Kasus Waris I

Sabtu, Juni 27, 2015
0

Tanya:
Mau tanya Ustadz. Jika seorang wanita (bulek saya) meninggal dan belum mempunyai suami, kepada siapakah harta warisannya itu boleh dimiliki/bagaimanakah sebaiknya mengelola harta warisannya secara syar'i. Sang wanita ini memiliki 5 saudara kandung (6 termasuk dirinya) yang terdiri dari 4 orang wanita (kakaknya) dan 1 orang pria (adiknya). sang wanita ini anak ke 5. Harta yang ditinggalkan adalah sebuah rumah dan sebidang tanah seluas (sekitar) 1000 m2. Kalau Ahli Waris sepakat untuk mewakafkan rumah dan sebidang tanah tersebut bagaimana? apakah seperti ini syar'ie dan bisa menjadi amal jariyah untuk bulek saya, walaupun yang mewakafkan bukan sang empunya...?
Terima Kasih Ustadz atas tanggapannya...

Penanya: Rasyid Ichsani - Yogyakarta

Jawab:
Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Selalu kami cantumkan dalam setiap kasus waris, bahwa sebelum harta dibagikan kepada Ahli Waris ada beberapa hal yang perlu dipastikan, dan ada beberapa hak harta yang harus ditunaikan.

Untuk beberapa hal yang perlu dipastikan adalah:
1. Kematian pemilik harta. Orang yang belum diketahui kematiannya tidak bisa diwarisi hartanya.

2. Kepastian dan kebolehan kepemilikan harta. Harta harus murni milik mayat saat dia hidup, dan dipastikan pula bukan termasuk harta yang haram dimiliki.

3. Masih Hidupnya Ahli Waris.  Ahli Waris yang mati bersamaan dengan kematian si mayat, maka dia tidak mewarisi harta mayat.

4. Keislaman mayat dan Ahli Waris. Seorang muslim tidak mewarisi harta kafir, demikian pula sebaliknya.

Dan untuk beberapa hak harta yang harus di tunaikan sebelum pembagian harta waris, maka ada tiga:
1. Penyelenggaraan pemakaman mayat. Al-Imam Ibnu Qudamah menjelsakan:
ويجب كفن الميت ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر به ، ولأن سترته واجبة في الحياة ، فكذلك بعد الموت ويكون ذلك من رأس ماله مقدما على الدين والوصية والميراث
“Wajib hukumnya mengkafani mayat, karena Nabi saw memerintahkan hal tersebut. Juga karena menutup ‘aurat di masa hidupnya wajib, maka demikian pula setelah dia mati. Dan hal itu lebih diutamakan diambil dari harta pokoknya sebelum dilakukan pembayaran hutang, penunaian wasiat, dan pembagian warisan.” Al-Mughni, 4/495

2. Penunaian hutang. Ini apabila si mayat belum melunasi hutangnya saat dia masih hidup. Baik hutang kepada sesama manusia maupun hutang kepada Allah swt (seperti nadzar atau kaffarat), dengan lebih mengutamakan hutang kepada sesama manusia menurut pendapat yang terkuat.

3. Penunaian wasiat. Ini apabila si mayat mewasiatkan 1/3 (atau kurang) dari hartanya kepada selain Ahli Waris, atau kepada sebagian Ahli Waris dengan syarat izin/persetujuan Ahli Waris lainnya.

Dalam kasus yang ditanyakan oleh Saudara Penanya, dengan asumsi tidak ada masalah dalam “hal yang harus dipastikan” di atas, dan tidak ada tanggungan hutang dan wasiat mayat di waktu hidupnya, maka harta sudah bisa dibagikan setelah dikurangi jumlah yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan jenazah mayat.

Jika Ahli Waris terdiri dari 1 Saudara dan 4 Saudari, dengan asumsi semua itu adalah Saudara Sekandung, maka harta waris keseluruhan (setelah dikurangi biaya penyelenggaraan jenazah) dibagi dengan ketentuan: bagian laki-laki mendapat dua kali lipat dari bagian wanita. Yaitu harta dibagi menjadi 6 bagian, 1 Saudara mendapat bagian 2/6 harta, sementara 4 Saudari masing-masing mendapat bagian 1/6 harta.

Demikian ini tadi bagian harta waris masing-masig Ahli Waris, adapun jika semua Ahli Waris sepakat untuk mewakafkan semua harta tersebut, maka hukumnya boleh, atau bahkan sunnah dari aspek hukum wakaf itu sendiri. Itu jika Ahli Waris meniatkan untuk dirinya sendiri, adapun apabila Ahli Waris meniatkan agar pewakafan harta tersebut menjadi penebus dosa mayat sebagaimana ditanyakan, juga boleh dan Insyaallah pahalanya sampai, sebagaimana kasus yang terjadi dalam hadits Muslim berikut.

عن أبي هريرة أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم إن أبي مات وترك مالا ولم يوص فهل يكفر عنه أن أتصدق عنه قال نعم . رواه مسلم

Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: ayahku telah wafat dan meninggalkan sejumlah harta, sementara beliau tidak berwasiat, apakah dengan aku sedekahkan harta tersebut bisa menjadi kafarat (penebus) atas dosa-dosanya?, Nabi mnejawab: “Ya.” (HR. Muslim)

Yang harus benar-benar dipastikan untuk yang terakhir ini adalah keridhaan segenap Ahli Waris, sampai tidak ada satupun di antara mereka yang merasa keberatan. Jika ada yang keberatan maka baginya bagian yang telah ditetapkan di atas, baru sisanya yang diwakafkan. Wallaahu A’lam

Malang, 01 Rajab 1433 H
Azizi Fathoni K.

0 comments:

Posting Komentar