhitungkan hadits
“khilafah setelahku 30 tahun” karena hadits itu tidak shahih.[23]
Pen-dha’îf-an tersebut
bisa dipahami lantaran semua jalur hadits Safinah melalui seorang perawi
bernama Sa’id bin Jumhan, yang statusnya diperselisihkan. Sebagian ulama
menguatkannya, di antaranya Al-Imam Abu Dawud dan Al-Imam Ibnu Hibban.
Sedangkan sebagian lainnya melemahkannya, diantaranya Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam
Abu Hatim.[24]
Merangkum
dua point di atas, bahwa yang dimaksud dengan khilafah 30 tahun adalah khilafah
yang sempurna, dan bahwa setelah itu masih berlangsung khilafah meskipun telah
tercemari oleh ajaran sistem kerajaan, Al-Imam Sa’duddin At-Taftazani (w. 791 H)
dalam syarahnya atas Al-‘Aqâ`id An-Nasafiyyah
mengatakan:
«وَلَعَلَّ الْمُرَادَ أَنَّ الْخِلَافَةَ الْكَامِلَةَ
الَّتِي لَا يَشُوْبُهَا شَيْءٌ مِنَ الْمُخَالَفَةِ وَمَيْلٌ عَنِ الْمُتَابَعَةِ
تَكُوْنُ ثَلَاثِيْنَ سَنَةً ، وَبَعْدَهَا قَدْ يَكُوْنُ وَقَدْ لَا يَكُوْنُ. »
Semoga
maksudnya adalah bahwa khilafah yang sempurna yang tidak tercampuri oleh
pelanggaran dan penyimpangan itu akan berlangsung selama 30 tahun. Adapun
setelah itu, bisa berupa khilafah yang sempurna dan bisa tidak.[25]
Sampai di
sini dapat disimpulkan bahwa, membatasi khilafah hanya 30 tahun saja dengan
berdasarkan hadits Safinah tersebut tidak benar dan berkonsekwensi cukup
serius. Yaitu menyalahi ijmak yang derajatnya mutawatir tentang kewajiban
khilafah, dan menabrak hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa setelah itu
masih berlangsung khilafah, baik setelahnya tepat maupun saat kemunculannya di
akhir zaman. Mengingkari di antara khalifah yang 12 yang muncul setelah masa 30
tahun, termasuk mengingkari kemunculan khalifah terakhir Al-Mahdi. Apalagi
hadits Safinah tersebut menyisakan kritik pada sebagian perawinya dan
didha’ifkan oleh sebagian ulama.
Adapun dengan
asumsi bahwa hadits Safinah shahih, maka menurut hasil kompromi dengan
hadits-hadits shahih yang lain oleh para ulama, yang benar adalah membatasi
sifat idealnya khliafah (khilâfah kâmilah) bukan
membatasi khilafah secara mutlak. Sehingga dijumpai para ulama tidak menjadikan
hadits ini untuk menegasikan kewajiban khilafah yang berlaku sampai hari kiamat.
Juga tidak menjadikannya untuk menegasikan keberlangsungan khilafah setelah 30
tahun serta kemunculannya kembali di akhir zaman. Inilah sikap yang benar yang
memuaskan akal dan menentramkan hati. Wallâhu a’lam[]
[1]
Abu Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzî (Beirut: Dar Al-Gharab
Al-Islami) 4/73 (hadits nomor 2226), dan Ahamad bin Hambal, Al-Musnad
(Beirut: Muassasah Ar-Risalah) 36/256 (hadits nomor 21928).
[2]
Ibnu Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim (Beirut: Dar
Ihya` At-Turats Al-‘Arabi) 12/205
[3] “Setiap
kali disebutkan kata imamah secara mutlak maka artinya adalah khilafah.” (wa-matâ
uthliqati-l-imâmah insharafat li-l-khilâfah). Lihat Abdussalam bin
Ibrahim Al-Laqqani. Ittihâf Al-Murîd bi Jauharah At-Tauhîd
(Mesir: Mathba’ah As-Sa’adah) hlm 259
[4]
Ibrahim Al-Laqqani, Hidâyah Al-Murîd
li-Jauharah At-Tauhîd (Kairo: Dar Al-Basha`ir) 2/1277
[5]
‘Adhduddin Al-Iji, Al-Mawâqif (Beirut: ‘Alam Al-Kutub) 3/575
[6] As-Sayyid
Taqiyuddin As-Sayyid, Radd Haiah Kibâr ‘Ulamâ`
‘alâ
Kitâb
Al-Islâm wa Ushûl Al-Hukm (bagian mukadimah).
(Kairo: Majallah Al-Azhar) hlm 3
[7]
Muslim bin Hajjaj, Shahîh Muslim (Beirut: Dar Ihya`
At-Turats Al-‘Arabi) 3/1471 (nomor hadits 1842)
[8]
Ibnu Taimiyyah, Majmû’ Al-Fatâwâ
(KSA: Majma’ Al-Malik Fahd) 35/20
[9]
Abu Dawud, Sunan Abî Dâwûd
(Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah) nomor hadits 4279
[10]
Al-‘Iraqi, Mahajjah Al-Qurab ilâ Mahabbah Al-‘Arab (Riyadh:
Dar Al-‘Ashimah) hlm 172
[11]
Jalaluddin As-Suyuthi, Târîkh Al-Khulafâ` (Qatar:
Wizarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyyah) hlm 77
[12]
Al-Aburi, Manâqib Al-Imâm Asy-Syâfi’i (Amman: Dar
Al-Atsariyyah) hlm 95. Lihat juga Muhammad bin Ja’far Al-Kattani, Nazhm Al-Mutanâtsir
min Al-Hadîts Al-Mutawâtir (Kairo: Dar Al-Kutub
As-Salafiyyah) hlm 226-228, dan Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq Al-Hasani, Al-Mahdî Al-Muntazhar
(Beirut: ‘Alam Al-Kutub) hlm 8-10
[13]
Muslim bin Hajjaj, Shahîh Muslim (Beirut: Dar Ihya`
At-Turats Al-‘Arabi) 4/2234 (nomor hadits 2913)
[14] Ibid,
4/2235 (nomor hadits 2914)
[15]
Ibnu Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim (Beirut: Dar
Ihya` At-Turats Al-‘Arabi) 18/39-40
[16]
Ahamad bin Hambal, Al-Musnad (Beirut: Muassasah Ar-Risalah) 30/355
(hadits nomor 18406)
[17]
Lihat Al-‘Iraqi, Mahajjah Al-Qurab ilâ Mahabbah Al-‘Arab (Riyadh:
Dar Al-‘Ashimah) hlm 177
[18]
Lihat Ibnu Hajar Al-Haitami, Mablagh Al-Arab fî Fakhr Al-‘Arab (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah) hlm 39
[19]
Atau disebut lâm Al-kamâl. Lihat Al-Ahdal, Al-Kawâkib
Ad-Durriyyah Syarh Mutammimah Al-Ajurrûmiyyah (Beirut: Muassasah
Al-Kutub Ats-Tsaqafiyyah) 1/150
[20] Ibnu
Hajar al Haitami, ash-Shawâ'iq Al-Muhriqoh (Beirut: Muassasah
Ar-Risalah) hlm 66. Penjelasan serupa, lihat Al-Imam Al-Munawi, Faidh Al-Qadîr
(Kairo: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra) 3/679
[21]
Ibnu Taimiyyah, Majmû’ Al-Fatâwâ
(KSA: Majma’ Al-Malik Fahd) 35/26
[22]
Ibnu Al-‘Arabi, Al-‘Awâshim wa Al-Qawâshim
(Beirut: Dar Al-Jil) hlm 200
[23]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn (Beirut: Dar Al-Fikr)
2/650
[24]
Lihat Al-Mizzi, Tahdzîb Al-Kamâl (Beirut: Muassasah
Ar-Risalah) 10/377; dan Mughlathaya, Ikmâl Tahdzîb Al-Kamâl
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah) 3/279
[25] Sa’duddin
At-Taftazani, Syarh Al-‘Aqâ`id an-Nasafiyyah (Istambul: Dar
Asy-Syafaqah) hlm 447
0 comments:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.