Sedikit Tentang Nusyuz

Sabtu, Juli 04, 2015
0
Perlu diketahui terlebih dahulu pengertian nusyûz menurut syara’, berikut penjelasan dari beberapa ‘ulama:


والنشوز: هو الارتفاع، فالمرأة الناشز هي المرتفعة على زوجها، التاركة لأمره، المُعْرِضَة عنه، المُبْغِضَة له.

Nusyûz adalah ketinggian, wanita yang nusyûz berarti wanita yang meninggikan diri (menentang, pentj.) terhadap suaminya, mengabaikan perintahnya, berpaling darinya, dan marah/kesal kepadanya. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, vol 2, hlm 294)


وفي اصطلاح جمهور الفقهاء - المالكية والشافعية والحنابلة - : هو خروج الزوجة عن طاعة زوجها .

Menurut istilah mayoritas ‘ulama –Malikiah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah–, bahwa ia (nusyûz) adalah keluarnya seorang istri dari ketaatan terhadap suaminya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, vol 30, hlm 120)


نشوز المرأة : تعاليها على زوجها وإساءتها معاملته

Nusyûz-nya perempuan berarti penentangannya terhadap suaminya dan buruknya mu’amalah terhadapnya. (Rowwas Qol’ahji, mu’jam lughah al-fuqoha’, al-maddah: النشوز)

Dari beberapa paparan di atas, bisa dipahami bahwa nusyûz adalah pelanggaran terhadap syara’ oleh seorang istri yang terbatas pada hubungannya dengan suaminya, dalam bentuk pembangkangan atau perlakuan buruk terhadap suami. Dengan kata lain nusyûz adalah kemaksiatan istri berkenaan dengan ketidaktaatannya kepada suami secara mutlak, seperti tidak membukakan pintu kala suami mengetuknya sedangkan si istri tahu, tidak izin suami kala keluar rumah, menolak ketika suami meminta untuk dilayani, dsb. Perkara keluar rumah misalnya, Syaikh Taqyuddin An-Nabhani menuliskan dalam kitabnya an-Nizham al-Ijtima'i fil-Islam:


منع المرأة أن تخرج من بيتها إلا بإذن زوجها، لأن له حقوقاً عليها، فلا يصح أن تخرج من منزله إلا بإذنه، وإذا خرجت بغير إذنه كانت عاصية، واعتبرت ناشزة لا تستحق النفقة، فقد روى ابن بطة في أحكام النساء عن أنس أن رجلاً سافر ومنع زوجته من الخروج. فمرض أبوها، فاستأذنت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في عيادة أبيها، فقال لها رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : "اتقي الله ولا تخالفي زوجك" فمات أبوها فاستأذنت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في حضور جنازته فقال لها: "اتقي الله ولا تخالفي زوجك" فأوحى الله إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - : "إني قد غفرت لها بطاعة زوجها" .

Islam melarang wanita keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya, karena dia memiliki hak-hak atas dirinya, maka tidak dibenarkan wanita keluar kecuali dengan seizinnya, dan jika ada seorang wanita keluar tanpa izin suaminya maka dia telah bermaksiat, dan terhitung sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak mendapatkan nafkah. Ibnu Baththah telah meriwayatkan dalam kitab Ahkamun-Nisa' dari Anas bin malik, bahwa seorang laki-laki melakukan perjalanan dan melarang istrinya untuk keluar rumah, kemudian ayah sang istri jatuh sakit. maka si istri meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menjenguk ayahnya, Rasulullah berkata padanya: "Takutlah kepada Allah dan jangan engkau selisihi suamimu", kemudian meninggallah ayahnya, maka si istri meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menghadiri jenazah ayahnya, beliau bersabda: "Takutlah kepada Allah dan jangan engkau selisihi suamimu", kemudian Allah swt mewahyukan kepada Nabi Muhammad: "Aku telah mengampuninya dikarenakan ketaatan kepada suaminya". (an-Nizham al-Ijtima'i fil-Islam)

disitu beliau menegaskan bahwa istri yang melanggar ketaatan kepada suami berupa keluar rumah tanpa seizinnya sebagai nusyuz. Keluar rumah di sini adalah keluar rumah dengan tujuan apapun, baik yang hukumnya wajib/harus seperti mendatangi kajian intensif (halqah), memenuhi janji pertemuan dengan seseorang, masiroh dsb, maupun yang sifatnya sunnah atau mubah, seperti belanja, menjahitkan pakaian, kunjungan ke sanak famili dsb. Di penjelasan Beliau selanjutnya tentang larangan keluar rumah tanpa izin suami, Beliau menyatakan:


فجعل الشرع للزوج الحق في منع زوجته من الخروج من منزله سواء أرادت عيادة والديها أو زيارتهما، أو أرادت الخروج إلى ما لا بد منه أو للنزهة

syara' memberikan hak kepada suami bisa melarang istrinya keluar dari rumahnya, baik bertujuan untuk menjenguk orang tuanya atau mengunjunginya, maupun keluar rumah untuk perkara yang harus atau sekedar relaksasi. (an-Nizham al-Ijtima'i fil-Islam)

sedangkan dalam perkara keluar dengan tujuan pergi ke masjid, maka syara' menetapkan wajib izin bagi istri, namun suami harus mengizinkannya dan tidak boleh melarangnya. berdasarkan:


عن الزهري سمع سالما يحدث عن أبيه  النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا استأذنت أحدكم امرأته إلى المسجد فلا يمنعها

dari Zuhri, beliau mendengar Salim menyampaikan hadits dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw bersabda: Jika istri dari salah seorang diantara kalian meminta izin untuk ke masjid, maka janganlah ia melarangnya. (HR. Muslim)

jika ada suami melarang istrinya yang minta izin pergi ke masjid, maka bagi istri tetap taat kepadanya dengan tidak pergi ke masjid, adapun suami akan berdosa karena telah melanggar sabda Rasulullah saw di atas. ini terbatas pada izin untuk pergi ke masjid saja, tidak bisa diberlakukan untuk yang lain. Dikatakan istri tetap taat, karena suami dalam hal ini tidak melarang dari perkara yang wajib, tidak pula menyuruh kepada hal yang haram, karena hukum wanita pergi ke masjid adalah boleh berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama memang mengatakan makruh berdasarkan hadits keutamaan shalat di rumah bagi wanita, namun tidak dalam bahasan kali ini.

Adapun mengenai batasan antara nusyûz dengan kemaksiatan lainnya, kami ambilkan contoh; misalnya jika ada seorang istri meninggalkan shalat tanpa udzur syar’i, perbuatan tersebut tidak/belum bisa disebut sebagai nusyûz, karena meskipun berupa pelanggaran terhadap syara’ oleh seorang istri tindakan tersebut tidak terkait dengan pembangkangan terhadap suami. Kecuali, jika sang suami kemudian menegur dan menasehati istrinya agar mendirikan shalat, berdasarkan bahwa suami memiliki kewajiban untuk itu (melindungi istrinya dari sengatan api neraka).


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ [التحريم/6]

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6)


والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم

… dan seorang laki-laki adalah “penggembala” bagi keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya … (HR. Bukhari)

Namun sang istri tidak mengindahkan atau bahkan menentangnya, maka pada saat itu sikap istri tersebut dapat dikategorikan sebagai nusyûz, selain juga tentunya istri mendapat dosa dari meninggalkan shalat. Dalam kondisi semacam ini, tindakan suami dalam men-ta’dib (mendidik) istrinya bisa meningkat menjadi nasihat tentang besarnya perkara taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan taat kepada suami, jika masih tetap maka menjadi pisah tempat tidur, apabila tidak juga berubah maka dengan pukulan ringan yang tidak melukai atau tidak menjadikannya cacat, tidak pula pukulan di wajah. Berdasarkan:


وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ [النساء/34]

wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. (QS. An-Nisa: 34)

Hal ini karena “pembangkangan terhadap suami” yang terdapat pada pengertian nusyûz di atas, bersifat umum. Meliputi semua bentuk pembangkangan terhadap perintah suami, termasuk perintah suami untuk taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya, dan tentunya selama perintah suami bukan untuk bermaksiat kepada Allah swt. Kalaupun ada seorang suami tidak menegur istrinya yang didapatinya melakukan maksiat, maka selain istrinya menanggung dosa dari sisi dirinya sebagai mukallaf (yang dikenai beban hukum), suami pun juga berdosa dari sisi bahwa ia telah membiarkan istrinya dalam kemaksiatan sedangkan di pundaknya ada kewajiban menyelamatkannya dari dosa berdasarkan ayat dan hadits sebelumnya. Dan untuk selanjutnya kemaksiatan istri dalam hal ini tidak tergolong nusyûz, karena tidak terkait dengan pembangkangan terhadap suami.

Tindakan suami berupa nasihat, pisah tempat tidur, dan pukulan terhadap istrinya yang nusyûz adalah kekhususan yang diberikan oleh syara’ kepadanya. Ini dilakukan dalam rangka ta’dib (edukasi), bukan dalam rangka mengganti peran Hakim dalam memberi hukuman. Karena sanksi dari Hakim, diputuskan bilamana kasus kemaksiatan masuk ke majlis Qadhi (mahkamah), baik melalui laporan saksi atau korban yang disertai saksi, maupun pengakuan dari si pelaku sendiri. Terlepas dari apakah suami tahu atau tidak, apakah suami telah menta’dib atau belum (jika kebetulan pelaku adalah seorang istri yang melanggar hak-hak suamiya). Contohnya, jika ada seorang istri menerima tamu laki-laki ke dalam rumah tanpa seizin suami, kemudian ada saksi mata dari kalangan keluarga atau tetangga dekat yang melaporkan kepada Imam atau Qadhi, maka Imam atau Qadhi tersebut berhak memutuskan hukuman ta’zir bagi wanita yang bersangkutan, atau mungkin memaafkannya karena bukan termasuk hudud dan jinayat. Larangan memasukkan tamu laki-laki tanpa seizin suami berdasarkan hadits:


عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه ولا تأذن في بيته إلا بإذنه ...

Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda: tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (puasa sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya, tidak pula halal mengizinkan (laki-laki) masuk rumah kecuali seizinnya… (HR. Bukhari)

Bahkan bisa melaporkan persengketaan antara suami-istri jika dipandang perlu, misalnya jika si istri tidak mempan lagi di-ta’dib, untuk kemudian hakim yang akan turun tangan. Berdasarkan firman Allah swt:


وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا [النساء/35]

dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisa: 35)

dalam penjelasan para mufassirin, Pengiriman hakam (juru damai) disitu dilakukan oleh hakim.

Atau bahkan suami menganggap perbuatan istrinya harus dilaporkan hakim, sebagaimana kasus Hilal bin Umayyah melaporkan istrinya yang dia jumpai berzina dengan seorang laki-laki. Tindakan atau sanksi dari Negara ini tidak ada kaitannya dengan sikap Nusyûz sang Istri dan ta’dib yang dilakukan oleh suami terhadapnya.

Allahu A'lam bish Showab
Azizi Fathoni K.

0 comments:

Posting Komentar