Bolehkah Menikahi Wanita Hamil?

Kamis, April 23, 2015
0

Hukum Menikahi Wanita Hamil


Pertama perlu diketahui terlebih dahulu lama masa ‘iddah 1) untuk Wanita Hamil. Ada dua pendapat dalam perkara ini:

Pendapat Pertama: Membedakan antara wanita hamil karena ditinggal mati suaminya dan yang tidak. Jika tidak karena ditinggal mati suaminya, maka masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan kandugannya, berdasarkan:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ [الطلاق/4]


“… dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...” (Ath-Thalaq: 4)

Sedangkan jika karena ditinggal mati suaminya maka dilihat dahulu, jika wanita tersebut melahirkan sebelum masa 4 bulan 10 hari (terhitung sejak kematian suaminya), maka masa ‘iddah-nya menyempurnakan 4 bulan 10 hari. Jika telah berlalu masa 4 bulan 10 hari namun belum melahirkan, maka ‘iddah-nya sampai ia melahirkan. Dasar mereka adalah mengkompromikan Ath-Thalaq ayat 4 diatas dengan Al-Baqarah ayat 234 berikut:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]


“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, kaka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (Al-Baqarah: 234)

Pendapat Kedua: Semua wanita hamil, baik karena ditinggal mati suaminya atau tidak, masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan kandugannya, berdasarkan Ath-Thalaq ayat 4 di atas. Adapun terkait Al-Baqarah ayat 234, menurut mereka ayat tersebut lebih dahulu turun daripada Ath-Thalaq 4, sehingga Ath-Thalaq 4 berfaidah sebagai mukhashshish (pengkhusus) bagi Al-Baqarah 234.Artinya, masa ‘iddah 4 bulan 10 hari berlaku bagi setiap istri yang ditinggal mati suaminya, kecuali mereka yang dalam keadaan hamil. Batas ‘iddah mereka yang dalam keadaan hamil adalah sampai melahirkan kandungannya. Pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Mereka yang berpendapat dengan pendapat pertama adalah: Ali bin Abi Thalib, Ibnu‘Abbas, dan para pengikut keduanya. Dan mereka yang berpendapat dengan pendapat kedua adalah: Jumhur, diantaranya Ibnu Mas’ud, Malik bin Malik, Abu Hanifah An-Nu’man, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal 2).

Wanita yang Hamil Disebabkan Zina

Meskipun para ulama seluruhnya sepakat bahwa masa ‘iddah wanita hamil yang bukan karena kematian suaminya adalah sampai melahirkan kandungannya, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi wanita yang hamil karena disebabkan zina. Ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan. Diantara yang mengharamkan adalah: Rabi’ah, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Ibnu Sirin, salah satu riwayat dari Abu Hanifah, dan Abu Yusuf, dan diantara yang membolehkan adalah:Asy-Syafi’i, riwayat lain dari Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan, dan Al-Hadi.

Landasan-Landasan Pendapat yang Mengharamkan


Firman Allah swt:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ [الطلاق/4]


“… dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...” (Ath-Thalaq: 4)


Hadits Nabi saw:

عن سعيد بن المسيب : أَنَّ رَجُلاً تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَلَمَّا أَصَابَهَا وَجَدَهاَ حُبْلَى فَرُفِعَ ذَلِكَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَجَعَلَ لَهَا الصِّدَاقَ وَجَلَدَهَا مِائَةً .هَذَا حَدِيْثٌ مُرْسَلٌ .(السنن الكبرى للبيهقي - ج7 / ص157)


Dari Sa’id bin Musayyab, bahwa ada seorang laki-laki menikahi wanita. Ketika dia menggaulinya dia menjumpainya sudah dalam keadaan hamil. Lalu kasus tersebut disampaikan kepada Nabi saw. Maka Beliau memisahkan keduanya, menjadikan mahar untuk si wanita dan mencambuknya seratus kali. Ini hadits mursal. (HR. Baihaqi)

Riwayat diatas menceritakan terjadinya faskh an-nikah (gugurnya akad nikah) dikarenakan kehamilan wanita yang tidak diketahui sebelumnya. Mengandung arti, jika wanita tersebut diketahui hamil sejak awal maka tidak boleh dinikahi. Dan dicambuknya wanita seratus kali menandakan kehamilannya karena perzinahan sedang ia belum ihshan.

Namun tersisa pertanyaan, bolehkah berhujjah dengan hadits mursal?

عن رويفع بن ثابت عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ (سنن الترمذى - ج4 / ص337)


Dari Ruwaifi’ bin Tsabit dari Nabi saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka janganlah ia menyiramkan airnya ke anak orang lain.” (HR. Tirmidzi – derajat hasan)

Maksud “air” disitu adalah air mani atau sperma, dan maksud “anak orang lain” adalah janin hasil pembuahan orang lain. Artinya, haram hukumnya seseorang menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil, karena yang dikandungnya bukanlah anaknya. Bahkan sekalipun yang hendak menikahi adalah partner wanita saat melakukan perzinahan. Karena anak hasil perzinahan tidak dinisbatkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya, melainkan kepada ibunya itu sendiri dengan sebutan waladul-firasy (anaknya si wanita). Berdasarkan sabda Nabi:

عن أبي هريرة قال النبي صلى الله عليه وسلم الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ (صحيحالبخاري - ج21 / ص89)


Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Sang anak miliknya si kasur (wanita) dan laki-laki yang menzinahinya mendapatkan batu.” (HR. Bukhari)

Maksud kasur adalah “wanita”, dan maksud dari “batu” adalah tidak mendapat bagian apa-apa dari anak yang dikandung wanita yang dizinahinya.

Namun tersisa pertanyaan, apakah yang diharamkan adalah menikahi wanita yang sudah hamil oleh orang lain atau yang diharamkan adalah menggauli istri yang sudah hamil dari percampurannya dengan oranglain? Atau dengan kata lain, bolehkah menikahi wanita hamil asal tidak digauli? Dalam hal ini ada perselisihan pendapat lebih lanjut.

Landasan Pendapat yang Membolehkan


عن عبيد الله بن أبي يزيد عن أبيه أن رجلا تزوج امرأة ولها ابنة من غيره وله ابن من غيرها ففجر الغلام بالجارية فظهر بها حبل فلما قدم عمر رضي الله عنه مكة فرفع ذلك إليه فسألهما فاعترفا فجلدهما عمر الحد وحرص أن يجمع بينهما فأبى الغلام (مسند الشافعي ج 1/ ص290)


Dari ‘Ubaidillah bin Abi Yazid, dari Ayahnya, bahwa ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Wanita tersebut memiliki putri perempuan dari laki-laki lain, dan laki-laki tadi memiliki putra dari wanita lain. Kemudian putra laki-laki tersebut menzinahi si putri perempuan, dan hamil. Ketika Umar bin Khaththab datang ke Mekkah, maka dilaporkan perkara tersebut kepadanya. Lalu Umar menanyai keduanya dan mereka mengakuinya. Lalu Umar mendera mereka sebagai had, dan ingin sekali menikahkan keduanya, namun si putra tidak mau. (HR. asy-Syafi’i)

Pendapat Terkuat menurut Al-Imam Asy-Syinqithi Al-Maliki


اعلم أن أظهر قولي أهل العلم عندي، أنه لا يجوز نكاح المرأة الحامل من الزنا قبل وضع حملها بل لا يجوز نكاحها، حتى تضع حملها.خلافا لجماعة من أهل العلم، قالوا: يجوز نكاحها وهي حامل، وهو مروي عن الشافعي وغيره، وهو مذهب أبي حنيفة؛ لأن نكاح الرجل امرأة حاملا من غيره فيه سقي الزرع بماء الغير، وهو لا يجوز ويدل لذلك قوله تعالى: {وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق:4]،ولا يخرج من عموم هذه الآية إلا ما أخرجه دليل يجب الرجوع إليه فلا يجوز نكاح حامل حتى ينتهي أجل عدتها، وقد صرح الله بأن الحوامل أجلهن أن يضعن حملهن، فيجب استصحاب هذا العموم، ولا يخرج منه إلا ما أخرجه دليل من كتاب أو سنة.(أضواء البيان في إيضاح القرآن بالقرآن -ج5 / ص426)


Al Imam Al Amin Asy Syinqithi berkata, "Yang paling unggul dari dua pendapat 'ulama tersebut menurutku adalah: tidak diperbolehkan wanita yang hamil dari hasil zina menikah sebelum melahirkan kandungannya. Bahkan tidak diperbolehkan menikahinya hingga ia melahirkan kandungannya. Berbeda dengan pendapat sekelompok ulama. Mereka berkata: boleh menikahinya saat dia dalam keadaan sedang hamil. Pendapat ini diriwayatkan datang dari Asy-Syafi'i, dan yang lain, dia juga pendapat Abu Hanifah. Karena laki-laki yang menikahi wanita hamil dari pembuahan orang lain merupakan tindakan 'menyirami tanaman dengan air orang lain', dan itu tidak boleh. Yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah, "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu 'iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS Ath Thalaaq: 4). Dan tidak boleh keluar dari keumuman ayat ini, kecuali ada dalil lain yang mengecualikannya yang wajib untuk dirujuk. Maka orang yang hamil tidak boleh menikah hingga selesai masa iddahnya. Sementara Allah telah menjelaskan bahwa wanita-wanita hamil masa 'iddah-nya sampai melahirkan kandungannya. Maka wajib untuk senantiasa menyelarasi keumuman ini. Tidak mengecualikannya kecuali ada dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits yang mengecualikannya. (Lihat Tafsir Adhwaul Bayan pada surat An Nuur, cet. Daarul Kutub Al Ilmiyyah – Beirut)

Dan kami cenderung pada penjelasan Al-Imam Al-'Allamah Al-Amin Asy-Syinqithi ini. Wallaahu a'lam.[]

Catatan Kaki:
===========
1) Al-‘iddah adalah masa penantian bagi wanita (untuk bisa dinikahi kembali) setelah diceraikan, atau setelah kematian suaminya, untuk mengetahui bersihnya rahim (dari pembuahan). (Rawwas Qal’ahji, Mu’jam Lughatil Fuqaha’, hlm 306).

2) Lihat Al-Fiqh ‘alal-Madzahib Al-Arba’ah karya Al-Jaziri, vol 4, hlm 954.

0 comments:

Posting Komentar