Metode Dakwah Mendirikan Khilafah

Sabtu, Juni 27, 2015
0
Dasar Hukum  

Mendirikan Khilafah adalah sebuah aktivitas yang harus ditetapkan berdasarkan dalil syara’, karena hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’. Apabila ditelusuri dengan cermat, maka akan ditemukan di dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah bentuk-bentuk aktivitas Rasulullah saw dalam rangka mendirikan pemerintahan Islam untuk pertama kalinya, yaitu aktivitas dakwah Beliau selama periode Mekah sebelum tegaknya Daulah Islamiyyah pertama di Madinah Al-Munawwarah.

Sirah Nabawiyyah selama berasal dari riwayat yang shahih maka terhitung dalil syara’ dan bisa digunakan sebagai hujjah (argumen). Ia tak ubahnya seperti hadits Nabi saw yang lain, karena di dalamnya juga mengandung perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah saw[1]. Selain juga menjadikan Beliau sebagai suri tauladan adalah perintah Allah swt.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب: 21]

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 21)

Selama periode Mekah, aktivitas dakwah Rasulullah saw terbagi menjadi tiga fase:

1)    Marhalah At-Tatsqiif (fase pengkaderan)

Yaitu Rasulullah saw mengkader para sahabat yang pertama masuk islam, untuk dipersiapkan menjadi pengemban dakwah islamiah. Proses ini dilakukan secara rahasia di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam ra, dan berlangsung selama tiga tahun pertama.

2)    Marhalah At-Tafaa'ul ma’a Al-Ummah (fase interaksi dengan umat)

Yaitu Rasulullah saw dan para sahabat Beliau, memulai dakwah secara terang-terangan di tengah-tengah masyarakat. Melakukan ash-shiraa’ al-fikri (pergolakan pemikiran) dan al-kifaah as-siyaasi (perjuangan politik). Fase ini dimulai sejak turunnya perintah Allah swt untuk mendakwahkan Islam secara terang-terangan.

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ [الحجر: 94]

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr [15]: 94)

di sela-sela masa penetrasi dakwah di tengah-tengah umat ini, kelompok dakwah juga melakukan thalabun nushrah (meminta pertolongan) kepada ahlul quwwah (pemegang kekuatan). sebagaimana Rasulullah pernah mendatangi kabilah-kabilah Arab untuk menyeru mereka kepada Islam, dan menawarkan dirinya untuk dilindungi dalam mendakwahkan Islam sarta diberi kekuasaan penuh untuk menerapkannya atas umat Islam. Aktivitas ini dilakukan sejak turunnya perintah Allah swt kepada Rasul-Nya untuk mencari dukungan Ahli Nushrah.

عن ابن عباس : حدثنى على بن أبى طالب قال : لما أمر الله نبيه أن يعرض نفسه على قبائل العرب خرج و أنا معه و أبو بكر إلى منى ، حتى دفعنا إلى مجلس من مجالس العرب

Dari Ibnu Abbas ra, Ali bin Abi Thalib ra berkata kepadaku: Tatkala Allah swt memerintahkan Nabi-Nya saw untuk menawarkan dirinya (untuk dilindungi) kepada kabilah-kabilah Arab, maka Beliau keluar (untuk itu) bersamaku dan Abu Bakar ra ke Mina, hingga mendorong kami ke majlis di antara majlis-majlis Arab. (HR. Al-Hakim, Abu Nu’aim, dan Al-Baihaqi – hadits Hasan)

3)    Istilamul Hukm (fase menerima kekuasaan)


Yaitu setelah interaksi di tengah-tengah umat membuahkan hasil berupa kekuatan politik dalam bentuk dukungan umat yang besar serta dukungan dan perlindungan dari ahlul quwwah. maka dimulailah fase ke-tiga, yakni dengan diserahkannya kekuasaan oleh masyarakat kepada kelompok pengemban dakwah untuk ditegakkan Khilafah, menerapkan islam dan mendakwahkannya ke berbagai penjuru dunia.

Metode mendirikan pemerintahan Islam melalui Thalabu An-Nushrah ini merupakan wahyu dari Allah swt yang sifatnya wajib. Tidak karena semata-mata dilakukan oleh Rasulullah saw, tapi lebih daripada itu sikap mulaazamah Beliau dalam menjalankannya. Tercatat dalam kitab-kitab sirah belasan bahkan menurut sebagian riwayat mencapai 21 nama kabilah yang pernah didatangi oleh Rasulullah saw untuk tujuan tersebut. Diantaranya riwayat dari Az-Zuhri yang dikutip oleh Ibnu Qoyyim berikut.

وكان ممن يسمى لنا من القبائل الذين أتاهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعاهم وعرض نفسه عليهم بنو عامر بن صعصعة ومحارب بن حصفة وفزارة وغسان ومرة وحنيفة وسليم وعبس وبنو النضر وبنو البكاء وكندة وكلب والحارث بن كعب وعذرة والحضارمة فلم يستجب منهم أحد

Dan diantara yang disebutkan kepada kami dari nama kabilah-kabilah yang didatangi Rasulullah saw, Beliau seru mereka, dan Beliau tawarkan diri beliau kepada mereka, adalah: Bani Amir bin Sha’sha’ah, Muharib bin Hashafah, Fazarah, Ghassan, Murrah, Hanifah, Sulaim, ‘Abas, Bani An-Nadhr, Bani Al-Baka’, Kindah, Kalb, Al-Harits bin Ka’ab, ‘Adzrah, dan Al-Hadharimah. Dan tidak satupun dari mereka yang menerima (tawaran Nabi saw tersebut).”[2]

Beliau melakukan Thalabu An-Nushrah tersebut baik dalam kondisi lapang maupun sempit sejak setelah wafatnya Abu Thalib hingga an-nushrah (pertolongan) benar-benar turun melalui tangan suku Aus dan Khazraj di Yatsrib. Dalam ‘ilmu Ushul Fiqh, sikap mulaazamahsemacam ini merupakan qariinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa suatu aktivitas hukumnya wajib[3].

Aktivitas Thalabu An-Nushrah bukan semata-mata menyeru suatu kabilah (melalui kepala kabilahnya) untuk masuk Islam saja tanpa ada unsur politik (kekuasaan) sama sekali. Digambarkan di beberapa riwayat ada kabilah-kabilah tertentu yang melakukan negosiasi dari tawaran Rasulullah saw tersebut. Diantaranya adalah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah berikut ini.

عن الزهري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتى بني عامر بن صعصعة فدعاهم إلى الله عز وجل وعرض عليهم نفسه فقال له رجل منهم - يقال له بيحرة بن فراس - : والله لو أني أخذت هذا الفتى من قريش ، لأكلت به العرب ، ثم قال أرأيت إن نحن بايعناك على أمرك ، ثم أظهرك الله على من خالفك ، أيكون لنا الأمر من بعدك ؟ قال الأمر إلى الله يضعه حيث يشاء فقال له أفتهدف نحورنا للعرب دونك ، فإذا أظهرك الله كان الأمر لغيرنا لا حاجة لنا بأمرك ، فأبوا عليه

Dari Az-Zuhri, bahwa Rasulullah saw suatu ketika mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah, kemudian menyeru mereka kepada Allah swt dan menawarkan diri Beliau kepada mereka, lalu berkata seorang laki-laki dari mereka – dikenal dengan nama Baiharah bin Faras -:Demi Allah jika aku mengambil pemuda ini dari tangan suku Quraisy niscaya aku akan memakan (memerangi) bangsa Arab, kemudian dia melanjutkan: Bagaimana pendapatmu, jika kami membai’atmu atas perkaramu (yang kamu tawarkan) itu kemudian Allah swt memenangkanmu dari siapa-siapa yang menentangmu, apakah sepeninggalmu perkara tersebut (kekuasaan) menjadi milik kami?, Nabi saw menjawab: “Perkara tersebut kembali kepada Allah swt, Dia akan memberikannya kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya”. Kemudian dia berkata: Apakah engkau hendak mengorbankan leher-leher kami bagi suku-suku Arab demi melindungimu, tapi jika Allah memenangkanmu nanti perkara tersebut diberikan kepada selain kami, kami tidak butuh pada perkaramu itu, maka mereka enggan menerima tawaran tersebut.[4]

Apabila Thalabun Nushrah dilakukan terhadap ahlul quwwah (pemilik kekuatan) muslim dari kalangan penguasa atau militer, maka bentuknya bukan seruan untuk masuk Islam, melainkan seruan untuk taat kepada Allah swt dengan menerapkan hukum-hukumNya secara menyeluruh, mewujudkan kembali kehidupan Islami, dan seruan untuk melindungi dakwah islamiyyah ke seluruh penjuru dunia.

Menyikapi Perbedaan Metode dalam Mendirikan Khilafah

Perbedaan metode dalam menegakkan khilafah ada dua macam: Pertama, metode yang merupakan hasil istinbath dari nash-nash syara’, dan ke-Dua, metode yang bukan merupakan hasil istinbath dari nash-nash syara’. Untuk pendapat yang termasuk golongan yang pertama mendapat toleransi untuk dianggap sebagai ra’yun islaamiy sedangkan golongan yang kedua tidak. Berikut beberapa diantaranya.

a.  Mendirikan Khilafah dengan menggunakan “tangan” (aktivitas fisik)
Pendapat tersebut dilandaskan pada sabda Rasulullah saw:

عن أبي سعيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

Dari Abu Sa’id berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Siapa-siapa diantara kalian yang menjumpai kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya Iman.” (HR. Muslim)

Mereka beralasan bahwa penerapan sistem selain Islam adalah kemungkaran yang sangat besar, serta memahami “merubah dengan tangan” sebagai aktivitas fisik langsung berupa kekerasan.

b.  Mendirikan Khilafah dengan bermusyarakah dalam sistem kufur
Metode ini bukan hasil istinbath terhadap nash-nash syara’, landasannya adalah logika semata. Seperti: jika mau merubah sistem harus dengan masuk sistem, alias tidak mungkin merubah sistem dari luar sistem; Memilih yang paling ringan diantara dua keburukan (إرتكاب أهون الشرين) jika meninggalkan musyarakah maka akan dikuasai orang-orang kafir; penerapan Islam secara bertahab; dll.
Adapun dalil yang diada-adakan, misal menjadikan anggapan musyarakah Nabi Yusuf as dalam kerajaan Fir’aun sebagai dalil. Yang demikian itu adalah istidlal yang tidak dibenarkan berdasarkan beberapa hal:

1)  Syari’at nabi-nabi terdahulu tidak berlaku bagi umat nabi Muhammad saw. (شرع من قبلنا ليس شرعا لنا)

2)  Jika pun mengikuti pendapat yang menganggap syari’at nabi-nabi terdahulu juga berlaku bagi umat nabi Muhammad saw, maka dalam perkara ini syari’at nabi Yusuf as. telah di-naskh (dihapus) dengan syari’at nabi Muhammad saw. Karena Nabi Muhammad saw pernah ditawari untuk bermusyarakah, tapi beliau tolak.

فقام إليه عتبة، حتى جلس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال : يابن أخي، إنك منا حيث قد علمت من السِّطَةِ في العشيرة، والمكان في النسب، وإنك قد أتيت قومك بأمر عظيم، فرقت به جماعتهم، وسفهت به أحلامهم، وعبت به آلهتهم ودينهم، وكفرت به من مضى من آبائهم، فاسمع منى أعرض عليك أمورًا تنظر فيها لعلك تقبل منها بعضها . قال : فقال رسول صلى الله عليه وسلم : ( قل يا أبا الوليد أسمع ) قال : يابن أخي، إن كنت إنما تريد بما جئت به من هذا الأمر مالًا جمعنا لك من أموالنا حتى تكون أكثرنا مالًا، وإن كنت تريد به شرفًا سودناك علينا حتى لا نقطع أمرًا دونك ، وإن كنت تريد به ملكًا ملكناك علينا، وإن كان هذا الذي يأتيك رئيًا تراه لا تستطيع رده عن نفسك طلبنا لك الطب، وبذلنا فيه أموالنا حتى نبرئك منه، فإنه ربما غلب التابع على الرجل حتى يداوى منه حتى إذا فرغ عتبة ورسول الله صلى الله عليه وسلم يستمع منه قال : أقد فرغت يا أبا الوليد ؟ قل نعم . أن عتبة استمع حتى إذا بلغ الرسول صلى الله عليه وسلم قوله تعالى : { فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِّثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ } [ فصلت : 13 ] قال : حسبك، حسبك، ووضع يده على فم رسول الله صلى الله عليه وسلم، وناشده بالرحم أن يكف، وذلك مخافة أن يقع النذير، ثم قام إلى القوم فقال ما قال . (الرحيق المختوم - ج 1 / ص 82)

c.  Mendirikan Khilafah dengan memulainya dari pendidikan, perbaikan akhlak, perbaikan ekonomi, memperbanyak amalan-amalan sunnah, dsb.

Metode ini juga bukan hasil istinbath terhadap nash-nash syara’, landasannya adalah logika sebagaimana di atas. Memang semua itu termasuk amal shalih, tapi semua itu bukan metode untuk menegakkan khilafah, selain juga tidak sesuai dengan aktivitas yang dilakukan oleh Rasululah saw selama periode Mekah.

Kewajiban Mendirikan Jama’ah dan Kewajiban Berjama’ah
Mendirikan jama’ah yang aktivitasnya adalah dakwah kepada Islam, amar makruf dan nahi munkar, hukumnya adalah fardhu kifayah, berdasarkan:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [آل عمران: 104]

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 104) 

والمقصود من هذه الآية أن تكون فرْقَة من الأمَّة متصدية لهذا الشأن، وإن كان ذلك واجبا على كل فرد من الأمة بحسبه

“Maksud dari ayat ini, hendaknya ada suatu kelompok dari umat Islam yang konsisten melaksanakan tugas ini (menyeru kepada Islam, memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan mencegah daripada yang munkar), meskipun hal tersebut juga wajib bagi setiap individu muslim.”[5]

Demikian pula bergabung dengan jama’ah dakwah, hukum asalnya fardhu kifayah. Namun tatakala kewajiban menegakkan Khilafah tidak bisa dilakukan secara individu, karena secara faktual sistem pemerintahan tidak bisa dijalankan oleh seorang diri, maka wajib hukumnya memperjuangkannya secara berjama’ah. Dan saat itu bergabung dengan jama’ah dakwah dalam rangka menegakkan Khilafah menjadi wajib atas setiap muslim hingga khilafah benar-benar berdiri, menurut kaidah:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Sesuatu yang kewajiban tidak bisa sempurna tanpanya maka dia hukumnya wajib”

Wallaahu Ta’aalaa A’lam []

________________________

[1] Lihat An-Nabhaani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islaamiyyah, 1/352

[2] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, Zaad Al-Ma’aad, 3/38

[3] Lihat ‘Atha bin Khalil, Taisiir Al-Wushuul ilaa Al-Ushuul, hlm 21

[4] Ibnu Hisyam, As-Siirah An-Nabawiyyah, 1/424-425

[5] Ibnu Katsir, Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Azhiim, 2/91

0 comments:

Posting Komentar