Tanggapan atas Tulisan KH. M. Najih Maimoen: Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. Sub Bab: Konsep Mengingkari Qodlo’-Qodar
Azizi Fathoni K.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لله وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ الله وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه . وَبَعْد
Sambil memohon ma’ûnah Allah 'azza wa jalla, al-faqir katakan:
Terkait Hizbut Tahrir, Kyai Muhammad Najih Maimoen di antaranya menuliskan pembahasan yang berjudul: Konsep Mengingkari Qodlo’-Qodar (Taqdir Allah pada Perbuatan Ikhtiyari Manusia)[i]
Sebagai “bukti” atas tuduhan tersebut beliau mengutip dua ‘ibarat yang terdapat dalam kitab yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, yaitu; Pertama:
وَهذِهِ الْأَفْعَالُ لَا دَخْلَ لَهَا بِالْقَضَاءِ وَلَا دَخْلَ لِلْقَضَاءِ بِهَا ، لِأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِيْ قَامَ بِهَا بِإِرَادَتِهِ وَاخْتِيَارِهِ ، وَعَلَى ذلِكَ فَإِنَّ الْأَفْعَالَ الْاِخْتِيَارِيَّةَ لَا تَدْخُلُ تَحْتَ الْقَضَاءِ
"Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah SWT, karena perbuatan tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam ruang lingkup qadla’." (asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol I hal 94-95)
dan ke-Dua:
فَتَعْلِيْقُ الْمَثُوْبَةِ أَوِ الْعُقُوْبَةِ بِالْهُدَى وَالضَّلَالِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْهِدَايَةَ وَالضَّلَالَ هُمَا مِنْ فِعْلِ الْإِنْسَانِ وَلَيْسَا مِنَ اللهِ
"Jadi menggantungkan adanya pahala sebagai balasan terhadap kebaikan dan siksaan sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa kebenaran dan kesesatan adalah perbuatan murni manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah." (Nidhâm al-Islâm, hal 22)
Dua ‘ibarat tersebut beliau pahami telah bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur`an, hadits Nabi SAW, ketetapan ulama, dan logika normal. Seraya berkesimpulan bahwa Hizbut Tahrir berpaham Muktazilah. Mengingkari Qadha’-Qadar, menganggap perbuatan ikhtiyari manusia sebagai hasil ciptaan manusia sendiri di luar kuasa dan kehendak Allah SWT, yang itu artinya –masih menurut beliau– Hizbut Tahrir menganggap Allah tunduk, lemah dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di luar kehendak-Nya[ii].
Selain itu, Kyai Najih juga menuduh Hizbut Tahrir menganggap ilmu Allah SWT ada yang baik dan ada yang buruk (menyematkan sifat buruk kepada Allah SWT), lantaran Hizbut Tahrir telah mengartikan Qadar Allah SWT dengan ilmu Allah SWT.[iii]
Al-faqir katakan: Tuduhan Kyai M. Najih Maimoen bahwa Hizbut Tahrir berpaham Muktazilah dalam masalah Qadha’-Qadar, adalah tidak benar. Terlebih menganggap Allah SWT tunduk, lemah, dan terkalahkan, dengan terjadinya sesuatu (dalam hal ini perbuatan ikhtiyari manusia) di luar kehendak-Nya, ta’âla-Llâhu ‘uluwwan kabîran. Tidak benar sama sekali. Yang ada justru Hizbut Tahrir –menurut penilaian al-faqir– telah berhasil membahas permasalahan Qadha`-Qadar secara proporsional. Tanpa terjebak pada paham Qadariyah dan Jabariyyah (baik yang ekstrim maupun yang moderat), dengan tidak sedikitpun mengingkari bahwa manusia beserta perbuatannya berada dalam kuasa dan ciptaan Allah SWT. Sebagaimana yang akan al-faqir kemukakan setelah ini menurut apa yang dikatakan oleh Hizbut Tahrir sendiri di dalam kitab yang diadopsinya.
Karena ini bukan topik pembahasan yang sederhana, maka supaya jelas berikut al-faqir tunjukkan bagaimana konsep Hizbut Tahrir mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan al-Qadha` dan al-Qadar. Namun sebelum itu, sebaiknya memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan Hizbut Tahrir mengenai pengertian Qadha`-Qadar dan apa yang menjadi dasar pembahasannya.
Dalam pandangan Hizbut Tahrir, lafazh al-Qadha` dan al-Qadar masing-masing digunakan oleh syara’ dalam banyak arti[iv]. Namun, khusus terkait pengertian Qadha`-Qadar sebagai dua kata yang selalu bersandingan dengan pengertian yang saling terkait satu sama lain dengan objek pembahasan perbuatan manusia dan khâshiyyât (karakter khusus) benda dari tinjauan apakah ciptaan Allah SWT ataukah ciptaan manusia, menurut Hizbut Tahrir terdapat sejumlah pengertian oleh Ahli Kalam yang berbeda-beda. Di mana pengertian-pengertian tersebut tidak ada yang sesuai dengan makna bahasa dan tidak pula makna syar’i yang dijumpai dalam nash[v]. Sejauh ini –masih menurut Hizbut Tahrir– pengertian-pengertian itu muncul akibat adanya persinggungan pemikiran antara kaum muslim dengan kaum kafir yang bersenjatakan Filsafat Yunani, sehingga masing-masing kelompok berusaha memberikan pendapatnya menurut sudut pandang Islam. Nah, khusus dalam masalah Qadha`-Qadar ini Hizbut Tahrir menetapkan makna masing-masing dari al-Qadha` dan al-Qadar secara khusus berkaitan dengan objek pembahasan perbuatan manusia dan khâshiyyât benda. Terlepas bahwa di luar konteks ini, masing-masing dari keduanya memiliki banyak arti sebagaimana telah disinggung tadi.
Khusus dalam konteks pembahasan Qadha`-Qadar ini, Hizbut Tahrir mengartikan al-Qadha` sebagai: segala perbuatan manusia yang terjadi di luar kehendak manusia. Bahwa itu adalah Qadha` dari Allah SWT.
فَهذِهِ الْأَفْعَالُ كُلُّهَا الَّتِي حَصَلَتْ فِي الدَّائِرَةِ الَّتِي تُسَيْطِرُ عَلَى الْإِنْسَانِ هِيَ الَّتِي تُسَمَّى قَضَاءً ، لِأَنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي قَضَى الْفِعْلَ ، وَلِأَنَّهُ لَا تُوْجَدُ حُرِّيَّةُ إِرَادَةٍ لِلْعَبْدِ فِي الْفِعْلِ ، وَلَيْسَ لَهُ أَيُّ اخْتِيَارٍ
"Segala perbuatan yang terjadi di wilayah yang menguasai manusia inilah yang dinamankan dengan Qadha`. Sebab Allah lah yang telah menetapkan perbuatan. Karena tidak adanya kebebasan berkehendak bagi seorang hamba dalam berbuat, dan ia tidak punya kuasa untuk memilih."[vi]
dan mengartikan kata al-Qadar sebagai: khâshiyyât (karakter khusus) yang ada pada setiap benda. Bahwa semua itu adalah Qadar dari Allah SWT.
الْقَدَر فِي بَحْثِ (الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ) هُوَ خَوَاصُّ الْأَشْيَاءِ الَّتِي يُحْدِثُهَا الْإِنْسَانُ فِيْهَا
"Kata al-Qadar dalam konteks pembahasan "Qadha`-Qadar" adalah karakter-karakter khusus setiap benda yang manusia munculkan padanya (saat melakukan perbuatan –penj.)."[vii]
Dua pengertian inilah yang selalu dijadikan acuan oleh Hizbut Tahrir dalam membahas permasalahan Qadha`-Qadar.
Adapun hal yang menjadi dasar pembahasan Qadha`-Qadar, menurut Hizbut Tahrir adalah tinjauan terhadap perbuatan manusia dari aspek pahala dan dosa. Bukan dari segi siapa yang menciptakan perbuatan, kehendak Allah atau manusia, ilmu Allah memaksa atau tidak, atau apa yang tertulis di Lauhulmahfûzh[viii]. Semua itu terkait sifat Allah dan –in syâ`Allâh– akan terjawab setelah tahu bagaimana hakikat perbuatan manusia sebenarnya.
Fakta Perbuatan Manusia
Hizbut Tahrir memandang bahwa secara faktual manusia itu terkait perbuatannya berada di antara dua wilayah: wilayah yang dikuasai manusia, dan wilayah yang menguasai manusia.
وَالْمُدَقِّقْ فِي أَفْعَالِ الْعِبَادِ يَرَى أَنَّ الْإِنْسَانَ يَعِيْشُ فِي دَائِرَتَيْنِ : إِحْدَاهُمَا يُسَيْطِرُ عَلَيْهَا ، وَهِيَ الدَّائِرَةُ الَّتِي تَقَعُ فِي نِطَاقِ تَصَرُّفَاتِهِ ، وَضِمْنَ نِطَاقِهَا تَحْصُلُ أَفْعَالُهُ الَّتِي يَقُوْمُ بِهَا بِمَحْضِ اخْتِيَارِهِ . وَالْأُخْرَى تُسَيْطِرُ عَلَيْهِ وَهِيَ الدَّائِرَةُ الَّتِي يَقَعُ هَوُ فِي نِطَاقِهَا ، وَتَقَعُ ضِمْنَ هَذِهِ الدَّائِرَةِ الْأَفْعَالُ الَّتِي لَا دَخْلَ لَهُ بِهَا ، سَوَاءٌ أَوَقَعَتْ مِنْهُ أَوْ عَلَيْهِ
"Siapa yang mencermati perbuatan manusia akan menjumpai bahwa manusia itu hidup dalam dua wilayah: pertama, wilayah yang dikuasainya. Yaitu wilayah yang meliputi tindakan-tindakan yang diperbuat manusia. Pada ranah tersebut segala perbuatan yang dilakukan manusia terjadi semata-mata berdasarkan pilihannya; dan ke-Dua, wilayah yang menguasai dirinya. Yaitu wilayah yang meliputi diri manusia. Pada ranah ini segala perbuatan yang manusia tidak turut campur di dalamnya itu terjadi. Baik terjadi melalui dirinya, maupun terjadi atas dirinya."[ix]
Kemudian dua wilayah tersebut diperrinci satu-persatu dalam paragraf-paragraf berikutnya. Terkait wilayah yang pertama dijelaskan:
فَالْأَفْعَالُ الَّتِي تَقَعُ فِي الدَّائِرَةِ الَّتِي تُسَيْطِرُ عَلَيْهِ لَا دَخْلَ لَهُ بِهَا وَلَا شَأْنَ لَهُ بِوُجُوْدِهَا ، وَهِيَ قِسْمَانِ : قِسْمٌ يَقْتَضِيْهِ نِظَامُ الْوُجُوْدِ مُبَاشَرَةً ، وَقِسْمٌ لَا يَقْتَضِيْهِ نِظَامُ الْوُجُوْدِ مُبَاشَرَةً ، وَإِنْ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ لَا يَخْرُجُ عَنْ نِظَامِ الْوُجُوْدِ
"Perbuatan-perbuatan yang terjadi pada wilayah yang menguasai manusia tersebut tidak ada kaitannya dengan manusia, dan tidak pula ada peran manusia dalam mewujudkannya. Perbuatan yang demikian ini ada dua macam: pertama yang dipengaruhi secara langsung oleh hukum alam (nizhâm al-wujûd); dan ke-dua yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh hukum alam. Meskipun sebenarnya segala sesuatu itu tidak ada yang lepas dari hukum alam."[x]
Lalu disebutkan sejumlah contoh, di antaranya: manusia tidak mampu menentukan warna mata dan bentuk kepalanya sendiri (untuk yang dipengaruhi hukum alam langsung); dan seseorang yang menembak burung tapi mengenai manusia lalu mati (untuk yang tidak dipengaruhi hukum alam langsung). Perbuatan manusia di wilayah ini tidak berpengaruh terhadap pahala dan dosa atau tidak akan dihisab, karena terjadi bukan atas inisiatif manusia sendiri. Kewajiban manusia adalah mengimani bahwa segala apa yang terjadi dalam wilayah ini adalah Qadha` dari Allah SWT[xi]. Inilah yang disebut sebagai Qadha` oleh Hizbut Tahrir dalam pembahasan Qadha`-Qadar seperti yang disebutkan di atas.
Dan terkait wilayah yang kedua, dijelaskan:
أَمَّا الْأَفْعَالُ الَّتِي تَقَعُ فِي الدَّائِرَةِ الَّتِي يُسَيْطِرُ عَلَيْهَا الْإِنْسَانُ فَهِيَ الدَّائِرَةُ الَّتِي يَسِيْرُ فِيْهَا مُخْتَاراً ضِمْنَ النِّظَامِ الَّذِي يَخْتَارُهُ ، سَوَاءٌ شَرِيْعَةُ اللهِ أَوْ غَيْرُهَا
"Adapun perbuatan yang terjadi di wilayah yang dikuasai oleh manusia, maka itulah wilayah di mana manusia berbuat berdasarkan pilihannya menurut aturan yang ia pilih, baik itu syari’at Allah atau bukan."[xii]
Lalu –masih di paragraf yang sama– disebutkan sejumlah contoh perbuatan di wilayah ini, di antaranya: manusia membakar dengan api dan memotong dengan pisau menurut kehendaknya. Perbuatan manusia di wilayah ini berpengaruh terhadap pahala dan dosa atau akan dihisab, karena terjadi atas inisiatif manusia sendiri. Sampai kemudian di akhir paragraf disebutkan bagian yang dikutip oleh Kyai Najih di atas. Yaitu yang berbunyi:
... وَهذِهِ الْأَفْعَالُ لَا دَخْلَ لَهَا بِالْقَضَاءِ وَلَا دَخْلَ لِلْقَضَاءِ بِهَا ، لِأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِيْ قَامَ بِهَا بِإِرَادَتِهِ وَاخْتِيَارِهِ ، وَعَلَى ذلِكَ فَإِنَّ الْأَفْعَالَ الْاِخْتِيَارِيَّةَ لَا تَدْخُلُ تَحْتَ الْقَضَاءِ
"... Perbuatan-perbuatan (yang bersifat pilihan –penj.) ini tidak terkait dengan Qadha`, tidak pula Qadha` terkait dengannya. Karena manusialah yang melakukan itu semua atas inisiatif dan ikhtiyarnya sendiri. Maka dari itu, segala perbuatan yang bersifat pilihan (af’al ikhtiyariyyah) tidak termasuk dalam ruang lingkup Qadha`."
Nah, Qadha` yang dimaksud di sini tentu adalah Qadha` dalam pengertian khususnya yang telah disebutkan di atas. Bukan Qadha` dalam arti ketentuan Allah SWT secara mutlak sebagaimana yang diasumsikan oleh Kyai Najih. Sehingga ungkapan Hizbut Tahrir tersebut tidak salah. Bahwa perbuatan ikhtiyariyyah tidak termasuk Qadha`, itu artinya perbuatan ikhtiyariyyah tidak termasuk perbuatan yang terjadi di luar kehendak manusia.
Sampai sini jelas, bahwa tuduhan Kyai Najih Maimoen dalam bukunya tersebut meleset. Dan disayangkan juga bahwa kalimat pertama pada bagian yang beliau kutip tersebut beliau terjemahkan dengan:
"Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah SWT."
Ini jelas tidak benar, sebab konteks yang sedang dibahas di situ adalah “perbuatan ikhtiyariyyah”, bukan “segala perbuatan”. Tentu terjemahan tersebut berpotensi menimbulkan kesalahan persepsi bagi para pembaca. Khusunya yang tidak mengerti bahasa Arab atau tidak mengerti konteksnya.
Pendapat Hizbut Tahrir Sejalan dengan Paham Muktazilah?
Dengan berpendapat bahwa perbuatan ikhtiyariyyah manusia tidak termasuk Qadha` dalam arti khususnya, dan juga bukan Qadar dalam arti khususnya, apakah berarti Hizbut Tahrir berpaham Muktazilah. Yaitu menganggap perbuatan ikhtiyariyyah sebagai ciptaan manusia sendiri (?). Jawabannya adalah: Tidak. Hizbut Tahrir meyakini bahwa segala benda yang ada beserta khashiyyatnya masing-masing, termasuk diri manusia sendiri beserta berbagai kebutuhan jasmani dan naluriah nya, juga hukum alam yang meliputi semuanya, seluruhnya adalah ciptaan Allah SWT. Itu artinya, menurut Hizbut Tahrir perbuatan manusia itu pada hakikatnya ialah ciptaan Allah SWT.
فَهذِهِ الْخَاصِّيَّاتُ الْمُعَيَّنَةُ الَّتِي أَوْجَدَهَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي الْأَشْيَاءِ وَفِي الْغَرَائِزِ وَفِي الْحَاجَاتِ الْعُضْوِيَّةِ الَّتِي فِي الْإِنْسَانِ هِيَ الَّتِي تُسَمَّى الْقَدَرَ ، لِأَنَّ اللهَ وَحْدَهُ هُوَ الَّذِي خَلَقَ الْأَشْيَاءَ وَالْغَرَائِزَ وَالْحَاجَاتِ الْعُضْوِيَّةَ وَقَدَّرَ فِيْهَا خَوَاصَّهَا ، فَحِيْنَ تَحْدُثُ الشَّهْوَةُ عِنْدَ الْإِنْسَانِ ، وَحِيْنَ يُبْصِرُ عِنْدَ فَتْحِ عَيْنَيْهِ ، وَحِيْنَ يَذْهَبُ الْحَجَرُ إِلَى أَعْلَى عِنْدَ دَفْعِهِ لِفَوْقٍ ، وَإِلَى أَسْفَلَ عِنْدَ دَفْعِهِ لِتَحْتٍ ، فَإِنَّ ذلِكَ كُلَّهُ لَيْسَ مِنْ فِعْلِ الْإِنْسَانِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ فِعْلِ اللهِ بِمَعْنَى أَنَّهُ طَبْعُ الْأَشْيَاءِ أَنْ تَكُوْنَ هكَذَا ، أَيْ خَلَقَهَا وَخَلَقَ فِيْهَا خَوَاصّ مُعَيَّنَةً . فَهِيَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ، وَهِيَ لَيْسَتْ مِنَ الْعَبْدِ وَلَا شَأْنَ لَهُ فِيْهَا وَلَا أَثَرَ لَهُ مُطْلَقاً
"Berbagai khashiyyat tertentu yang telah Allah ciptakan pada benda-benda, bermacam naluri dan kebutuhan jasmani pada diri manusia, inilah yang disebut dengan al-Qadar. Karena Allah satu-satunya yang telah menciptkan benda, naluri, dan kebutuhan jasmani tersebut, serta menetapkan berbagai khashiyyat padanya. Ketika timbul syahwat pada diri manusia, ketika ia dapat melihat saat membuka matanya, ketika lemparan batu ke arah atas saat dilemparkan ke atas dan ke bawah saat dilemparkan ke bawah, sesungguhnya itu semua bukan perbuatan manusia. Melainkan adalah perbuatan Allah dalam arti: bahwasannya sudah menjadi karakter benda berlaku demikian. Artinya, Dia yang telah menciptakannya, menciptakan padanya khashiyyat-khashiyyat tertentu. Maka itu semua adalah dari Allah SWT, dan bukan dari diri hamba. Tidak ada peran serta dia di dalamnya, dan tidak pula ada pengaruhnya sama sekali."[xiii]
Contoh lain, tidaklah manusia itu memegang suatu benda kecuali karena Allah SWT menciptakan dorongan dalam dirinya untuk memegang benda tersebut (baik dorongan naluriah maupun kebutuhan jasmani); menciptakan dalam dirinya kuasa untuk memilih antara merealisasikannya atau tidak; menciptakan tangannya beserta berbagai khashiyyat padanya hingga benar-benar mampu memegang. Dan tidaklah air dapat tetap berada di dalam cangkir yang dipegangnya kecuali Allah yang menciptakan khashiyyat air memiliki masa dan bentuk sesuai wadahnya; menciptkan khashiyat bumi memiliki gaya gravitasi serta khashiyat cangkir yang menahannya tidak berhamburan, begitu seterusnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa perbuatan manusia itu hakikatnya adalah ciptaan Allah SWT, bukan ciptaan manusia. Manusia sebatas berkehendak dan memanfaatkan benda berdasarkan khashiyyat yang dibutuhkannya dalam merealisasikan kehendaknya itu.
Sampai di sini jelas bahwa tuduhan Hizbut Tahrir berpaham Muktazilah adalah tidak benar. Sebab kelompok Muktazilah menyakini bahwa perbuatan manusia itu ciptaan manusia sendiri, dan di kalangan mereka sendiri berbeda pendapat terkait khashiyyat benda, apakah ciptaan Allah atau manusia[xiv]. Terlebih lagi Hizbut Tahrir dengan jelas mengkritik paham Qadariyah sebagai paham yang menyelisihi nash al-Qur`an yang sharih:
وَهُمُ الَّذِيْنَ يُنْكِرُوْنَ الْقَدَرَ وَيَقُوْلُوْنَ بِأَنَّ اللهَ خَلَقَ أُصُوْلَ الْأَشْيَاءِ ثُمَّ تَرَكَهَا فَلَا يَعْلَمُ جُزْئِيَّاتِهَا ، وَهذَا خِلَافاً لِمَا وَرَدَ بِنَصِّ الْقُرْآنِ الصَّرِيْحِ مِنْ أَنَّ اللهَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ صَغِيْراً كَانَ أَوْ كَبِيْراً أَصْلاً كَانَ أَوْ فَرْعاً ، وَأَنَّهُ تَعَالَى قَدَّرَ كُلَّ شَيْءٍ قَبْلَ وُجُوْدِهِ أَيْ كَتَبَهُ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ أَيْ عَلِمَهُ قَبْلَ أَنْ يُوْجَدَ
"Merekalah (kelompok Qadariyah) orang-orang yang mengingkari al-Qadar dan berpendapat bahwa sesungguhnya Allah menciptakan pokok segala sesuatu lalu membiarkannya, tanpa mengetahui apa yang menjadi bagian-bagian nya. Ini menyelisihi ayat al-Qur`an yang jelas (sharîh) bahwasannya Allah adalah pencipta segala sesuatu, baik kecil maupun besar, baik pokok maupun cabang. Dan bahwasannya Dia telah menetapkan ketentuan setiap sesuatu sebelum keberadaannya, artinya Dia telah menuliskannya dalam al-Lauh al-Mahfuzh atau mengetahuinya sebelum kemudian menjadi ada."[xv]
Titik Temu dan Titik Beda
Jika tidak sepaham dengan Muktazilah, lantas bagaimana kedudukan pendapat Hizbut Tahrir ini di hadapan kelompok Jahmiyyah dan Ahlussunnah (Asy’ariyyah)? Maka al-faqir katakan: Hizbut Tahrir memiliki kesamaan dengan Jahmiyyah dan Asy’ariyyah dari segi bahwasannya perbuatan manusia dan khashiyat benda adalah ciptaan Allah SWT. Perbedaan baru tampak saat membahas ada-tidaknya kuasa dan kehendak manusia dalam berbuat.
Terkait ada-tidaknya kuasa dan kehendak manusia dalam melakukan perbuatan, Hizbut Tahrir dan Asy’ariyyah satu suara mengatakan ada. Sedangkan menurut Jahmiyyah, manusia itu dipaksa secara mutlak (musayyar mutlaqan), tanpa memiliki kuasa dan kehendak sama sekali.
Sampai sini terlihat jelas bahwa Hizbut Tahrir sejalan dengan Asy’ariyyah, yaitu:
1. Menganggap perbuatan manusia dan khashiyyat benda sebagai ciptaan Allah, sehingga dengan begitu berbeda dengan Muktazilah; dan
2. Menganggap manusia memiliki kuasa serta kehendak dalam berbuat di wilayah yang dikuasainya, sehingga dengan begitu berbeda dengan Jahmiyyah.
Perbedaan antara Hizbut Tahrir dan Asy’ariyyah baru muncul dalam perkara yang lebih cabang lagi, yaitu mengenai bagaimana mekanisme penciptaan Allah SWT atas perbuatan ikhtiyariyyah manusia.
Menurut Asy’ariyyah, perbuatan manusia hanya terjadi oleh kuasa dan kehendak Allah SWT saja. Meskipun di waktu yang sama manusia juga memiliki kuasa dan kehendak sendiri. Di mana kemudian perbuatan ikhtiyariyyah itu dipahami terjadi saat kuasa dan kehendak manusia (kasb-ikhtiyar) "kebetulan" sejalan dengan kuasa dan kehendak Allah SWT. Di sini manusia seolah-olah memiliki kuasa dan kehendak yang mempengaruhi perbuatan sadarnya. Namun pada hakikatnya --masih menurut mereka-- perbuatan yang terjadi itu hanya dipengaruhi oleh kuasa dan kehendak Allah SWT saja (mukhayyar zhâhiran musayyar bâthinan). Hal ini karena dalam pandangan mereka, al-mu`atstsir (yang memberi pengaruh) atas terealisasinya perbuatan manusia itu adalah kuasa dan kehendak Allah SWT saja. Bukan kuasa dan kehendak manusia; dan bukan pula kuasa dan kehendak keduanya (Allah SWT dan manusia) sekaligus, di mana masing-masing saling tergantung satu sama lain. Karena mustahil bagi Allah SWT bergantung kepada makhluk dalam berkuasa dan berkehendak. Berdasarkan inilah al-Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menganggap Asy’ariyyah memiliki kemiripan dengan Jabariyyah[xvi]. Karena seperti apapun kuasa dan kehendak manusia –sekalipun diakui keberadaannya–, yang terjadi tetaplah murni menurut kuasa dan kehendak Allah SWT saja, tanpa dipengaruhi oleh kuasa dan kehendak manusia sama sekali.
Sedangkan menurut Hizbut Tahrir, perbuatan ikhtiyariyyah manusia itu melibatkan: manusia sendiri dengan segenap potensinya (akal, kebutuhan jasmani, dan naluri-naluri), benda-benda beserta khashiyyat-nya, dan hukum alam (nizhâm al-wujûd), yang kesemuanya merupakan ciptaan dan ketentuan dari Allah SWT. Sehingga perbuatan ikhtiyariyyah apapun yang dilakukan manusia, itu terjadi berkat kuasa dan kehendak-Nya[xvii]. Atau dengan ungkapan lain, perbuatan ikhtiyariyyah itu terjadi tidak lepas dari Taqdir Allah SWT, sementara perbuatan yang terjadi di luar itu merupakan Qadha` dari Allah SWT. Yaitu Allah yang menakdirkan manusia bisa memilih dan mengusahakan; Allah yang menakdirkan terbentangnya pilihan-pilihan di hadapannya; Allah yang menakdirkan baginya keleluasaan memilih atas pilihan-pilihan yang tersedia di hadapannya itu; dan Allah yang menaqdirkan mana di antara pilihan tersebut yang dipilih dan diusahakan maka akan terjadi sesuai dengan hukum ciptaanNya (khashiyyat benda, hukum alam, hukum kausalitas) yang berlaku. Adapun perbuatan yang terjadi di luar kuasa manusia, seperti karena ketidak-sengajaan, kegagalan dalam upaya merealisasikan pilihan, menyelisihi hukum alam seperti terlahirnya manusia tanpa bapak, maka itu semua termasuk Qadha' dari Nya yang juga tidak lepas dari Taqdir Nya. Seperti nabi Isa yang meski dilahirkan tanpa bapak, namun masih melalui proses kelahiran layaknya manusia lainnya.
Jadi Hizbut Tahrir berbeda secara ekstrim dengan kelompok Muktazilah berkenaan dengan perbuatan manusia ciptaan Allah atau manusia. Demikian pula berbeda secara ekstrim pula dengan kelompok Jahmiyyah terkait apakah manusia memiliki kuasa dan kehendak dalam melakukan perbuatan. Sedangkan dengan kelompok Asy’ariyyah, Hizbut Tahrir berbeda dalam ranah cabang-nya cabang, yaitu terkait bagaimana mekanisme penciptaan Allah SWT atas perbuatan ikhtiyariyyah manusia.
Tuduhan Menganggap Allah Tunduk, Lemah dan Terkalahkan
Dengan mencermati uraian di atas, tuduhan bahwa Hizbut Tahrir menganggap Allah tunduk, lemah dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di luar kehendak-Nya, juga terbukti keliru. Karena, keleluasaan hamba dalam berbuat di wilayah yang dikuasainya adalah termasuk di antara yang dikehendaki oleh Allah SWT sendiri, di mana manusia akan dihisab menurut pilihan-pilihan di dalamnya dan mereka kelak akan menyesali atas pilihan buruknya.
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ .
"Dan jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya. (mereka berkata): Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia kami akan beramal saleh. Sungguh kami adalah orang-orang yang yakin."[xviii]
Dan dalam berbuat justru manusia lah yang tunduk, lemah, terkalahkan oleh ketentuan-ketentuan Allah SWT. Manusia tidak akan bisa berbicara menggunakan telinga, memadamkan api dengan bahan bakar minyak, memotong besi menggunakan kertas, berjalan di atas air, kembali ke masa lalu, dan sebagainya.
Tuduhan Menyematkan Sifat Buruk Kepada Allah SWT
Terkait tuduhan Kyai Najih bahwa dengan mengartikan Qadar Allah SWT dengan ilmu Allah SWT, berarti Hizbut Tahrir telah menganggap ilmu Allah SWT ada yang baik dan yang buruk. Itu berarti menyematkan sifat buruk kepada Allah SWT. al-faqir katakan: pertama, perlu diperjelas bahwa pemaknaan Qadar di sini di luar bahasan Qadha`-Qadar; dan ke-dua, maksud Hizbut Tahrir di situ tidak sebagaimana yang dituduhkan dan diinterpretasikan oleh Kyai Najih.
وَمَعْنَى كَلِمَةِ قَدَرٍ فِي هذَيْنِ الْحَدِيْثَيْنِ تَقْدِيْرُ اللهِ وَعِلْمُهُ ، أَيْ أَنْ تُؤْمِنَ بِأَنَّ الْأَشْيَاءَ يَكْتُبُهَا اللهُ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ وَيَعْلَمُهَا قَبْلَ أَنْ تُوْجَدَ خَيْرًا كَانَتْ أَمْ شَرًّا .
"Arti dari kata al-Qadar di dua hadits tersebut adalah takdir Allah dan ilmu-Nya. Artinya, anda mengimani bahwa segala sesuatu itu dituliskan oleh Allah dalam Lauhulmahfzh dan diketahui oleh-Nya sebelum menjadi ada, baik itu (segala sesuatu yang ditakdirkan dan diketahui tersebut –penj.) baik maupun buruk."[xix]
Yaitu mengimani taqdir Allah SWT dan ilmu-Nya yang mendahului apa yang ditakdirkan-Nya. Jadi bukan ilmu Allah semata dengan menyematkan keburukan kepada sifat Allah seperti yang dituduhkan. Bahkan jika kita teliti, pernyataan di atas sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh al-Imam al-Baihaqi dalam kutipan Kyai Najih sendiri:
فَالْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ هُوَ الْإِيْمَانُ بِتَقَدُّمِ عِلْمِ اللهِ سُبْحَانَهُ بِمَا يَكُوْنُ مِنْ أَكْسَابِ الْخَلْقِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ ، وَصُدُوْرِ جَمِيْعِهَا عَنْ تَقْدِيْرٍ مِنْهُ ، وَخَلْقٍ لَهَا خَيْرِهَا وَشَرِّهَا .
"Iman terhadap al-Qadar ialah iman terhadap perihal lebih dahulunya pengetahuan Allah atas apa saja yang akan terjadi dari perbuatan makhluk dan lainnya. Serta munculnya semua itu berdasarkan ketentuan dan penciptaan Nya, baik dan buruknya."[xx]
Sampai di sini terbukti bahwa apa yang diasumsikan oleh Kyai Najih tidak benar adanya.
Kemudian terkait kutipan ‘ibarat yang ke-dua. Rupanya Kyai Najih Maimoen keliru dalam menuliskan sumber rujukan. Yang benar ‘ibarat tersebut ada di kitab al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah[xxi], bukan dari kitab Nizhâm al-Islâm. Wallâhu a’lam. Kemudian yang kedua, ‘ibarat dalam kitab tersebut terletak dalam pembahasan Petunjuk dan Kesesatan (al-Hudâ wa al-Dhalâl), bukan pembahasan Qadha’-Qadar. Beliau mengutipnya barangkali lantaran ada penyebutan perbuatan manusia dan perbuatan Allah di situ.
Maksud dari ‘ibarat tersebut akan menjadi jelas apabila kita membaca secara utuh topik pembahasan dalam kitab itu. Yakni bahwasannya dalam al-Qur`an ada kalanya perihal memberi petunjuk dan kesesatan itu dinisbatkan kepada perbuatan Allah SWT[xxii], dan ada kalanya perihal mengikuti petunjuk dan kesesatan itu dinisbatkan kepada perbuatan hamba[xxiii]. Dengan mengkompromikan kedua jenis ayat tersebut, maka diperoleh kesimpulan bahwa petunjuk dan kesesatan serta potensi menusia untuk mendapatkannya adalah ciptaan Allah SWT, namun Allah SWT akan memberikan petunjuk-Nya tersebut kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesuai sikap pro-aktif manusia sendiri dalam menjemputnya[xxiv].
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk hatinya"[xxv].
Inilah yang dimaksud dari apa yang dikutip oleh Kyai Najih tersebut. Tidak sebagaimana yang beliau asumsikan secara keliru sebagai konsep mengingkari Qadha’-Qadar.
Maka dengan demikian, semua apa yang dituduhkan oleh Kyai M. Najih Maimoen terhadap Hizbut Tahrir seputar topik ini adalah keliru. Oleh karenanya, penting kiranya agar beliau meninjau kembali tulisannya tersebut dan memberikan klarifikasi atas tuduhan-tuduhan yang terbukti keliru tadi. Wallâhu ta'âlâ a’lam
Ghafarallâhu lanâ wa li-sâ`iril muslimîn
___________
[i] H. Muhammad Najih Maimoen. 2013. Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. (Rembang: Perc. Al-Anwar Sarang Rembang) hlm 8
[ii] Lihat Ibid. hlm 9-12
[iii] Lihat Ibid. hlm 15
[iv] Terkait apa saja arti al-Qadha`, lihat Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah) vol 1 hlm 84-85; dan mengenai apa saja arti al-Qadar, lihat kitab yang sama, hlm 79-82.
[v] Di antaranya, ada yang mengartikan Qadha` adalah ketetapan umum pada perkara-perkara umum saja, sementara Qadar adalah ketetapan umum pada perkara-perkara cabang atau rincian. Ada yang mengartikan Qadar adalah ketetapan Allah SWT yang belum terjadi, sedangkan Qadha` adalah terjadinya atau terciptanya apa-apa yang telah Allah SWT tetapkan. Dan ada juga yang menganggap bahwa Qadha` dan Qadar adalah di antara rahasia-rahasia Allah SWT. (Lihat Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah). vol 1 hlm 90-91)
[vi] Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah). vol 1 hlm 94
[vii] Ibid. hlm 96
[viii] Ibid. hlm 92
[ix] Ibid. hlm 92
[x] Ibid. hlm 93
[xi] Ibid. hlm 93-94
[xii] Ibid. hlm 94
[xiii] Ibid. hlm 95
[xiv] Lihat Ibid. hlm 91
[xv] Ibid. hlm 83
[xvi] Lihat Ibid. hlm 74
[xvii] Lihat Ibid. hlm 96
[xviii] QS. al-Sajdah: 12
[xix] Lihat Taqiyuddin al-Nabhani. Opcit. hlm 87
[xx] Lihat H. Muhammad Najih Maimoen. Opcit. hlm 16
[xxi] Lihat Taqiyuddin al-Nabhani. Opcit. 97
[xxii] Lihat Ibid. hlm 98
[xxiii] Lihat Ibid. hlm 99
[xxiv] Lihat Ibid. hlm 100
[xxv] QS. al-Taghâbun: 11
0 comments:
Posting Komentar