Tanya:
Bolehkan pemimpin kaum muslimin berjumlah lebih dari satu? Bagaimana pendapat para ulama terdahulu dalam perkara ini?
(Ahmad Ahnaf di bumi Allah)
Jawab:
Saudara Ahnaf yang dicintai oleh Allah swt.
Sebelumnya, perlu kita ketahui bersama bahwa wajibnya kepemimpinan yang
tunggal bagi seluruh kaum muslimin di dunia merupakan perkara yang
ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah (sudah sangat dimaklumi dalam Islam).
Berdasarkan sabda Rasulullah saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما » . (رواه مسلم)
Rasulullah
saw bersabda: “Apabila telah terjadi bai’at terhadap dua orang khalifah
maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)
Pesan singkat Rasulullah saw di atas dipahami dengan sangat baik oleh
para Sahabat radhiyaLlâhu ‘anhum. Terbukti tepat setelah Rasulullah saw
wafat, yaitu pada peristiwa Saqîfah Banî Sâ’idah, muncul sebuah opsi
dari kalangan Anshar yang diwakili oleh Al-Habbab bin Al-Mundzir bin
Al-Jamuh agar kepemimpinan kaum muslimin dipecah menjadi dua, kalangan
Anshar mengangkat pemimpin sendiri, dan demikian kalangan Muhajirin juga
mengangkat pemimpin sendiri. Seketika itu juga para sahabat senior
menolak dengan tegas tawaran tersebut, karena jelas bertentangan dengan
apa yang telah diajarkan Rasulullah saw kepada mereka. Penolakan itu
tergambar dalam riwayat berikut.
قالت الأنصار : منا أمير ومنكم أمير ، قال عمر : سيفان في غِمْد واحد إذا لا يصلحان . (رواه النسائي والبيهقي والبزار)
Kaum
Anshar berkata: “Dari kami (kaum Anshar) ada pemimpin sendiri dan dari
kalian (kaum Muhajirin) juga ada pemimpin sendiri.” Umar bin
Al-Khaththab berkata (dengan nada menolak): “Dua pedang dalam satu
sarung, jadi hal tersebut tidak dibenarkan.” (HR. An-Nasa’i, Al-Baihaqi,
dan Al-Bazzar)
Ungkapan Umar bin Khaththab ra. [dua pedang dalam
satu sarung] mengisyaratkan bahwa hal itu tidak layak terjadi, yaitu
tidak boleh ada dua khalifah atau lebih untuk umat Islam yang satu di
waktu yang sama. Betapapun banyak jumlah kaum muslimin dan betapapun
luas wilayah kekuasaan mereka saat itu.
Dalam perjalanan sejarah Kekhilafahan Islamiyah, memang diakui bahwa
kaum muslimin pernah memiliki pemimpin (baca: khalifah) lebih dari satu
di waktu yang sama. Adalah di masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah
(133-656H/ 750-1258M) misalnya, terbentuk tiga wilayah kekhilafahan yang
saling terpisah satu sama lain dengan dipimpin oleh Khalifah yang
berbilang di wilayahnya masing-masing. Imam Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya menyatakan:
… وهذا يشبه حال خلفاء بني العباس بالعراق والفاطميين بمصر والأمويين بالمغرب
“…
Hal ini serupa dengan kondisi para khalifah Bani Abbas di Irak,
Fathimiyyah di Mesir, dan Umawiyyah di Maghrib (Kordoba – Spanyol).”
Namun fakta sejarah ini sama sekali tidak menandakan adanya perubahan
status hukum keberbilangan Khalifah, dari yang awalnya haram di masa
Rasulullah saw dan para Sahabat ra menjadi mubah di masa berikutnya.
Hukum asal berbilangnya Khalifah adalah haram dan akan tetap haram
sampai kapanpun, sebagaimana perkara-perkara haram lainnya. Adapun yang
terjadi di masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah sebagaimana diungkapkan di
atas, tidak lain merupakan fakta penyimpangan yang terjadi saat itu.
Dengan jelas Imam Ibnu Taimiyyah rahimahuLlâh berkata:
والسنة أن يكون
للمسلمين إمام واحد والباقون نوابه ، فإذا فرض أن الأمة خرجت عن ذلك
لمعصية من بعضها وعجز من الباقين أو غير ذلك فكان لها عدة أئمة لكان يجب
على كل إمام أن يقيم الحدود ويستوفي الحقوق .
“dan merupakan ajaran
(baku), yaitu hendaknya kaum muslimin memiliki satu orang Imam
(khalifah), dan yang lain bertindak sebagai para wakilnya. Adapun jika umat Islam terpaksa harus keluar dari ketentuan tersebut
disebabkan kemaksiatan sebagian dari mereka, dan yang lain lemah untuk
mencegahnya atau karena alasan lain, sehingga umat Islam kemudian
memiliki imam-imam yang berbilang, maka setiap Imam tetap wajib
menegakkan hudûd (hukum-hukum Allah swt) dan memenuhi hak-hak
(rakyatnya)”. (Majmû’ Al-Fatâwâ, vol 34 hlm 175 versi maktabah syamilah)
Ungkapan
lima’shiyatin min ba’dhihâ (disebabkan kemaksiatan sebagian dari
mereka) menandakan bahwa keberbilangan khalifah adalah pelanggaran yang
diharamkan, sehingga pelakunya atau penyebabnya disebut sebagai pelaku
maksiat. Sedangkan kaum muslimin lainnya, karena ke-tidakmampu-an
mencegah atau memperbaiki keadaan, sehingga menjadikan hal tersebut
dimaafkan. Adapun ungkapan: “maka setiap khalifah tetap wajib menegakkan
hudûd dan memenuhi hak-hak”, menandakan demikian mendesaknya penerapan
syari’at Islam dan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Jadi meskipun
kekhilafahan dalam kondisi terpecah, setiap khalifah tetap wajib
menerapkan hukum Islam di wilayah kekuasaannya masing-masing dan
menunaikan hak-hak rakyatnya.
Ta’addud Al-Khilâfah adalah Pendapat Minoritas Ulama
Dalam khazanah Fiqh Islam memang ditemukan beberapa pihak yang mentoleransi keberbilangan khalifah, mereka adalah:
1. Al-Karâmiyyah (kelompok kalam oleh Abu Abdillah Muhammad bin
Abdillah bin Karam As-Sajistani (w. 255 H)), disebutkan Imam Ibnu Katsir
dalam kitab tafsirnya:
وقالت الكرامية : يجوز نصب إمامين فأكثر كما
كان علي ومعاوية إمامين واجبي الطاعة ، قالوا وإذا جاز بعث نبيين في وقت
واحد وأكثر جاز ذلك في الإمامة ؛ لأن النبوة أعلى رتبة بلا خلاف
“Dan
berkata Al-Karomiyah: boleh hukumnya mengangkat dua khalifah atau lebih
sebagaimana Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dua imam
yang wajib ditaati; mereka beralasan: jika pengutusan dua nabi atau
lebih dalam satu waktu saja dibolehkan maka hal tersebut tentu juga
boleh dalam perkara khilafah, karena perkara kenabian adalah derajat
tertinggi tanpa ada perselisihan.” (Tafsîr Ibn Katsîr, vol 1 hlm 222)
2. Imam Abu Ishak (w. 325 H), sebagaimana disebutkan Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya:
… وكان الأستاذ أبو إسحاق يجوز ذلك في إقليمين متباعدين غاية التباعد لئلا تتعطل حقوق الناس وأحكامهم .
“…
dan adalah ustadz Abu Ishak membolehkan hal itu pada dua wilayah yang
saling berjauhan secara signifikan, agar hak-hak kaum muslimin dan
penerapan hukum mereka tidak terbengkalai.” (Tafsîr Al-Qurthubî, vol 1
hlm 273)
3. Imam Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani (w. 1182 H), dalam kitabnya Subul As-Salâm:
عن
النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: « من خرج عن الطاعة وفارق الجماعة
ومات فميتته ميتة جاهلية » أخرجه مسلم ، قوله عن الطاعة أي طاعة الخليفة
الذي وقع الاجتماع عليه وكأن المراد خليفة أي قطر من الأقطار إذ لم يجمع
الناس على خليفة في جميع البلاد الإسلامية من أثناء الدولة العباسية .
“dari
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa keluar dari keta’atan dan memisahkan
diri dari jama’ah dan kemudian mati, maka kematiannya adalah kematian
dalam keadaan jahiliah”. Riwayat Muslim. Sabda Beliau “dari keta’atan”
maksudnya Ketaatan kepada Khalifah yang disepakati oleh kaum muslimin.
Sepertinya yang dimaksud juga khalifah dari penjuru-penjuru negeri kaum
muslimin, dimana sejak masa Daulah ‘Abbasiah mereka tidak lagi bersatu
dalam satu kepemimpinan seorang khalifah untuk semua negeri-negeri islam
…” (Subul As-Salâm, vol 3 hlm 258)
4. Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (w. 1250 H), dalam kitabnya As-Sail Al-Jarrâr Al-Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq Al-Azhâr:
وأما
بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل
قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان … فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين
ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه
أوامره ونواهيه .
“dan sedangkan setelah menyebarnya Islam dan
meluasnya wilayah, serta jauhnya jarak antar ujung wilayahnya, maka
menjadi maklum bahwa pada setiap penjuru terbentuk wilayah kekuasaan
yang dipimpin oleh seorang Imam atau penguasa tententu … maka tidak
apa-apa dengan keberbilangan imam dan penguasa, serta wajib atas
penduduk wilayah tersebut yang menerapkan perintah dan larangannya untuk
taat kepada setiap dari mereka setelah terjadi bai’at.” (As-Sail
Al-Jarrâr Al-Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq Al-Azhâr, vol 1 hlm 941)
Jika
dikelompokkan, maka akan tampak jelas bahwa diantara pendapat yang
membolehkan keberbilangan khalifah tidak satupun yang berlandaskan pada
dalil yang jelas yang kuat dari aspek dilâlah-nya. Justru sebaliknya,
terjadi ihmâl terhadap beberapa hadits Nabi saw yang berbicara tentang
wajibnya kekhilafahan yang tunggal.
1. Imam Abu Ishak, Imam Asy-Syaukani dan Imam Ash-Shan’ani.
Ketiganya membolehkan keberbilangan khalifah karena alasan jauhnya jarak
atau luasnya wilayah negara Khilafah, yaitu demi agar hak-hak kaum
muslimin dan penerapan hukum Islam tidak terbengkalai.
Fakta yang terjadi di masa Kekhilafahan Abbasiyyah tidak bisa
dijadikan landasan hukum dalam membolehkan berbilangnya khalifah, karena
fakta sejarah bukan landasan hukum. Selain bahwasannya keterpecahan
wilayah saat itu bukan terjadi karena alasan jauhnya jarak, melainkan
juga karena perebutan pengaruh dan kekuasaan. Terbukti misalnya
Kekhilafahan Fathimiyyah yang berdiri pada tahun 969 M di Mesir oleh
golongan Syi’ah yang memisahkan diri dari Daulah Abbasiyah, pada
akhirnya di tahun 1171 M, tepatnya di masa Shalahuddin Al-Ayyubi,
dikalahkan dan dilebur kembali ke dalam wilayah kekuasaan Bani
Abbasiyyah (Lihat Shalâhuddîn Al-Ayyûbî wa Juhûuduhu fî Al-Qadhâ’ ‘alâ
Ad-Dawlah Al-Fâthimiyyah wa Tahrîr Bayt Al-Maqdis, vol 1 hlm 383). Hal
itu cukup jelas membuktikan bahwa berdirinya Kekhilafahan Fathimiyyah
bukan karena jauhnya jarak, tapi dikarenakan kebangkitan kaum syi’ah
dalam persaingannya dengan golongan Ahli Sunnah di dunia politik.
Alasan demi terpenuhinya hak-hak kaum muslimin dan penerapan hukum
Islam tidak bisa deterima begitu saja karena untuk wilayah yang berjarak
jauh, syara’ menggariskan tidak dengan mengangkat khalifah baru atau
khalifah lain lagi, akan tetapi dengan pengiriman umara, ‘ummal atau
qudhat oleh Khalifah sebagai wakil daripadanya di tempat-tempat yang
jauh. Imam Al-Khaza’i mengatakan:
الأمراء الذين بعثهم رسول الله صلى الله عليه وسلم على الجهات كثيرون
“Umara
yang diutus oleh Rasulullah saw ke berbagai penjuru (untuk menjadi
wakil beliau) berjumlah banyak.” (Takhrîj Ad-Dilâlât As-Sam’iyyah, vol I
hlm 267)
Dipertegas oleh perkataan Imam As-sinqithi dalam tafsirnya, yang akan dicantumkan pada uraian berikutnya, insyâaLlâh.
2. Al-Karamiyyah, mereka berargumentasi dengan logika bahwa
berbilangnya pengutusan nabi oleh Allah swt dalam satu masa (misal nabi
Harun as yang semasa dengan nabi Musa as) menandakan kebolehan
berbilangnya Khalifah. Pendapat aneh ini dibantah oleh Imam As-Sinqithi.
وبجواز بعث نبيين في وقت واحد ، يرده قوله صلى الله عليه وسلم : «
فاقتلوا الآخر منهما » ؛ ولأن نصب خليفتين يؤدي إلى الشقاق وحدوث الفتن .
“Berahujjah
dengan diperbolehkannya pengutusan Nabi yang lebih dari satu di satu
waktu, tertolak oleh sabda Nabi saw: “Maka bunuhlah yang terakhir
diantara keduanya”. Karena pengangkatan dua khalifah akan memicu
timbulnya perpecahan dan terjadinya fitnah.” (Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh
Al-Qur’ân bi Al-Qur’ân, vol 3 hlm 41)
Adapun Jumhur Ulama berpendapat: haram hukumnya mengangkat dua
khalifah atau lebih di waktu yang sama. Tanpa melihat jauh dan dekatnya
jarak atau luas dan sempitnya wilayah kekuasaan kaum muslimin.
1. Imam An-Nawawi (w. 676 H), dalam kitab syarahnya atas Shahih Muslim, berkata:
« واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا »
“Para
ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah di satu
masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.” (Syarh An-Nawawî
‘alâ Muslim, vol 12 hal 232)
2. Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), dalam kitab tafsirnya mengatakan:
فأما
نصب إمامين في الأرض أو أكثر فلا يجوز لقوله عليه الصلاة والسلام : « من
جاءكم وأمركم جميع يريد أن يفرق بينكم فاقتلوه كائنًا من كان » . وهذا قول
الجمهور ، وقد حكى الإجماع على ذلك غير واحد ، منهم إمام الحرمين .
“Dan
sedangkan pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu
tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: “Barang siapa yang mendatangi
kalian sedangkan urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin
memecahbelah kalian maka bunuhlah dia seketika siapapun dia.” Yang
demikian ini pendapat jumhur (mayoritas) Ulama, dan yang mengatakan
bahwa pendapat tersebut merupakan ijma’ tidak hanya satu orang,
diantaranya adalah Imam Haramain (Al-Juwaini).” (Tafsîr Ibn Katsîr, vol 1
hlm 222)
3. Imam As-Sinqithi (w. 1393 H), dalam kitab tafsirnya menyatakan:
قول
جماهير العلماء من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب
كونه واحدا ، وأن لا يتولى على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من
قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه مسلم في “صحيحه” من حديث أبي سعيد الخدري رضي
الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إذا بويع لخليفتين
فاقتلوا الآخر منهما » .
“Pendapat jumhurul ‘ulama: Bahwa berbilangnya
khalifah adalah tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya
tidak berkuasa atas wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali
umara’ yang diangkat olehnya, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan
hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra,
bahwa Rasulullah saw bersabda: “jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah
yang terakhir (diba’at) di antara keduanya.” (Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh
Al-Qur’ân bi Al-Qur’ân, vol 3 hlm 39)
4. Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi di dalam Al Fiqh ’Alaa Madzaahibil Arba’ah menyatakan:
اتفق الأئمة رحمهم اللّه تعالى على: أن الإمامة فرض، وأنه لا بد للمسليمن
من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن
يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان
“Para imam (empat madzhab) rahimahumullaah Ta’aalaa telah sepakat bahwa Al Imamah itu
wajib, dan umat harus memiliki seorang imam yang menegakkan syi'ar-syi'ar agama serta memberi keadilan bagi orang yang terdzolimi, dan bahwa tidak
boleh ada dua orang imam bagi umat Islam di seluruh dunia dalam
waktu yang sama” (Kitabul Fiqhi ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Juz 5)
5. Sayyid Muhammad Amin, dalam Al-Mizan Al-Kubra bab Hukm Al-Bughat berkata:
ﻭﺍﺗﻔﻖ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻓﺮﺽ
ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﺇﻣﺎﻡ ﻳﻘﻴﻢ ﺷﻌﺎﺋﺮ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻳﻨﺼﻒ ﺍﻟﻤﻈﻠﻮﻣﻴﻦ ﻣﻦ
ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ,ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻰ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ ﻓﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ﻻ ﻣﺘﻔﻘﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻔﺘﺮﻗﺎﻥ}
"Empat imam madzhab (Abu Hanifah,
Malik, Syafi'iy dan Ahmad) telah sepakat bahwa imamah (khilafah) adalah
fadhu, dan bahwa kaum muslim wajib memiliki seorang imam yang menegakkan
syiar-syiar agama, menolong orang-orang yang teraniaya
dari orang-orang yang menganiaya, dan bahwa kaum muslim dalam satu masa
di seluruh dunia tidak boleh memiliki dua orang imam, sama saja yang
keduanya sepakat (rukun) atau yang keduanya berselisih…" (Al-Mizan Al-Kubra, bab Hukm Al-Bughat, vol 2 hlm 153)
Tidak Berhenti Karena Lemah
Lemahnya kaum
muslimin dalam mencegah dan memperbaiki kemungkaran berupa keberbilangan
khalifah, tidak menjadikan kaum muslimin membiarkan sama sekali kondisi
tersebut berlangsung terus hingga Hari Akhir tiba. Karena di dalam
Islam terdapat perintah syara’ untuk merubah kemungkaran apabila itu
terjadi.
عن أبي سعيد الخدري سمعت رسول الله يقول « من رأى منكم منكرا فليغيره
بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان » . (
رواه مسلم )
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Barang siapa di antara kalian yang melihat suatu kemunkaran
maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka
dengan lisannya (perkataan), dan jika ia tidak mampu (juga) maka dengan
hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” HR. Muslim
Para
ulama menyebutnya dengan istilah izâlatul-munkar (menghilangkan
kemungkaran), dia berbeda dari an-nahy ‘anil-munkar (mencegak
kemungkaran). Perintah wajibnya menghilangkan kemungkaran bersifat
tetap, sedangkan kondisi lemah tidak bersifat tetap. Artinya, ada
kalanya jika kaum muslimin mampu menghilangkan kemungkaran tersebut
(misalnya dengan berjama’ah dan aktivitas politik), maka hal itu menjadi
wajib untuk mereka lakukan. Imam Al-Manawi menyebutkan:
أن ترك إزالة المنكر مع القدرة عظيم الإثم
“Bahwa
meninggalkan aktivitas ‘menghilangkan kemungkaran’ adalah besar dosanya
jika ada kemampuan untuk itu.” (At-Taisîr bi Syarh Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr
li Al-Manâwî, vol II hlm 441. Lihat juga Faidh Al-Qadîr, vol V hlm 76)
Walhâshil, pendapat yang membolehkan Khalifah berbilang adalah
pendapat yang tidak berdiri diatas sandaran yang kokoh dan bertentangan
dengan pendapat jumhûr (mayoritas) ‘ulama. Takwil yang sungguh sangat
jauh lagi jika membawa ungkapan ‘ulama yang membolehkan tersebut untuk
menjustifikasi kondisi keberbilangan pemimpin negeri-negeri sekular kaum
muslimin saat ini. Bagaimana bisa negeri-negeri di jazirah Arab seperti
Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Oman, dan Uni Emirat Arab misalnya,
dikatakan saling berjauhan dan boleh mengangkat khalifah (baca:
pemimpin) masing-masing, padahal di akhir hayat Rasulullah saw –dengan
berbagai keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi saat itu– semua
wilayah tersebut berada dalam satu kepemimpinan dan tidak dianggap
berjauhan?. Demikian pula pecahan-pecahan wilayah negeri kaum muslimin
lainnya yang ada saat ini, dimana sebelumnya merupakan satu kesatuan
yang besar dalam kendali satu imam, dalam bentuk Daulah Khilafah
Islamiyyah. Perpecahan negeri-negeri kaum muslimin tidak lain
dikarenakan penjajahan Negara-negara Eropa Barat (terutama Inggris,
Prancis, dan Rusia), serta propaganda paham menyesatkan Nasionalisme
yang mereka lakukan. WaLlâhu A’lam
Azizi Fathoni K.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar