Hukum Berbilangnya Pemimpin Umat Islam

Selasa, Juli 07, 2015
0
Tanya:
Bolehkan pemimpin kaum muslimin berjumlah lebih dari satu? Bagaimana pendapat para ulama terdahulu dalam perkara ini?
(Ahmad Ahnaf di bumi Allah)

 
Jawab:
Saudara Ahnaf yang dicintai oleh Allah swt. Sebelumnya, perlu kita ketahui bersama bahwa wajibnya kepemimpinan yang tunggal bagi seluruh kaum muslimin di dunia merupakan perkara yang ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah (sudah sangat dimaklumi dalam Islam). Berdasarkan sabda Rasulullah saw:


قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما » . (رواه مسلم)
 

Rasulullah saw bersabda: “Apabila telah terjadi bai’at terhadap dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)

Pesan singkat Rasulullah saw di atas dipahami dengan sangat baik oleh para Sahabat radhiyaLlâhu ‘anhum. Terbukti tepat setelah Rasulullah saw wafat, yaitu pada peristiwa Saqîfah Banî Sâ’idah, muncul sebuah opsi dari kalangan Anshar yang diwakili oleh Al-Habbab bin Al-Mundzir bin Al-Jamuh agar kepemimpinan kaum muslimin dipecah menjadi dua, kalangan Anshar mengangkat pemimpin sendiri, dan demikian kalangan Muhajirin juga mengangkat pemimpin sendiri. Seketika itu juga para sahabat senior menolak dengan tegas tawaran tersebut, karena jelas bertentangan dengan apa yang telah diajarkan Rasulullah saw kepada mereka. Penolakan itu tergambar dalam riwayat berikut.

قالت الأنصار : منا أمير ومنكم أمير ، قال عمر : سيفان في غِمْد واحد إذا لا يصلحان . (رواه النسائي والبيهقي والبزار)
 

Kaum Anshar berkata: “Dari kami (kaum Anshar) ada pemimpin sendiri dan dari kalian (kaum Muhajirin) juga ada pemimpin sendiri.” Umar bin Al-Khaththab berkata (dengan nada menolak): “Dua pedang dalam satu sarung, jadi hal tersebut tidak dibenarkan.” (HR. An-Nasa’i, Al-Baihaqi, dan Al-Bazzar)

Ungkapan Umar bin Khaththab ra. [dua pedang dalam satu sarung] mengisyaratkan bahwa hal itu tidak layak terjadi, yaitu tidak boleh ada dua khalifah atau lebih untuk umat Islam yang satu di waktu yang sama. Betapapun banyak jumlah kaum muslimin dan betapapun luas wilayah kekuasaan mereka saat itu.


Dalam perjalanan sejarah Kekhilafahan Islamiyah, memang diakui bahwa kaum muslimin pernah memiliki pemimpin (baca: khalifah) lebih dari satu di waktu yang sama. Adalah di masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah (133-656H/ 750-1258M) misalnya, terbentuk tiga wilayah kekhilafahan yang saling terpisah satu sama lain dengan dipimpin oleh Khalifah yang berbilang di wilayahnya masing-masing. Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan:

… وهذا يشبه حال خلفاء بني العباس بالعراق والفاطميين بمصر والأمويين بالمغرب
 

“… Hal ini serupa dengan kondisi para khalifah Bani Abbas di Irak, Fathimiyyah di Mesir, dan Umawiyyah di Maghrib (Kordoba – Spanyol).”

Namun fakta sejarah ini sama sekali tidak menandakan adanya perubahan status hukum keberbilangan Khalifah, dari yang awalnya haram di masa Rasulullah saw dan para Sahabat ra menjadi mubah di masa berikutnya. Hukum asal berbilangnya Khalifah adalah haram dan akan tetap haram sampai kapanpun, sebagaimana perkara-perkara haram lainnya. Adapun yang terjadi di masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah sebagaimana diungkapkan di atas, tidak lain merupakan fakta penyimpangan yang terjadi saat itu. Dengan jelas Imam Ibnu Taimiyyah rahimahuLlâh berkata:

والسنة أن يكون للمسلمين إمام واحد والباقون نوابه ، فإذا فرض أن الأمة خرجت عن ذلك لمعصية من بعضها وعجز من الباقين أو غير ذلك فكان لها عدة أئمة لكان يجب على كل إمام أن يقيم الحدود ويستوفي الحقوق .
 

“dan merupakan ajaran (baku), yaitu hendaknya kaum muslimin memiliki satu orang Imam (khalifah), dan yang lain bertindak sebagai para wakilnya. Adapun jika umat Islam terpaksa harus keluar dari ketentuan tersebut disebabkan kemaksiatan sebagian dari mereka, dan yang lain lemah untuk mencegahnya atau karena alasan lain, sehingga umat Islam kemudian memiliki imam-imam yang berbilang, maka setiap Imam tetap wajib menegakkan hudûd (hukum-hukum Allah swt) dan memenuhi hak-hak (rakyatnya)”. (Majmû’ Al-Fatâwâ, vol 34 hlm 175 versi maktabah syamilah)

Ungkapan lima’shiyatin min ba’dhihâ (disebabkan kemaksiatan sebagian dari mereka) menandakan bahwa keberbilangan khalifah adalah pelanggaran yang diharamkan, sehingga pelakunya atau penyebabnya disebut sebagai pelaku maksiat. Sedangkan kaum muslimin lainnya, karena ke-tidakmampu-an mencegah atau memperbaiki keadaan, sehingga menjadikan hal tersebut dimaafkan. Adapun ungkapan: “maka setiap khalifah tetap wajib menegakkan hudûd dan memenuhi hak-hak”, menandakan demikian mendesaknya penerapan syari’at Islam dan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Jadi meskipun kekhilafahan dalam kondisi terpecah, setiap khalifah tetap wajib menerapkan hukum Islam di wilayah kekuasaannya masing-masing dan menunaikan hak-hak rakyatnya. 


Ta’addud Al-Khilâfah adalah Pendapat Minoritas Ulama
Dalam khazanah Fiqh Islam memang ditemukan beberapa pihak yang mentoleransi keberbilangan khalifah, mereka adalah:

1.    Al-Karâmiyyah (kelompok kalam oleh Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Karam As-Sajistani (w. 255 H)), disebutkan Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya:

وقالت الكرامية : يجوز نصب إمامين فأكثر كما كان علي ومعاوية إمامين واجبي الطاعة ، قالوا وإذا جاز بعث نبيين في وقت واحد وأكثر جاز ذلك في الإمامة ؛ لأن النبوة أعلى رتبة بلا خلاف
 

“Dan berkata Al-Karomiyah: boleh hukumnya mengangkat dua khalifah atau lebih sebagaimana Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dua imam yang wajib ditaati; mereka beralasan: jika pengutusan dua nabi atau lebih dalam satu waktu saja dibolehkan maka hal tersebut tentu juga boleh dalam perkara khilafah, karena perkara kenabian adalah derajat tertinggi tanpa ada perselisihan.” (Tafsîr Ibn Katsîr, vol 1 hlm 222)

2.    Imam Abu Ishak (w. 325 H), sebagaimana disebutkan Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya:

… وكان الأستاذ أبو إسحاق يجوز ذلك في إقليمين متباعدين غاية التباعد لئلا تتعطل حقوق الناس وأحكامهم .
 

“… dan adalah ustadz Abu Ishak membolehkan hal itu pada dua wilayah yang saling berjauhan secara signifikan, agar hak-hak kaum muslimin dan penerapan hukum mereka tidak terbengkalai.” (Tafsîr Al-Qurthubî, vol 1 hlm 273)

3.    Imam Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani (w. 1182 H), dalam kitabnya Subul As-Salâm:

عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: « من خرج عن الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته ميتة جاهلية » أخرجه مسلم ، قوله عن الطاعة أي طاعة الخليفة الذي وقع الاجتماع عليه وكأن المراد خليفة أي قطر من الأقطار إذ لم يجمع الناس على خليفة في جميع البلاد الإسلامية من أثناء الدولة العباسية .
 

“dari Nabi saw bersabda: “Barangsiapa keluar dari keta’atan dan memisahkan diri dari jama’ah dan kemudian mati, maka kematiannya adalah kematian dalam keadaan jahiliah”. Riwayat Muslim. Sabda Beliau “dari keta’atan” maksudnya Ketaatan kepada Khalifah yang disepakati oleh kaum muslimin. Sepertinya yang dimaksud juga khalifah dari penjuru-penjuru negeri kaum muslimin, dimana sejak masa Daulah ‘Abbasiah mereka tidak lagi bersatu dalam satu kepemimpinan seorang khalifah untuk semua negeri-negeri islam …” (Subul As-Salâm, vol 3 hlm 258)

4.    Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (w. 1250 H), dalam kitabnya As-Sail Al-Jarrâr Al-Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq Al-Azhâr:

وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان … فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه .
 

“dan sedangkan setelah menyebarnya Islam dan meluasnya wilayah, serta jauhnya jarak antar ujung wilayahnya, maka menjadi maklum bahwa pada setiap penjuru terbentuk wilayah kekuasaan yang dipimpin oleh seorang Imam atau penguasa tententu … maka tidak apa-apa dengan keberbilangan imam dan penguasa, serta wajib atas penduduk wilayah tersebut yang menerapkan perintah dan larangannya untuk taat kepada setiap dari mereka setelah terjadi bai’at.” (As-Sail Al-Jarrâr Al-Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq Al-Azhâr, vol 1 hlm 941)

Jika dikelompokkan, maka akan tampak jelas bahwa diantara pendapat yang membolehkan keberbilangan khalifah tidak satupun yang berlandaskan pada dalil yang jelas yang kuat dari aspek dilâlah-nya. Justru sebaliknya, terjadi ihmâl terhadap beberapa hadits Nabi saw yang berbicara tentang wajibnya kekhilafahan yang tunggal. 


1.    Imam Abu Ishak, Imam Asy-Syaukani dan Imam Ash-Shan’ani. Ketiganya membolehkan keberbilangan khalifah karena alasan jauhnya jarak atau luasnya wilayah negara Khilafah, yaitu demi agar hak-hak kaum muslimin dan penerapan hukum Islam tidak terbengkalai.
Fakta yang terjadi di masa Kekhilafahan Abbasiyyah tidak bisa dijadikan landasan hukum dalam membolehkan berbilangnya khalifah, karena fakta sejarah bukan landasan hukum. Selain bahwasannya keterpecahan wilayah saat itu bukan terjadi karena alasan jauhnya jarak, melainkan juga karena perebutan pengaruh dan kekuasaan. Terbukti misalnya Kekhilafahan Fathimiyyah yang berdiri pada tahun 969 M di Mesir oleh golongan Syi’ah yang memisahkan diri dari Daulah Abbasiyah, pada akhirnya di tahun 1171 M, tepatnya di masa Shalahuddin Al-Ayyubi, dikalahkan dan dilebur kembali ke dalam wilayah kekuasaan Bani Abbasiyyah (Lihat Shalâhuddîn Al-Ayyûbî wa Juhûuduhu fî Al-Qadhâ’ ‘alâ Ad-Dawlah Al-Fâthimiyyah wa Tahrîr Bayt Al-Maqdis, vol 1 hlm 383). Hal itu cukup jelas membuktikan bahwa berdirinya Kekhilafahan Fathimiyyah bukan karena jauhnya jarak, tapi dikarenakan kebangkitan kaum syi’ah dalam persaingannya dengan golongan Ahli Sunnah di dunia politik.
Alasan demi terpenuhinya hak-hak kaum muslimin dan penerapan hukum Islam tidak bisa deterima begitu saja karena untuk wilayah yang berjarak jauh, syara’ menggariskan tidak dengan mengangkat khalifah baru atau khalifah lain lagi, akan tetapi dengan pengiriman umara, ‘ummal atau qudhat oleh Khalifah sebagai wakil daripadanya di tempat-tempat yang jauh. Imam Al-Khaza’i mengatakan:

الأمراء الذين بعثهم رسول الله صلى الله عليه وسلم على الجهات كثيرون
 

“Umara yang diutus oleh Rasulullah saw ke berbagai penjuru (untuk menjadi wakil beliau) berjumlah banyak.” (Takhrîj Ad-Dilâlât As-Sam’iyyah, vol I hlm 267)

Dipertegas oleh perkataan Imam As-sinqithi dalam tafsirnya, yang akan dicantumkan pada uraian berikutnya, insyâaLlâh.


2.    Al-Karamiyyah, mereka berargumentasi dengan logika bahwa berbilangnya pengutusan nabi oleh Allah swt dalam satu masa (misal nabi Harun as yang semasa dengan nabi Musa as) menandakan kebolehan berbilangnya Khalifah. Pendapat aneh ini dibantah oleh Imam As-Sinqithi. 

وبجواز بعث نبيين في وقت واحد ، يرده قوله صلى الله عليه وسلم : « فاقتلوا الآخر منهما » ؛ ولأن نصب خليفتين يؤدي إلى الشقاق وحدوث الفتن .
 

“Berahujjah dengan diperbolehkannya pengutusan Nabi yang lebih dari satu di satu waktu, tertolak oleh sabda Nabi saw: “Maka bunuhlah yang terakhir diantara keduanya”. Karena pengangkatan dua khalifah akan memicu timbulnya perpecahan dan terjadinya fitnah.” (Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh Al-Qur’ân bi Al-Qur’ân, vol 3 hlm 41)

Adapun Jumhur Ulama berpendapat: haram hukumnya mengangkat dua khalifah atau lebih di waktu yang sama. Tanpa melihat jauh dan dekatnya jarak atau luas dan sempitnya wilayah kekuasaan kaum muslimin.

1.    Imam An-Nawawi (w. 676 H), dalam kitab syarahnya atas Shahih Muslim, berkata: 

« واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا »
 

“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.” (Syarh An-Nawawî ‘alâ Muslim, vol 12 hal 232)

2.    Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), dalam kitab tafsirnya mengatakan: 

فأما نصب إمامين في الأرض أو أكثر فلا يجوز لقوله عليه الصلاة والسلام : « من جاءكم وأمركم جميع يريد أن يفرق بينكم فاقتلوه كائنًا من كان » . وهذا قول الجمهور ، وقد حكى الإجماع على ذلك غير واحد ، منهم إمام الحرمين .
 

“Dan sedangkan pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: “Barang siapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin memecahbelah kalian maka bunuhlah dia seketika siapapun dia.” Yang demikian ini pendapat jumhur (mayoritas) Ulama, dan yang mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma’ tidak hanya satu orang, diantaranya adalah Imam Haramain (Al-Juwaini).” (Tafsîr Ibn Katsîr, vol 1 hlm 222)

3.    Imam As-Sinqithi (w. 1393 H), dalam kitab tafsirnya menyatakan:

قول جماهير العلماء من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا ، وأن لا يتولى على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه مسلم في “صحيحه” من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما » .


“Pendapat jumhurul ‘ulama: Bahwa berbilangnya khalifah adalah tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa atas wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali umara’ yang diangkat olehnya, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir (diba’at) di antara keduanya.” (Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh Al-Qur’ân bi Al-Qur’ân, vol 3 hlm 39)


4.  Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi di dalam Al Fiqh ’Alaa Madzaahibil Arba’ah menyatakan:
اتفق الأئمة رحمهم اللّه تعالى على: أن الإمامة فرض، وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان

“Para imam (empat madzhab) rahimahumullaah Ta’aalaa telah sepakat bahwa Al Imamah itu wajib, dan umat harus memiliki seorang imam yang menegakkan syi'ar-syi'ar agama serta memberi keadilan bagi orang yang terdzolimi, dan bahwa tidak boleh ada dua orang imam bagi umat Islam di seluruh dunia dalam waktu yang sama”
(
Kitabul Fiqhi ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Juz 5)


5.  Sayyid Muhammad Amin, dalam Al-Mizan Al-Kubra bab Hukm Al-Bughat berkata: 

ﻭﺍﺗﻔﻖ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻓﺮﺽ ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﺇﻣﺎﻡ ﻳﻘﻴﻢ ﺷﻌﺎﺋﺮ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻳﻨﺼﻒ ﺍﻟﻤﻈﻠﻮﻣﻴﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ,ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻰ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ ﻓﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ﻻ ﻣﺘﻔﻘﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻔﺘﺮﻗﺎﻥ}


"Empat imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'iy dan Ahmad) telah sepakat bahwa imamah (khilafah) adalah fadhu, dan bahwa kaum muslim wajib memiliki seorang imam yang menegakkan syiar-syiar agama, menolong orang-orang yang teraniaya dari orang-orang yang menganiaya, dan bahwa kaum muslim dalam satu masa di seluruh dunia tidak boleh memiliki dua orang imam, sama saja yang keduanya sepakat (rukun) atau yang keduanya berselisih…" (Al-Mizan Al-Kubra, bab Hukm Al-Bughat, vol 2 hlm 153)


Tidak Berhenti Karena Lemah

Lemahnya kaum muslimin dalam mencegah dan memperbaiki kemungkaran berupa keberbilangan khalifah, tidak menjadikan kaum muslimin membiarkan sama sekali kondisi tersebut berlangsung terus hingga Hari Akhir tiba. Karena di dalam Islam terdapat perintah syara’ untuk merubah kemungkaran apabila itu terjadi. 


عن أبي سعيد الخدري سمعت رسول الله  يقول « من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان » . ( رواه مسلم )
 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa di antara kalian yang melihat suatu kemunkaran maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya (perkataan), dan jika ia tidak mampu (juga) maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” HR. Muslim

Para ulama menyebutnya dengan istilah izâlatul-munkar (menghilangkan kemungkaran), dia berbeda dari an-nahy ‘anil-munkar (mencegak kemungkaran). Perintah wajibnya menghilangkan kemungkaran bersifat tetap, sedangkan kondisi lemah tidak bersifat tetap. Artinya, ada kalanya jika kaum muslimin mampu menghilangkan kemungkaran tersebut (misalnya dengan berjama’ah dan aktivitas politik), maka hal itu menjadi wajib untuk mereka lakukan. Imam Al-Manawi menyebutkan: 


أن ترك إزالة المنكر مع القدرة عظيم الإثم
 

“Bahwa meninggalkan aktivitas ‘menghilangkan kemungkaran’ adalah besar dosanya jika ada kemampuan untuk itu.” (At-Taisîr bi Syarh Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr li Al-Manâwî, vol II hlm 441. Lihat juga Faidh Al-Qadîr, vol V hlm 76)

Walhâshil, pendapat yang membolehkan Khalifah berbilang adalah pendapat yang tidak berdiri diatas sandaran yang kokoh dan bertentangan dengan pendapat jumhûr (mayoritas) ‘ulama. Takwil yang sungguh sangat jauh lagi jika membawa ungkapan ‘ulama yang membolehkan tersebut untuk menjustifikasi kondisi keberbilangan pemimpin negeri-negeri sekular kaum muslimin saat ini. Bagaimana bisa negeri-negeri di jazirah Arab seperti Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Oman, dan Uni Emirat Arab misalnya, dikatakan saling berjauhan dan boleh mengangkat khalifah (baca: pemimpin) masing-masing, padahal di akhir hayat Rasulullah saw –dengan berbagai keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi saat itu– semua wilayah tersebut berada dalam satu kepemimpinan dan tidak dianggap berjauhan?. Demikian pula pecahan-pecahan wilayah negeri kaum muslimin lainnya yang ada saat ini, dimana sebelumnya merupakan satu kesatuan yang besar dalam kendali satu imam, dalam bentuk Daulah Khilafah Islamiyyah. Perpecahan negeri-negeri kaum muslimin tidak lain dikarenakan penjajahan Negara-negara Eropa Barat (terutama Inggris, Prancis, dan Rusia), serta propaganda paham menyesatkan Nasionalisme yang mereka lakukan. WaLlâhu  A’lam 

Azizi Fathoni K.

0 comments:

Posting Komentar