Tanya:
Bolehkah memutuskan hubungan dengan sesama muslim?
Jika boleh, apakah nashnya dan dalam hal apa saja dia boleh diterapkan?
Ada yang berpendapat bahwa kebolehan memutus hubungan dengan sesama
muslim hanya berlaku pada kasus kesalahan meninggalkan jihad dan hanya
oleh khalifah saja, benarkah demikian?
(Muhammad Maliki – Riau)
Jawaban:
Hukum asal hubungan antar sesama muslim adalah hubungan persaudaraan (al-ukhuwwah al-islamiyyâh). Berdasarkan firman Allah swt:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara …”
Dan berdasarkan sabda Rasulullah saw:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“… Seorang musim adalah saudara bagi muslim lainnya …”
Hubungan
persaudaraan ini mengandung konsekwensi yang begitu luas. Sebagai
contoh, berlakunya kewajiban memenuhi hak-hak antar sesama muslim
sebagaimana dalam hadits:
خَمْسٌ تَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ :
رَدُّ السَّلَامِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ
وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ
“Lima perkara, wajib
ditunaikan seorang muslim terhadap saudaranya: menjawab salam, menjawab
bacaan alhamdulillah dengan yarhamukallah saat bersin, memenuhi
panggilan, menjenguk kala sakit, dan mengantar jenazahnya.”
Di salah satu riwayat Muslim ditambahkan satu hak lagi: “jika dia
meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah ia”. Maka berdosalah seorang
muslim jika tidak memenuhi hak-hak sesamanya tersebut.
Selain itu, ikatan al-ukhuwwah al-islamiyyâh juga mengandung
konsekwensi sebaliknya, yaitu wajibnya menghindari perkara-perkara yang
haram untuk dilakukan seorang muslim terhadap sesamanya. Sebagai contoh
apa yang terkandung dalam sabda Nabi saw:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ
فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا
وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ
اللَّهِ إِخْوَانًا
“Jauhilah oleh kalian prasangka (buruk), karena
prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan, dan janganlah kalian
saling mencari rahasia dan memata-matai, jangan saling mendengki, jangan
saling membelakangi, dan jangan saling memarahi, (akan tetapi) jadilah
kalian hamba-hamba Allah swt sebagai saudara.”
Dan masih banyak lagi riwayat lain tentang kewajiban dan larangan
sebagai konsekwensi dari ikatan al-ukhuwwah al-islamiyyâh. Tentu bukan
tempatnya memaparkan seluruhnya dalam kesempatan kali ini, karena fokus
pertanyaannya adalah tentang hukum memutus hubungan antar sesama muslim.
Adalah hadits Anas bin Malik berikut ini menjelaskan hukum tersebut,
Rasulullah saw bersabda:
لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا
تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلَا يَحِلُّ
لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
“Janganlah
kalian saling memarahi, jangan saling mendengki, dan jangan saling
membelakangi, jadilah kalian wahai hamba-hamba Allah swt sebagai
saudara. Dan tidak halal bagi seorang muslim untuk memutus hubungan
dengan saudaranya lebih dari tiga hari.”
Dari zhâhir hadits diatas dan beberapa riwayat senada lainnya,
dipahami bahwa memutus hubungan dengan sesama muslim lebih dari tiga
hari adalah haram hukumnya. Maka, siapapun diantara kaum muslimin yang
melakukannya akan terhitung sebagai kemaksiatan kepada Allah swt, karena
ia telah memutus apa yang Allah swt perintahkan untuk dihubungkan.
Allah swt berfirman:
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ
مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(yaitu)
orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu
teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah
orang-orang yang rugi.”
Konteks ayat tersebut memang Bani Israil yang memutus mata rantai
kerasulan sampai pada rasul mereka saja dan tidak mengakui rasul-rasul
yang datang setelahnya, padahal itu diperintahkan oleh Allah swt atas
mereka. Demikian pula ikatan al-ukhuwwah al-islamiyyâh adalah diantara
yang Allah swt perintahkan untuk disambung dan dijaga
keberlangsungannya.
Adakah Memutus Hubungan (Hajr) yang Diperbolehkan?Muncul
pertanyaan, adakah pengecualian dari nash yang secara umum melarang
hajr di atas? Artinya, adakah alasan-alasan syar’i yang membolehkah hajr
dilakukan oleh seorang muslim terhadap muslim lainnya? Untuk menjawab
pertanyaan ini, diperlukan nash-nash syara’ serta pemahaman yang benar
terhadapnya dari para Sahabat, Tabi’un, serta Para ‘Ulama Salih
setelahnya.
Setelah dilakukan istiqrâ’ terhadap nash-nash syara’ oleh para
‘ulama, ditemukan bahwa hajr benar-benar dibolehkan dalam
kondisi-kondisi tertentu. Adalah Rasulullah saw pernah meng-hajr tiga
orang sahabatnya, Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin
Ar-Rabi’, yang telah bermaksiat dengan tidak memenuhi seruan istinfâr
(seruan keluar untuk berjihad) pada peristiwa perang Tabuk. Tidak
tanggung-tanggung, hajr yang Beliau terapkan atas mereka berlangsung
selama lima puluh hari. Tidak hanya itu, Beliau juga mewajibkan kaum
muslimin untuk melakukan hal serupa! .
Jika dihubungkan dengan hadits Nabi sebelumnya yang melarang hajr
lebih dari tiga hari, maka akan terkesan kontradiktif. Hal ini tidak
serta merta dipahami sebagai “inkonsistensi” Rasulullah saw, tidak pula
sebagai nâsikh dan mansûkh, akan tetapi sebisa mungkin dikompromikan
selama itu memungkinkan, dikarenakan hukum asal daripada dalil adalah
al-I’mâl (untuk diamalkan). Imam Al-Isnawi menyatakan dalam kitab
Nihâyah-nya:
الْأَصْلُ فِي الدَّلِيْلِ هُوَ الْإِعْمَالُ
“Hukum asal daripada dalil adalah untuk diamalkan.”
Demikian pula syaikh Taqyuddin An-Nabhani menyatakan serupa dalam salah satu karyanya, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah vol III:
اَلْأَصْلُ فِي الدَّلِيْلِ هُوَ الْإِعْمَالُ لاَ الْإِهْمَالُ يُجْعَلُ إِعْمَالُهُمَا مَعاً أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا
“Hukum
asal daripada dalil adalah untuk diamalkan bukan diabaikan, jadi
mengamalkan keduanya lebih utama daripada mengabaikan salahsatu diantara
keduanya.”
Berdasarkan kaidah diatas, dipahami bahwa riwayat Ka’ab
ini berfungsi sebagai mukhoshshish (yang mengkhususkan) bagi hadits Anas
yang umum.
Dari peristiwa Ka’ab tersebut, para sahabat, tabi’un serta para
‘ulama memahami bahwa meng-hajr sesama muslim adalah boleh jika ada
penyebab syar’i, misal kemaksiatan yang terbilang parah, baik pelakunya
yang ‘membandel’ atau kesalahannya yang tergolong besar. Tidak memenuhi
istinfâr adalah dosa yang tergolong besar, karena Allah swt berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ
الدُّنْيَا مِنَ الْآَخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي
الْآَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ * إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا
أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang)
pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?
Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. jika kamu tidak berangkat untuk
berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan
digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat
memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Apakah hajr terbatas pada kemaksiatan meninggalkan jihad saja?Ada
yang memahami bahwa hukuman hajr hanya terbatas pada kemaksiatan
meninggalkan jihad saja dan tidak berlaku bagi kemaksiatan lainnya. Kami
tidak menjumpai pemahaman semacam ini kecuali menganggapnya sebagai
pemahaman yang syâdz (nyleneh), tidak dikenal dari para sahabat, tabi’in
dan ‘ulama terdahulu. Selain itu, pemahaman tersebut juga berbahaya
karena mengandung konsekwensi serius, yaitu berarti menjadikan hajr
sebagai ‘uqûbah muqaddarah syar’an (hukuman yang secara khusus telah
ditentukan olah syara’) atas suatu kemaksiatan tertentu, yaitu
kemaksiatan meninggalkan jihad saja.
Sudah menjadi maklum bahwa di dalam Islam dikenal 3 (tiga) jenis ‘uqûbât (sanksi): Hudûd, Qishâsh atau Jinâyât, dan Ta’zîr.
Pertama: hudûd, yaitu‘uqûbat[un] muqaddarat[un] syar’[an] (hukuman
yang telah ditetapkan oleh syara’ secara khusus). Menurut Jumhur ‘Ulama,
hudûd tidak lebih dari tujuh macam perkara saja, yaitu:
1.Hadd zina
berupa cambukan 100 kali (bisa ditambah pengasingan selama satu tahun)
jika pelakunya belum ihshân, atau rajam jika pelakunya muhshan,
2.Hadd qodzaf berupa cambukan 80 kali,
3.Hadd liwath berupa hukuman mati,
4.Hadd pencurian berupa potong tangan jika mencapai nishab,
5.Hadd minum khomr berupa cambukan 40 atau 80 kali,
6.Hadd riddah berupa hukuman mati setelah istitab tiga hari, dan
7.Hadd perampokan dan pemberontakan berupa potong tangan atau hukuman mati dan hukuman salib .
Sifat Hudud adalah wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Syara’,
tidak boleh kurang atau lebih. Baik Khalifah maupun Korban kejahatan
hudûd, keduanya tidak berhak memaafkan pelakunya, sehingga hukuman yang
tergolong hudûd tidak bisa diringankan atau diurungkan. Sebagai contoh,
bisa dilihat dari sabda Rasulullah saw kepada Usamah bin Zaid ra yang
meminta keringanan hukuman bagi Al-Makhzumiyyah yang terbukti mencuri.
Dengan nada menolak Rasulullah saw berseru kepada Usamah:
أَتَشْفَعُ
فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ؟! … ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ فَقُطِعَتْ يَدُهَا
“Apakah
kamu hendak meminta keringanan dalam suatu perkara hudud?! … Kemudian
Rasulullah memerintahkan terhadap perempuan tersebut maka dipotonglah
tangannya.”
Dan Rasulullah saw tetap memotong tangan Al-Makhzumiyyah, membuktikan bahwa sanksi yang tergolong hudûd tidak bisa dimaafkan.
Ke-Dua: Qishâsh atau Jinâyât, yaitu hukuman bagi tindak kejahatan
terhadap tubuh, baik itu melukai, memotong, atau membunuh . Sanksinya
telah ditentukan oleh syara’, yaitu berupa hukuman Qishash (balasan yang
serupa dengan kejahatan) atau dengan membayar diyat. Untuk ‘uqubat
jenis ini, pihak korban berhak memaafkan pelaku sedangkan Imam atau
Khalifah tidak berhak untuk itu.
Ke-Tiga: Ta’zîr, yaitu hukuman bagi kemaksiatan diluar Hudûd dan
Qishâsh. Bentuk hukuman ta’zîr tidak ditentukan oleh syara’, Khalifah
lah yang menentukannya . Terhadap pelaku kejahatan, Khalifah memiliki
hak untuk memaafkan.
Dari penggolongan ‘uqûbât diatas, bisa diketahui bahwa kemaksiatan
meninggalkan jihad tidak termasuk yang dikenai sanksi jenis pertama,
tidak pula jenis kedua, akan tetapi ia termasuk pada jenis yang
terakhir, yaitu ‘uqûbah ta’zîriyyah. Maka dia sejenis dengan kemaksiatan
meninggalkan shalat, meninggalkan puasa, meninggalkan haji padahal
mampu, durhaka kepada orang tua, melakukan penipuan, mengadu domba,
memfitnah saudaranya, kesaksian palsu, dsb.
Perlu dicatat bahwa tidak semua pelaku kemaksiatan jenis ini selalu
dihukum dengan hukuman ta’zîr. Artinya, khalifah lah yang nantinya
berhak menentukan diberlakukan atau tidak nya hukuman ta’zîr terhadap si
pelaku sekaligus menentukan bentuk hukumannya. Khalifah memberlakuakn
hukuman ta’zîr berdasarkan pertimbangan atas intensitas atau frekwensi
pelaku dalam melakukan pelanggaran, berdasarkan hadits:
أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا الْحُدُودَ
“Maafkanlah kesalahan-kesalahan orang yang shalih (dari hukuman) kecuali perkara hudûd.”
Juga
bisa dengan mempertimbangkan kemaslahatan lain, sebagaimana Rasulullah
saw men-ta’zîr Ka’ab bin Malik dan kedua temannya dengan alasan karena
Beliau khawatir mereka termasuk kaum munafik. Untuk kemaksiatan
meninggalkan jihad hanya Khalifah yang berhak menentukan perlu-tidaknya
menghukum pelakunya, dan hanya Khalifah pula yang berhak menentukan
bentuk hukumannya.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Ishaq bahwa saat perang Uhud
sepertiga dari pasukan kaum muslimin yang merupakan kelompok munafik di
bawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul serentak meninggalkan jihad
dengan berpisah dari rombongan Rasulullah saat menuju lembah Uhud,
Rasulullah tidak menghukum mereka dengan hajr . Al-Hakim juga
meriwayatkan sebuah Hadits Sahih yang juga memperjelas perkara ini:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَنْفَرَ حَيّاً مِنَ الْعَرَبِ فَتَثَاقَلُوْا
فَنَزَلَتْ : « إِلاَّ تَنْفِرُوْا يُعَذِّبْكُمْ عَذَاباً أَلِيْمًا »
قَالَ : كَانَ عَذَابُهُمْ حَبْسَ الْمَطَرِ عَنْهُمْ
Dari Ibnu Abbas
ra, bahwa Rasulullah saw pernah menyeru suatu perkampungan Arab untuk
keluar berjihad, lalu mereka ber-berat hati untuk memenuhinya, maka
turunlah ayat (yang artinya): “Jika kamu tidak berangkat untuk
berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih.” Ibn
Abbas ra berkata: adalah azab bagi mereka tidak diturunkannya hujan atas
mereka.
Di riwayat tersebut Rasulullah saw tidak menerapkan hukuman apapun
atas penduduk suatu perkampungan yang semuanya meninggalkan jihad. Ini
menunjukkan bahwa hukuman hajr pada kisah Ka’ab bin Malik sebatas
ta’zîr, karena di kesempatan yang lain Rasulullah saw tidak menerapkan
hukuman tersebut untuk pelaku kemaksiatan yang sama. Jika hajr adalah
hukuman yang telah digariskan oleh syara’ secara khusus dan harus bagi
kesalahan meninggalkan jihad, tentunya wajib bagi seorang Imam –yang
saat itu adalah Rasulullah saw– untuk menerapkannya dan tidak ada hak
bagi Beliau untuk memberi keringanan atau memaafkan para pelakunya.
Setelah ditemukan bahwa hukumannya bagi muslim yang meninggalkan
jihad adalah ta’zîr, maka tidak menutup kemungkinan di satu kesempatan
Khalifah menerapkan hukuman hajr atas pelakunya, dan di kesempatan yang
lain menerapkan hukuman lainnya atau bahkan memaafkannya. Tentu dengan
tetap melihat sisi efektifitas hukuman tersebut dari aspek dampaknya,
apakah bisa menjadikan pelakunya jera atau tidak. Syaikh Abdurrahman
Al-Maliki di dalam kitab Nizhâmul-‘Uqûbât menyatakan:
غَيْرَ أَنَّ
هَذِهِ الْعُقُوْبَةَ تُسْتَعْمَلُ إِذَا كَانَتْ تَزْجُرُ ، أَيْ مَعَ
النَّاسِ الَّذِيْنَ لَدَيْهِمْ إِحْسَاسٌ ، وَيُقَدِّرُوْنَ مَعْنَى
هَجْرِ النَّاسِ لَهُمْ ، أَمَّا الَّذِيْنَ ضَعُفَ لَدَيْهِمُ
الْإِحْسَاسُ فَإِنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْعُقُوْبَةِ لاَتُؤْلِمُهُمْ ،
وَلِذَلِكَ لاَتُسْتَعْمَلُ مَعَهُمْ
“Hanya saja hukuman (hajr) ini
(relevan) digunakan apabila bisa menimbulkan efek jera, artinya (pantas)
bagi mereka yang memiliki kepekaan perasaan, dan hajr orang lain atas
dirinya sangat berpengaruh. Adapun bagi mereka yang memiliki kepekaan
yang lemah, maka hukuman semacam ini tidaklah menyakitkan bagi mereka,
maka dari itu tidak diterapkan pada mereka.”
Dari sini bisa dipahami juga penyebab Rasulullah tidak menerapkan
hajr pada hadits Ibnu Abbas, tentunya karena hajr tidak efektif apabila
diterapkan atas seluruh penduduk suatu perkampungan (tidak akan
mendatangkan efek jera).
Di sisi lain, adalah Khalifah Umar bin Al-Khaththab ra, beliau malah
menerapkan hajr bukan terhadap orang yang meninggalkan jihad, melainkan
terhadap seseorang bernama Shabigh At-Tamimi disebabkan banyak bertanya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat:
عَن الحَسَنِ
قَالَ : سَأَلَ صَبِيْغٌ التَّمِيْمِى عُمَرَ بنَ الخطَّابِ عَن
الذَّارِيَاتِ ذَروًا ، وَعَن الْمُرسَلاَتِ عُرفاً ، وَعَنِ النَّازِعَاتِ
غَرقاً فَقَالَ عُمَرُ : اِكْشِفْ رَأْسَكَ ، فَإِذَا لَهُ ضَفِيْرَتَانِ ،
فَقَالَ عُمَرُ : وَاللهِ لَوْ وَجَدْتُكَ مَحلُوْقاً لَضَرَبْتُ عُنُقَكَ
، ثُمَّ كَتَبَ إِلَى أَبِيْ مُوْسَى الْأَشْعَرِي أَنْ لاَ يُكَلِّمَهُ
مُسْلِمٌ وَلاَ يُجَالِسَهُ
Dari Al-Hasan berkata: “Shabigh At-Tamimi
suatu ketika bertanya kepada ‘Umar bin Khaththab tentang Adz-Dzâriyâti
Dzarwâ, Al-Mursalâti ‘Urfâ, dan An-Nâzi’âti Gharqâ, maka Umar berkata:
Buka kepalamu!. ternyata ia memiliki dua simpul tebal (dari rambutnya),
berkata Umar: Demi Allah jika saja kujumpai kamu gundul, niscaya sudah
aku penggal lehermu . Kemudian Beliau menulis surat perintah kepada Abu
Musa al-Asy’ari agar tidak ada seorang muslim pun yang berbicara
dengannya dan agar tidak ada yang bergaul dengannya.”
Tidak ada seorang sahabatpun saat itu yang menentang kebijakan
Khalifah Umar bin Khaththab ra, termasuk Abu Musa Al-‘Asy’ari ra yang
kala itu berperan sebagai ‘âmil di daerah pengasingan Shabigh, Bashrah.
Jika hajr adalah hukuman yang dikhususkan bagi dosa meninggalkan jihad
saja, maka perintah menerapkannya pada kemaksiatan yang lain adalah
penyimpangan dan kemaksiatan yang untuk selanjutnya haram ditaati, namun
tidak demikian yang terjadi pada kasus Shabigh At-Tamimi diatas.
Sampai di sini bisa disimpulkan, bahwa hukuman bagi muslim yang
meninggalkan jihad adalah ta’zîr sehingga ketetapan bentuk hukuman dan
pemberian ampunan adalah hak khalifah, sebagaimana juga jelas bahwa hajr
bukanlah ‘uqûbah muqaddarah syar’an, yang wajib dikenakan atas pelaku
kemaksiatan meninggalkan jihad saja. Pertama terbukti dari kisah Ka’ab
dimana Rasulullah saw di satu kesempatan menerapkan hajr, sedangkan di
riwayat Ibnu Ishaq dan Ibnu Abbas Beliau tidak menerapkannya, dan ke-Dua
terbukti dari riwayat Al-Hasan telah terjadi ijma’ sahabat –yang juga
merupakan salah satu dari sumber hukum Islam– di masa ‘Umar bin
Khaththab ra atas kebijakan hajr terhadap Shabigh bin ‘Asal At-Tamimi.
Maka dengan demikian gugurlah pendapat yang menyatakan bahwa hukuman
hajr hanya terbatas pada kemaksiatan meninggalkan jihad saja. Ini
berdasarkan riwayat sahih hadits dan ijma’ sahabat.
Oleh Siapakah Hajr Boleh dilakukan?Hajr yang
diterapkan oleh Rasulullah saw terhadap sahabat Ka’ab bin Malik dan dua
temannya, juga oleh ‘Umar bin Khaththab ra terhadap Shabigh bin ‘Asal
At-Tamimi, memang berbentuk ta’zîr yang ditetapkan oleh Imam atau Amirul
Mukminin. Hal itu ditandai dengan bahwa beliau berdua juga
memerintahkan kaum muslimin malakukan hajr atas mereka. Namun yang
demikian ini tidak menandakan hajr hanya boleh dilakukan oleh Khalifah,
banyak qorinah menunjukkan kebolehan hajr oleh individu.
Terdapat dua alasan dibolehkannya hajr oleh individu, yaitu: 1) alasan duniawi; dan 2) alasan agama.
• Pertama; alasan duniawi.
Yaitu
apabila seorang muslim terlibat sengketa dengan muslim lain dalam
urusan pribadi atau urusan keduniaan, misalkan urusan jual-beli/bisnis,
pembagian harta waris, dll. Hajr semacam ini tidak boleh berlangsung
lama, syara’ menggariskan tidak boleh melebihi batas waktu tiga hari
tiga malam. Adapun hajr sebelum batas waktu tesebut, hukumnya adalah
mubah. Berdasarkan hadits:
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari.”
Terkait hadits ini, Imam An-Nawawi berkata:
وَالنَّهْىُ عَنِ الْهِجْرَانِ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَياَّمٍ اِنَّمَا هُوَ فِيْمَنْ هُجِرَ لِحَظِّ نَفْسِهِ وَمَعَايِشِ الدُّنْيَا
“Dan
larangan untuk memutus hubungan lebih dari tiga hari, hanya berlaku
terhadap siapa saja yang di-hajr disebabkan perkara pribadinya dan
urusan yang bersifat duniawi.”
Mengenai adanya beberapa riwayat berisi larangan tersebut, Ibnu Rajab
mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hambal dalam kitabnya Jami’ul-‘Ulum
wal-Hikam:
وَكُلُّ هَذَا فِي التَّقَاطُعِ لِلْأُمُوْرِ
الدُّنْيَوِيَّةِ ، فَأَمَّا لِأَجْلِ الدِّيْنِ فَتَجُوْزُ الزِّيَادَةُ
عَلَى الثَّلاَثِ ، نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ، وَاسْتَدَلَّ
بِقِصَّةِ الثَّلاَثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْا ، وَأَمَرَ النَّبِيُّ صلى
الله عليه وسلم بِهِجْراَنِهِمْ لمَّا خَافَ مِنْهُمُ النِّفَاقَ
“Setiap
(riwayat) ini berkenaan dengan pemutusan hubungan disebabkan
perkara-perkara duniawi, dan sedangkan jika disebabkan alasan agama maka
boleh lebih dari tiga hari, demikian kata Imam Ahmad bin Hambal, beliau
berdalil degan kisah tiga orang sahabat (Ka’ab, Hilal, dan Murarah)
yang tidak ikut berjihad, dan Rasulullah saw memerintahkan untuk
meng-hajr mereka karena takut mereka tergolong munafik.”
• Ke-Dua; alasan agama.
Yaitu hajr yang dilakukan dengan tujuan
demi menyelamatkan agama, baik agama (orang yang di-hajr) maupun agama
al-hâjir (orang yang meng-hajr), atau demi agama salah satu diantara
keduanya. Dikatakan demi menyelamatkan agama al-mahjûr karena diharapkan
dari diberlakukannya hajr tersebut, seorang pelaku maksiat akan
menyadari kesalahan dan mau bertaubat, dan dikatakan demi menyelamatkan
agama al-hâjir karena dengan melakukan hajr, dia terselamatkan dari
tertularnya kemaksiatan, bid’ah, atau kefasikan dari para pelakunya.
Hajr semacam ini bertujuan sebagai ta’dîb (edukasi) saja, namun tidak
menutup kemungkinan akan berlangsung dalam waktu yang lama selama para
pelakunya tidak/belum bertaubat. Hajr yang dilakukan demi agama
al-mahjûr salah satu bentuknya adalah hajr suami terhadap istrinya yang
nusyûz (membangkang), berdasarkan firman Allah swt:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“… dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, …” (QS. An-Nisa [4]: 43)
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan:
وَفِي هَذَا دَلِيْلٌ عَلَى هِجْرَانِ أَهْلِ الْمَعَاصِيْ حَتَّى يَتُوْبُوْا
“dan dalam hal ini adalah dalil untuk memutuskan hubungan dengan para pelaku kemaksiatan sehingga mereka bertaubat.”
Dengan nada sama, Imam Asy-Syaukani kitab tafsirnya berkata:
وَفِيْ هَذِهِ الآيَةِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ هِجْرَانِ أَهْلِ الْمَعَاصِيْ تَأْدِيْباً لَهُمْ ، لِيَنْزَجِرُوا عَنِ الْمَعَاصِي
“dan
isi ayat ini adalah dalil bagi diperbolehkannya memutuskan hubungan
dengan para pelaku kemaksiatan sebagai ta’dib (edukasi) bagi mereka,
agar mereka jera dari perbuatan-perbuatan maksiat.”
Berdasarkan ayat ini, Rasulullah saw pernah meng-hajr para istri beliau selama satu bulan penuh.
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ : أَقْسَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا يَدْخُلَ عَلَى نِسَائِهِ شَهْراً قَالَتْ
فَلَبِثَ تِسْعاً وَعِشْرِيْنَ قَالَتْ فَكُنْتُ أَوَّلَ مَنْ بَدَأَ بِهِ
فَقُلْتُ لِلنَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَيْسَ كُنْتَ
أَقْسَمْتَ شَهْرًا فَعُدْتُ الأَيَّامَ تِسْعاً وَعِشْرِيْنَ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ
Dari
‘Aisyah berkata: Rasulullah saw pernah bersumpah untuk tidak mendatangi
istri-istri beliau selama satu bulan, dan Beliau sudah melalui dua
puluh sembilan hari. Aisyah melanjutkan: dan aku adalah yang pertama
kali yang didatangi oleh Beliau, maka aku berkata kepada Beliau:
bukankah engkau telah bersumpah (untuk tidak mendatangi kami) selama
sebulan? Sendangkan aku menghitung masih dua puluh sembilan hari. Beliau
menjawab: “sebulan itu jumlah harinya (ada yang) dua puluh sembilan
hari.”
Adapun hajr yang dilakukan dengan tujuan menyelamatkan agama al-hâjir, adalah berdasarkan firman Allah swt:
وَإِذَا
رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ
فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan
apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang
lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka
janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat
(akan larangan itu).”
Dan hadist Nabi saw:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ
السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ لَا يَعْدَمُكَ
مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ وَكِيرُ
الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا
خَبِيثَةً
“Perumpamaan pergaulan dengan orang shalih dan pergaulan
dengan orang jahat bagaikan penjual minyak wangi dan tukang pandai besi,
kamu pasti akan mendapatkan dari penjual minyak wangi, baik kamu
tertarik untuk membelinya atau kamu mencium bau wanginya, dan kamu akan
dapatkan dari tukang pandai besi, baik akan membakar badan atau bajumu,
atau kamu akan mencium baunya yang tidak sedap.”
Tentang hadits diatas, Imam An-Nawawi berkata:
وَفِيْهِ فَضِيْلَةُ
مُجَالَسَةِ الصَّالِحِيْنَ وَأَهْلِ الْخَيْرِ وَالْمُرُوْءَةِ
وَمَكَارِمِ الْاَخْلَاقِ وَالوَرَعِ وَالْعِلْمِ وَالْأَدَبِ وَالنَّهْيُ
عَنْ مُجَالَسَةِ أَهْلِ الشَّرِّ وَأَهْلِ الْبِدَعِ وَمَنْ يَغْتَابُ
النَّاسَ أَوْ يَكْثُرُ فجرُهُ وَبِطَالَتُهُ وَنَحْوَ ذَلِكَ مِنَ
الْاَنْوَاعِ الْمَذْمُوْمَةِ
“hadits tersebut mengandung keutamaan
bergaul dengan orang-orang salih, baik, terjaga kehormatan, berakhlak
mulia, wara’, ‘alim, dan beradab, juga mengandung larangan bergaul
dengan pelaku keburukan, bid’ah, sering mengghibah orang lain, sering
berbuat dosa, nakal, dan semacam perkara-perkara tercela lainnya.”
Di hadits lain disebutkan:
سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Akan
ada di akhir umatku kelak sejumlah orang yang berbicara dengan kalian
(dengan hadits-hadits Nabi) yang tidak pernah kalian dengar sebelumnya,
tidak pula para pendahulu kalian, waspadailah mereka dan hindarilah.”
Ayat
dan hadits di atas bersifat umum, mengandung perintah bagi siapa saja
diantara kaum muslimin agar meng-hajr, menghindari, memisahkan diri,
berpaling, meninggalkan atau istilah sepadan lainnya, dari mereka-mereka
yang terkategori sebagai ahli maksiat, ahli bid’ah, dan fasik. Baik
dengan motivasi menjaga agama sendiri, maupun demi memperbaiki agama
pelakunya.
Terdapat puluhan riwayat menunjukkan para sahabat, tabi’in dan para
pengikut mereka, juga pernah menerapkan hajr secara personal/individu
sebagai bentuk aplikasi dari kerangka dasar konsep hajr diatas.
Diantaranya Sa’ad bin Abi Waqqash ra terhadap ‘Ammar bin Yasir ra,
‘Utsman bin ‘Affan ra terhadap ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra, Ibnu Mas’ud ra
terhadap seorang muslim yang tertawa melihat jenazah, ‘Aisyah binti Abi
Bakar ra terhadap Abdullah bin Zubair ra, ‘Aisyah binti Abi Bakar ra
terhadap Hafshah ra, Abdullah bin Mughaffal terhadap seorang kerabatnya,
Thawus terhadap Wahb bin Munabbah, Ibnu Sirin terhadap seseorang yang
menolak sabda Nabi saw, dan masih banyak lagi. Imam ‘allamah As-Suyuthi
rahimahullah mengumpulkan berbagai riwayat diatas dan banyak riwayat
lainnya dalam kitab beliau: Az-Zajr bil-Hajr, dankitab Al-Fulk
Al-Masyhûn juz XXVI bagian Asmâ’ul Muhâjirîn.
Wal-Hashil, berdasarkan ini semua diketahui bahwa hajr sebenarnya
merupakan salah satu solusi dari sekian banyak persoalan seorang muslim
terkait hubungannya dengan sesamanya, baik dalam urusan agama maupun
dunia, layaknya hukum-hukum syara’ lainnya. Hukum asalnya adalah haram,
namun menjadi boleh jika ada alasan-alasan tertentu yang syar’i.
Ditemukan juga bahwa sebagaimana boleh dilakukan oleh khalifah, hajr
juga boleh dilakukan individu. Hanya bedanya, jika dia berupa ta’zîr
dari seorang Khalifah dan diberlakukan atas kaum muslimin, maka kaum
muslimin menjadi terikat dan wajib melakukan hajr terhadap mereka-mereka
yang dikenai sanksi, akan tetapi jika ia berupa perlakuan individu
muslim terhadap muslim lainnya dengan suatu alasan syar’i tertentu, maka
sikap tersebut tidak mengikat kaum muslimin lainnya. Wallâhu A’lam.
Azizi Fathoni K.
___________________
1 QS. Al Hujurat [49]: 10
2 HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra
3 HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra
4 HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra
5 HR. Bukhari dari Anas bin Malik ra
6 QS. Al-Baqoroh [2]: 27
7 Lihat Shahih Bukhari hadits nomor 4066 dan Musnad Ahmad hadits nomor 15827
8 QS. At-Taubah [9]: 38-39
9 Lihat Mu’jamu Lughatil Fuqoha oleh Rawwas Qol’ahji, kata kunci: الحد
10
Lihat Al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah oleh Al-Jaziri, bab: العقوبات
الشرعية. Lihat pula Nizhamul ‘Uqubat oleh Syaikh Abdurrahman Al-Maliki,
bab: الحدود.
11 HR. Muslim dari Aisyah ra.
12 Lihat Mu’jamu Lughatil Fuqoha oleh Rawwas Qol’ahji, kata kunci: الجناية
13 Ibid. kata kunci: التعزير
14 HR. Abu Dawud dan Ahmad dari Aisyah ra, derajat sahih
15 Sirah Ibn Hisyam. Bab Ghazwah Uhud (Perang Uhud)
16 HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, sanadnya sahih
17
‘Umar khawatir dengan kutu yang tinggal dirambut laki-laki tersebut
akan kehilangan tempat tinggal jika beliau penggal kepalanya
18
Atsar Riwayat Ibn Al-Anbari dari jalan Al-Hasan dengan sanad Sahih.
Lihat Kanzul ‘Ummal fi Sunanil Aqwal wal Af’al. Riwayat senada datang
dari Al-Bazzar dalam kitab musnad-nya dari jalan Sa’id bin Musayyab
dengan sanad yang sangat lemah sekali, karena salah satu perowinya
bernama Abu Bakar bin Abi Sabrah, menurut Al-Haitsami beliau adalah
matruk. Akan tetapi riwayat Al-Bazzar bisa terangkat derajatnya oleh
riwayat Ibn Al-Anbari yang datang dari jalan lain sehingga menjadi
hasan.
19 HR. Bukhari dan Muslim. Batas waktu tiga hari tiga malam
diperoleh dari penggabungan sebagian riwayat Bukhari yang menyebutkan
tiga malam, dengan salah satu riwayat Muslim yang menyebutkan tiga hari.
20 Lihat Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim (Shahih Muslim) oleh Imam Abu Zakariyya An-Nawawi.
21 Lihat Jami’ul Ulum wal-Hikam, oleh Ibnu Rajab al-hambali.
22
HR. Ahmad bin Hambal dengan derajat sahih. Bukhari juga meriwayatkan
dengan redaksi berbeda dengan redaksi ini, dan dari jalan yang berbeda.
Lihat Sahih Bukhari nomor hadits 1777 dari jalan Ummu Salamah ra, dan
nomor 4880 dari jalan Anas bin Malik ra.
23 QS. Al-An’am [6]: 68
24 HR. Bukhari-Muslim, dari Abu Burdah bin Abi Musa, dari ayahnya ra.
25 Lihat Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim, syarah terhadap hadits nomor 2628.
26 HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar