Kewajiban Menerapkan Syari’ah

Sabtu, Juni 27, 2015
0
Keimanan Melahirkan Keterikatan Terhadap Hukum Syara’ 

Keimanan mengharuskan seorang muslim untuk tunduk dan patuh terhadap ketetapan-ketetapan Allah swt dan Rasul-Nya saw. Betapa banyak nash yang menegaskan hal tersebut, diantaranya adalah:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب: 36]

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 36)

عن أبي محمد عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعاً لما جئت به . رواه الحسن بن سفيان

Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa-nafsunya mengikuti apa-apa yang aku bawa.” (HR. Hasan bin Sufyan – Hasan Shahih)[1]

Maksud dari tunduk dan patuh terhadap ketetapan-ketetapan Allah swt dan Rasul-Nya saw adalah terikat dengan hukum-hukum syara’, menyandarkan setiap perbuatan yang bersifat ikhtiyaariy hanya kepada syari’at Islam, yaitu dengan menjadikan hukum-hukum yang lima (wajib, sunnah, haram, karahah, dan ibahah) yang digali dari sumber-sumber hukum syara’ (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas) sebagai miqyaas (ukuran) dalam menimbang setiap gerak-geriknya. Karenanya, setiap muslim wajib mengetahui hukum syara’ untuk setiap perbuatan yang hendak dia lakukan, sebab hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’ (الأصل في الأفعال التقيّد بالحكم الشرعي)[2], di mana kelak dia akan dihisab oleh Allah swt berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya.

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ [الحجر: 92، 93]

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua * tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr [15]: 92-93)

2.  Cakupan Syari’at Islam

Syari’at Islam merupakan syari’at paripurna yang diturunkan melalui perantaraan nabi terakhir Muhammad saw, yang selalu relevan diterapkan kapanpun dan di manapun. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an yang mulia:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ [البقرة: 208]

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir mengatakan:

يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله : أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه ، والعمل بجميع أوامره ، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك .

“Allah swt berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman terhadap-Nya dan yang membenarkan Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh simpul-simpul Islam dan syari’at-syari’atnya, melaksanakan seluruh perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya sebisa mungkin.”[3] 

Jadi wajib bagi setiap muslim untuk menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh. Meliputi syari’at yang mengatur hubungannya dengan Rabbnya seperti ibadah-ibadah mahdhah, syari’at yang mengatur hubungannya dengan sesamanya seperti mu’aamalah dan ‘uquubat, juga syari’at yang mengatur hubungannya dengan dirinya sendiri seperti pakaian, makanan-minuman dan akhlak. Tanpa boleh memperturutkan hawa nafsu dengan mengambil sebagian dan menelantarkan sebagian yang lain.

Di antara syari’at-syari’at Islam ada yang tidak bisa dilakukan secara parsial oleh individu, melainkan perlu adanya seorang Khalifah atau institusi Negara Khilafah untuk melaksanakannya, misalnya syari’at hudud dan jinayat. Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) menyatakan:

وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام وما لا يتأتى الواجب إلا به وكان مقدوراً للمكلف فهو واجب فلزم القطع بوجوب نصب الإمام .

“Umat Islam telah bersepakat bahwa seorang rakyat tidak memiliki wewenang menerapkan hudud atas para penjahat, bahkan mereka bersepakat bahwa menerapkan hudud atas para penjahat merdeka tidak boleh kecuali hanya oleh seorang Imam (khalifah). Maka tatkala taklif (kewajiban menerapkan hudud) ini adalah bersifat pasti/harus, dan tidak ada jalan keluar dari taklif ini kecuali dengan keberadaan seorang Imam, dan apa-apa yang kewajiban tidak bisa dilaksanakan tanpanya, sedangkan ia dimampui oleh seorang mukallaf maka dia hukumnya wajib. Maka secara pasti, hal tersebut meniscayakan wajibnya mengangkat seorang Imam.”[4]

Hal serupa juga diungkapkan oleh Abu Al-Qasim An-Naisâbûrî (w. 406 H) dalam kitab tafsirnya: 

أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله ﴿ فاجلدوا ﴾ هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .

“Umat telah bersepakat bahwa pihak yang diseru dalam firman Allah swt (maka cambuklah oleh kalian) adalah seorang Imam (khalifah), hingga dengannya mereka beralasan atas wajibnya mengangkat seorang Imam. Sesungguhnya sesuatu perkara yang mana suatu kewajiban tidak sempurna tanpanya maka perkara tersebut hukumnya wajib.”[5]

      Sampai di sini diketahui secara gamblang, bahwa penerapan syari’at secara menyeluruh tidak bisa direalisasikan tanpa adanya institusi Khilafah. Maka secara pasti, mewajibkan kaum muslim untuk mewujudkan institusi yang dimaksud demi terlaksananya seluruh kewajiban yang dibebankan di atas pundak mereka.

3.  Ketaatan Para Sahabat Terhadap Syari’at
Para sahabat radhiyallaahu ‘anhum adalah golongan manusia utama yang Allah swt puji di dalam Al-Qur’an:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [التوبة: 100]

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 100) 

Kemuliaan mereka tidak lain dikarenakan keimanan kepada Allah swt dan Rasul-Nya, dan ketaatan mereka terhadap syari’at. Hal itu tergambar dalam riwayat-riwayat berikut ini.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال كنت أسقي أبا طلحة الأنصاري وأبا عبيدة بن الجراح وأبي بن كعب شرابا من فضيخ وهو تمر فجاءهم آت فقال إن الخمر قد حرمت فقال أبو طلحة يا أنس قم إلى هذه الجرار فاكسرها قال أنس فقمت إلى مهراس لنا فضربتها بأسفله حتى انكسرت .

Dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Suatu ketika aku menjamu Abu Thalhah Al-Anshari, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Ubay bin Ka’ab minuman dari Fadhikh, yaitu perasan kurma. Kemudian ada seseorang datang kepada mereka lalu berkata: Sesungguhnya khamr telah diharamkan. Maka berkata Abu Thalhah: wahai Anas, berdiri dan pecahkanlah kendi-kendi ini!, Anas berkata: maka aku berdiri mengambil tempat penumbuk biji-bijian milik kami, lalu memukul kendi itu pada bagian bawahnya hingga kendi tersebut pecah.” (HR. Al-Bukhari)

عن عائشة رضي الله عنها قالت يرحم الله نساء المهاجرات الأول لما أنزل الله ﴿ وليضربن بخمرهن على جيوبهن ﴾ شققن مروطهن فاختمرن بها

Dari ‘Aisyah ra, beliau berkata: “Rahmat Allah swt atas wanita-wanita kaum muhajirin awal, tatkala Allah swt menurunkan ayat (yang artinya): “Hendaklah mereka mengulurkan kerudung-kerudung mereka ke atas dada-dada mereka”[6], mereka merobek kain sarung yang mereka miliki kemudian mereka berkerudung dengannya.” (HR. Al-Bukhari) 

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال عمر : لقد خشيت أن يطول بالناس زمان حتى يقول قائل لا نجد الرجم في كتاب الله فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله ألا وإن الرجم حق على من زنى وقد أحصن إذا قامت البينة أو كان الحبل أو الاعتراف . قال سفيان كذا حفظت : ألا وقد رجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا بعده .

Dari Ibnu Abbas ra berkata, Umar bin Khaththab ra pernah berkata: "Sungguh aku sangat khawatir akan berlangsung masa yang begitu lama di tengah-tengah umat Islam, hingga (suatu saat nanti) akan ada yang berkata: "Kami tidak menemukan hukum rajam di kitab Allah (Al-Qur'an)". Maka (dengan demikian) mereka menjadi sesat karena telah meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkan. Ketahuilah bahwa hukum rajam itu adalah benar adanya bagi siapa-siapa yang berzina sedang ia telah muhshan (telah menikah dan telah menggauli pasangannya), jika telah ada bayyinah (alat bukti berupa 4 orang saksi laki-laki atau yang setara dengannya), atau kehamilan (dipihak wanita), atau pengakuan (si pelaku). "Berkata Sufyan (perowi): begini yang aku hafal (dari perkataan Umar bin Khaththab): "Ketahuilah bahwa Rasulullah saw benar-benar menerapkan hukum rajam, dan kami juga menerapkannya sepeninggal Beliau." (HR. Al-Bukhari)

Demikian sebagian dari contoh ketaatan kaum muslim generasi awal terhadap Syari’at Islam. Mereka menerapkan hukum-hukum Allah swt secara menyeluruh baik dalam ruang lingkup individu, maupun dalam bermasyarakat dan bernegara, baik di bawah kepemimpinan Rasulullah saw langsung maupun para Khalifah setelah Beliau. Namun disayangkan, pasca runtuhnya Khilafah Islamiyyah di Turki pada tanggal 28 Rajab 1342 H atau bertepatan dengan 03 Maret 1924 M, penerapan syari’at dalam bentuk seutuhnya tidak lagi tampak dan tidak lagi bisa dilakukan, Islam hanya sebatas perkara-perkara yang bersifat ritual dan individu saja. Kondisi secamam ini menuntut kaum muslim untuk bangkit memperjuangkan kembalinya kehidupan islami, menerapkan syari’at secara menyeluruh di bawah naungan Negara Khilafah Islamiyyah. Hal ini tidak lain karena dorongan keimanan terhadap Allah swt, dan kewajiban menerapkan syari’at-syari’at-Nya.
Rasulullah saw melalui lisan sucinya memberitakan akan adanya suatu kaum yang lebih utama dari para sahabat di atas, yakni mereka-mereka yang keimanannya, ketaatannya, dan perjuangannya untuk islam sebagaimana para sahabat radhiyallaahu ‘anhum.

عن أبي جمعة قال : تغدينا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح قال فقال يا رسول الله هل أحد خير منا اسلمنا معك وجاهدنا معك قال نعم قوم يكونون من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني

Dari Abu Jam’ah ra beliau berkata: suatu ketika kami makan bersama dengan Rasulullah saw dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bersama kami, Abu Jam’ah berkata: kemudian Abu ‘Ubaidah berkata: Wahai Rasulullah saw, apakah ada orang yang lebih baik dari kami sementara kami berislam bersamamu dan berjihad bersamamu?, bersabda Nabi saw: “Ya, yaitu kaum yang datang setelah kalian, mereka mengimaniku sedangkan mereka belum pernah melihatku.” (HR. Ahmad – Shahih)
Kelebihan mereka, mereka bariman terhadap Rasulullah saw dan apa yang beliau bawa meskipun tidak pernah berjumpa dengan beliau.

Wallaahu Ta’aalaa A’lam []

----------------------------------------------------

[1] An-Nawawi, Al-Arba’iin An-Nawawiyyah, hadits ke-41

[2] Lihat An-Nabhaani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islaamiyyah, 3/20 

[3] Ibnu Katsir, Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Azhiim, 1/565

[4] Fakhruddin Ar-Razi, Mafâtîh Al-Ghayb fî At-Tafsîr, 11/181

[5] Al-Hasan bin Muhammad An-Naisâbûrî, Tafsîr An-Naisâbûrî, 5/465

[6] Surat An-Nuur [24]: 31

0 comments:

Posting Komentar