Seputar Khilafah

Kamis, April 23, 2015
0
Seputar Khilafah
1. Pengertian Khilafah
Secara istilah kata Al-Khilâfah memiliki persamaan dengan Al-Imâmah dan Imâratu-l-Mukminîn. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmû' Syarhu-l-Muhadzdzab mengatakan:

والإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة

“Al-Imâmah, Al-Khilâfah, dan Imâratu-l-Mukminîn adalah sinonim.”[1]

Sedangkan pengertiannya menurut para ulama, diantaranya adalah sebagaimana berikut.
1. Menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H):

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدينِ وسياسة الدنيا

“Imamah adalah sebutan bagi pengganti kenabian dalam menjaga Dien (Islam) dan mengurus urusan dunia.”[2]

2. Menurut Imam An-Nawawi (w. 676 H):

والمراد بها الرياسة العامة في شؤونِ الدينِ والدنيا

“… yang dimaksud dengannya adalah: Kepemimpinan umum dalam urusan-urusan Dien (Islam) dan urusan-urusan dunia.”[3]

3. Menurut Imam Al-Iji (w. 756 H):

هي خلافة الرسول في إقامة الدين وحفظ حوزة الملة بحيث يجب اتباعه على كافة الأمة

“… dia adalah pengganti Rasulullah saw dalam menegakkan Dien (Islam), dan menjaga keutuhan Millah (Islamiah), yang wajib diikuti oleh seluruh umat.”[4]

4. Menurut Ibn Khaldun (w. 808 H):

فهي في الحقيقة خلافة عن صاحب الشرع في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“… dia pada hakikatnya adalah pengganti (peran) Allah swt dalam menjaga agama dan mengurus dunia dengan agama.”[5]

Adapun definisi Khilafah yang bersifat jaami’ (komprehensif) dan maani’ (protektif), yang sekaligus juga mengakomodasi definisi-definisi para ulama di atas adalah:

رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم

“Kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia, guna menerapkan hukum-hukum syara’, dan mengemban dakwah islamiah ke seluruh alam.”[6]

2. Empat Pilar Negara Khilafah
Sistem Khilafah tegak di atas empat pilar: (1) As-Siyaadah (kedaulatan) berada di tangan syara’; (2) As-Sulthaan (kekuasaan) berada di tangan rakyat; (3) Mengangkat satu orang Khalifah fardhu atas seluruh kaum Muslim; (4) Hanya Khalifah yang berhak mengadopsi hukum syariah[7]. Jika salah satu saja dari empat pilar tersebut tiada, maka suatu pemerintahan tidak bisa disebut sebagai pemerintahan Islam[8].

1) As-Siyaadah (kedaulatan) berada di tangan syara’

Kedaulatan adalah otoritas absolut tertinggi, sebagai satu-satunya pemilik hak untuk menetapkan hukum segala sesuatu dan perbuatan[9]. Berdasarkan firman Allah swt:

قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ [الأنعام: 57]

“Katakanlah: Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’aam [6]: 57)

Karena penetapan hukum hanya milik Allah swt semata, maka peran penguasa (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam hanya sebagai pelaksana, tanpa memiliki wewenang sedikitpun untuk membuat hukum. Dan haram hukumnya bagi penguasa untuk memberhentikan pelaksanaan hukum-hukum Islam, untuk kemudian berhukum dengan selainnya. Imam Ibnu Katsir berkata:

ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المحكم المشتمل على كل خير ، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات ، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله ، ... فلا يحكم بسواه في قليل ولا كثير ، قال الله تعالى : ﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ﴾ أي : يبتغون ويريدون ، وعن حكم الله يعدلون . ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾ أي : ومن أعدل من الله في حكمه لمن عَقل عن الله شرعه ، وآمن به وأيقن وعلم أنه تعالى أحكم الحاكمين .

“Allah mengingkari siapa-siapa (penguasa) yang tidak menerapkan hukum Allah swt yang jelas, konprehensif meliputi setiap kebaikan dan mencegah dari setiap keburukan, serta berpaling kepada selainnya yang berupa pendapat, hawanafsu, dan istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar kepada syari'at Allah swt, … maka tidak boleh berhukum dengan selain hukum Allah swt, baik sedikit maupun banyak. Allah swt berfirman (yang artinya): “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki”, atau: yang mereka kehendaki dan mereka mau, sedangkan dari hukum Allah swt mereka berpaling. “dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” atau: siapakah yang lebih adil syari’atnya daripada hukum Allah swt bagi siapa-siapa yang berfikir tentang Allah swt, mengimani-Nya, dan yakin serta tahu bahwa Allah swt adalah seadil-adilnya hakim.”[10]

2) As-Sulthaan (kekuasaan) berada di tangan rakyat
Bahwa pengangkatan seorang kepala negara (khalifah) dalam pemerintahan Islam tidak lain adalah berdasarkan pilihan umat dengan metode bai’at. Baik dari mayoritas umat, atau yang mewakili mereka, yaitu ahlu al-halli wa al-‘aqdi; dan khalifah hanya mengambil kekuasaan melalui bai’at umat ini[11]. Diantara yang menggambarkan bahwa khalifah dipilih oleh umat adalah hadits shahih dari Abu Hurairah ra berikut.

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون قالوا فما تأمرنا قال فوا ببيعة الأول فالأول أعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم

Dari Nabi saw beliau bersabda: Adalah Bani Israil mereka diurus oleh para nabi-nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi setelahku, dan yang akan ada adalah para khalifah dalam jumlah yang banyak. Para sahabat bertanya: lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami?, Nabi menjawab: “Tunaikanlah bai’at bagi yang pertama dan pertama, berikanlah kepada mereka hak-hak mereka, sungguh mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah swt atas apa yang mereka urus.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3) Mengangkat satu orang Khalifah fardhu atas seluruh kaum Muslim
Jumlah khalifah di setiap masa tidak boleh lebih dari satu. Berdasarkan hadits shahih riwayat Muslim berikut.

عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi (w. 676 H) berkata:

واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد ، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا

“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.”[12]

Al-Imam Al-Amin As-Sinqithi (w. 1393 H) menyatakan:

قول جماهير العلماء من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا ، وأن لا يتولى على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه مسلم في صحيحه من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما .

“Pendapat jumhur ‘ulama: Bahwa berbilangnya khalifah adalah tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa atas wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali umara’ yang diangkat oleh khalifah, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir (diba’at) di antara keduanya.”[13]

4) Hanya Khalifah yang berhak mengadopsi hukum syariah
Satu-satunya yang berhak mengadopsi hukum syari’ah untuk kemudian diterapkan atas kaum muslim adalah khalifah, berdasarkan ijma’ shahabat. Misalnya, saat pemerintahan Abu Bakar, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali dihukumi talak satu. Namun, saat pemerintahan Umar bin Al-Khaththab, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali dihukumi talak tiga. Tidak ada satupun sahabat Nabi saw yang mengingkari tindakan keduanya. Dengan demikian, telah terjadi Ijma’ Shahabat dalam dua perkara. Pertama: Khalifah berhak mengadopsi dan menetapkan hukum syariah yang diberlakukan secara umum kepada seluruh rakyat. Kedua: wajib atas rakyat menaati Khalifah dalam hukum-hukum syariah yang telah diberlakukan[14].

3. Pandangan Ulama tentang Wajibnya Khilafah
Berikut ini pandangan beberapa Ulama ahlus sunnah wal jama’ah lintas madzhab tentang wajibnya Khilafah.Imam 'Alauddin al-Kasaaniy dari madzhab Hanafi:

... ولأن نصب الإمام الأعظم فرض بلا خلاف بين أهل الحق ولا عبرة بخلاف بعض القدرية لإجماع الصحابة رضي الله عنهم على ذلك ولمساس الحاجة إليه لتقيد الأحكام وإنصاف المظلوم من الظالم وقطع المنازعات التي هي مادة الفساد وغير ذلك من المصالح التي لا تقوم إلا بإمام

“… dan dikarenakan pengangkatan Imam A’zham (khalifah) adalah fardhu tanpa perbedaan diantara Ahlul-Haqq (pengikut kebenaran), tidak diperhitungkan perbedaan kalangan Qadariyyah dikarenakan ijma’ shahabat ra atas nya, dan besarnya kebutuhan terhadapnya karena keterikatan hukum-hukum syara’, menolong orang yang terzhalimi dari yang menzhalimi, menutuskan persengketaan yang merupakan sumber kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan lainnya yang tidak bisa tegak tanpa keberadaan seorang Imam.”[15]

Imam Al Qurthubi dari madzhab Maliki:

هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة؛ يسمع له ويطاع؛ لتجتمع به الكلمة وتنفذ به أحكام الخليفة، ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة، ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم
“Ayat ini (Al-Baqarah: 30) merupakan landasan bagi pengangkatan seorang Imam dan Khalifah yang didengarkan dan ditaati, agar suara kaum muslim bersatu, dan diterapkannya hukum-hukum khalifah. Tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam dan para Ulama tentang wajibnya Khilafah, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Ashamm, yang mana dia benar-benar tuli terhadap syari’at.”[16]
Imam An-Nawawi dari madzhab Asy-Syaafi’i:
وأجمعوا على أنه يجب على المسلمين نصب خليفة ووجوبه بالشرع لا بالعقل ، وأما ما حكي عن الأصم أنه قال : لا يجب ، وعن غيره أنه يجب بالعقل لا بالشرع فباطلان
“… dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa wajib atas kaum muslim untuk mengangkat seorang khalifah, dan wajibnya berdasarkan nash syara’ bukan berdasarkan logika. Adapun yang dikisahkan dari Al-Ashamm bahwa dirinya berkata: tidak wajib, dan (yang dikisahkan) dari selainnya (yang mengatakan) bahwa wajibnya berdasarkan logika bukan berdasarkan nash syara’, maka keduanya adalah pendapat yang bathil.”[17]
Imam Umar bin Ali bin Adil dari madzhab Hambali:
هذه الآية (البقرة 30) دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة ، إلاّ ما روي عن الأصَمّ وأتباعه أنها غير واجبةٍ في الدين
“Ayat ini (al-baqarah 30) merupakan dalil atas wajibnya mengangkat imam dan khalifah yang didengarkan dan ditaati, guna persatuan suara kaum muslimin, dan diterapkannya hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbedaan dalam wajibnya hal tersebut diantara para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Ashamm dan para pengikutnya, bahwa ia (khilafah) tidak wajib dalam agama.”[18]
Abdurrahman Al-Jaziri:
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على أن الإمامة فرض ، وأنه لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين ويُنصف المظلومين من الظالمين .
“Para Imam (An-Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris, dan Ahmad bin Hambal) rahimahumullaah telah bersepakat bahwa Imamah adalah wajib, bahwa harus ada seorang Imam bagi kaum muslim yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama, dan menolong mereka yang terzhalimi dari orang-orang yang menzhalimi.”[19]
Ibn Hazm dari madzhab Adz-Dzahiri:
اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الامة واجب عليها الإنقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي آتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم ، حاشا النجدات من الخوارج
“Telah bersepakat seluruh Ahli Sunnah, seluruh Murji’ah, Seluruh Syi’ah, Seluruh Khawarij atas wajibnya Imamah, dan bahwa wajib atas umat untuk tunduk terhadap seorang Imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah swt di tengah-tengah mereka, serta mengurus urusan-urusan mereka dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa Rasulullah saw, kecuali kalangan An-Najdaat dari kelompok kawarij.”[20]

Tidak hanya wajib, khilafah juga merupakan perkara penting dan mendesak, sehingga para sahabat lebih mendahulukannya daripada menunaikan kewajiban memakamkan jenazah Nabi Muhammad saw. Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy menyatakan:
اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله واختلافهم في التعيين لا يقدح في الإجماع المذكور
“Ketahuilah juga bahwa para sahabat ra telah bersepakat bahwa pengangkatan seorang Imam setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban yang terpenting, dimana mereka menyibukkan diri dengannya dari memakamkan Rasulullah saw. Sedangkan perbedaan mereka dalam penentuan (siapa khalifahnya) tidak membatalkan ijma’ yang telah disebutkan.”[21]

Terakhir, ada baiknya merenungkan apa yang dilantunkan Hanzhalah bin Ar-Rabi’ ra, sahabat sekaligus juru tulis Nabi saw, saat beliau menyaksikan konspirasi yang dilakukan sebagian penduduk Mesir, Kufah, dan Bashrah dalam rangka melengserkan khalifah Utsman bin ‘Affan ra dari kekhilafahan.
عجبت لما يخوض الناس فـيه * يرومون الخلافة أن تزولا
ولو زالت لزال الخير عنـهم * ولاقوا بعدها ذلا ذلـيلا
وكانوا كاليهود أو النصارى * سواء كلهم ضلوا السبيلا
“Aku heran dengan apa yang menyibukkan orang-orang ini # mereka berharap agar khilafah segera lenyap”
“Jika ia sampai lenyap sungguh akan lenyap pula semua kebaikan dari mereka # dan mereka akan menjumpai kehinaan yang amat sangat.”
“Adalah mereka kemudian seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani # mereka semua sama-sama berada di jalan yang sesat.” [22]

Wallaahu Ta’aalaa A’lam []

---------------------------------------------------

[1] An-Nawawi, Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 19/191

[2] Al-Mawardi, Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah wa Al-Wilaayaat Ad-Diiniyyah, hlm 3

[3] Ibid.

[4] Al-Iji, Al-Mawaaqif, 3/579

[5] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm 97

[6] Hizbut Tahrir, Al-Khilaafah, hlm 1. Lihat juga An-Nabhaani, Muqaddimah Ad-Dustuur, hlm 118, dan Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/6

[7] An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm 109

[8] An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islaamiyyah, hlm 201

[9] Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm 24

[10] Al-Marja’ As-Saabiq, 3/131

[11] Lihat An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm 111; dan Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm 20

[12] An-Nawawi, Syarh An-Nawawî ‘alâ Muslim, 12/232

[13] As-Sinqithi, Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh Al-Qur’ân bi Al-Qur’ân, 3/39

[14] Lihat An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm 17

[15] 'Alauddin al-Kasaaniy, Badaa-i’u-sh-Shanaa-i' fii Tartiibi-sy-Syaraa-i', 14/406

[16] Al Qurthubi Al-Malikiy, Al-Jaami' li-Ahkaami Al-Qur’aan, 1/265

[17] An-Nawawi, Syarh Shahiih Muslim, 6/291

[18] Umar bin Ali bin Adil, Tafsiiru-l-Lubaab fii 'Uluumi-l-Kitaab, 1/204

[19] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala-l-Madzaahibi-l-'Arba'ah, 5/308

[20] Ibn Hazm, Al-Fashl fî Al-Milal wa Al-Ahwâ' wa An-Nihal, 4/72

[21] Ibnu Hajar al-Haitamiy, Ash-Shawaa'iq Al-Muhriqah, 1/25

[22] Lihat Ibnu Al-Atsiir, Al-Kaamil fii At-Taariikh, 2/17

0 comments:

Posting Komentar