Sanksi Syar'i di Dunia Pendidikan

Kamis, April 23, 2015
0
Bad Punishment

Bismillahirrohmanirrohim...

Bagi rekan-rekan muslim yang punya lembaga pendidikan, berprofesi sebagai tenaga pendidik atau sebagai praktisi di dunia pendidikan, ketentuan ‘uqûbah (hukuman) yang sesuai syari'at ini mungkin penting untuk diketahui sebagai acuan dalam memberlakukan hukuman selama proses pendidikan. Dengan harapan, hukuman yang kita terapkan terhadap anak didik kita yang melanggar aturan berjalan efektif sesuai dengan fitrah syari’at. Bukan hukuman yang kontraproduktif, yaitu hukuman yang justru melanggar syari’at itu sendiri, yang pada akhirnya bukan hanya pelanggar aturan yang berdosa tapi juga yang menghukum. Selain juga tidak akan menimbulkan bekas ketaatan bagi anak didik terhadap penghukum yang dia sendiri tidak taat kepada Al-Hakim Allah ‘Azza wa Jalla. Tentu kita tidak menginginkan kondisi yang semacam demikian itu. Wal’iyâdzu billâh..

Pertama, kita perlu tahu macam-macam hukuman yang ada dalam Islam. Secara garis besar dia digolongkan menjadi empat macam: (1) hukuman oleh pemerintah terhadap rakyatnya, (2) hukuman oleh orang tua terhadap anaknya, (3) hukuman oleh suami terhadap isterinya, dan (4) hukuman hukuman terhadap hamba-sahaya oleh pemiliknya.

A. Hukuman oleh Pemerintahan Terhadap Rakyatnya
Macam pertama ini memiliki tiga bentuk:

1. Pelanggaran terkait Hudûd, yaitu:
a) sariqoh (pencurian) yang mencapai nishab (1/4 dinar atau dikonversikan lebih kurang Rp 350-400 ribu) atau lebih --> hukuman potong tangan sampai pergelangan
b) perzinahan (baik yang sudah ihshon atau belum) --> hukuman jilid 100 kali bagi yang belum ihshon dan rajam bagi yang sudah ihshon (ihshon adalah sudah menikah dan sudah berhubungan badan dengan pasangannya)
c) liwâth (sodomi) --> hukuman mati
d) qodzaf (baik yang dituduh laki-laki maupun wanita) --> hukuman jilid 80 kali
e) minum khamr atau mengkonsumsi zat memabukkan lainnya --> hukuman jilid 40 atau 80 kali
f) merampok/memalak --> hukuman potong tangan jika hanya mengambil harta, hukuman mati jika hanya membunuh tanpa mengambil harta, hukuman mati dan disalib jika membunuh dan mengambil harta, dan
g) murtadd (keluar dari Islam) --> hukuman mati setelah diminta bertaubat selama 3 hari 3 malam. Lebih rincinya dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh mu’tabar.

KETENTUAN:
Bentuk hukuman hudud  sudah ditetapkan oleh syara'. Tidak ada yang bisa merubahnya, baik memperringan, memperberat, atau menggantinya. Tidak ada satupun yang bisa memaafkan pelaku dari pelaksanaannya jika telah terbukti di persidangan, tidak hakim tidak pula korban (apabila ada).

2. Pelanggaran terkait Jinâyât
Yaitu kejahatan terhadap fisik: memukul, melukai, memotong anggota tubuh, dan membunuh --> Hukuman berupa Qishâsh (hukuman serupa dengan kejahatan) dan atau Membayar diyat (100 ekor onta atau harta sebanyak 1000 dinar). Ketentuan secara rinci dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.

KETENTUAN:
Bentuk hukuman jinayat sudah ditetapkan oleh syara', yaitu antara qishash (hukuman yang serupa dengan kejahatan) dan membayar diyat (denda senilai 100 onta atau 1000 Dinar). Tidak ada yang bisa merubahnya, baik memperringan, memperberat, atau menggantinya. Satu-satunya pihak yang berhak memaafkan pelaku dari pelaksanaan hukuman adalah korban atau keluarga korban, hakim tidak berhak memaafkan.

3. Pelanggaran di luar Hudud dan Jinayat.
Macamnya sangat banyak, yaitu setiap pelanggaran hukum syara’ selain perkara-perkara yang telah disebutkan di point (1) dan selain yang tergolong di point (2) di atas. Misalnya mencuri kurang dari batas minimal dipotongnya tangan, berkhalwath dengan wanita ajnabiyah (non-mahrom), meninggalkan shalat, durhaka kepada orang tua dll. termasuk dalam hal ini juga pelanggaran dalam hal administrasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah --> Hukuman Ta’zîr. Contoh bentuk-bentuk hukuman ta’zir: nasihat, cambukan, dipermalukan di hadapan publik, kurungan/penjara, hajr (diisolir), dll.

KETENTUAN:
Bentuk hukuman ta'zir belum ditetapkan oleh syara', yang menentukan hukuman adalah hakim sesuai dengan ijtihadnya. Satu-satunya pihak yang berhak memaafkan pelaku dari pelaksanaan hukuman adalah hakim sendiri, berdasarkan berat dan ringannya kesalahan, dan berdasarkan sering tidaknya pelaku melakukan pelanggaran. Korban atau keluarga korban (jika ada) tidak memiliki hak untuk memaafkan.

Ketentuan pelaksanaan hukuman 1, 2, dan 3:
Hukuman-Hukuman Tersebut Hanya Boleh Diterapkan Melalui Proses Pengadilan Syar’i Yang Diputuskan Oleh Qodhi Yang Diangkat Oleh Khalifah, Qodhi Yang Tidak Diangkat Oleh Khalifah Tidak Sah Peradilannya, karena pengangkatan oleh Khalifah adalah syarat sahnya peradilan, sebagaimana diungkapkan Ibn Rusyd dalam Bidayah Mujtahid-nya:

ولا خلاف في جواز حكم الإمام الأعظم وتوليته للقاضي شرط في صحة قضائه لا خلاف أعرف فيه
Tidak ada pertentangan dalam hal bolehnya keputusan hukum oleh Imam Agung (khalifah), sedangkan pengangkatan olehnya atas seorang qodhi adalah syarat sahnya peradilannya (peradilan sang qadhi), setahuku tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut. (Bidayatul Mujtahid, 2/361)

Untuk saat ini hukuman-hukuman tersebut mu’aththolah (terbengkalai) karena belum adanya institusi yang menerapkannya, yaitu daulah Khilafah, dan tidak dibenarkan penerapannya secara parsial oleh individu-individu muslim. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H):

وَأَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِآحَادِ الرَّعِيَّةِ إِقَامَةُ الْحُدُوْدِ عَلَى الْجُنَاةِ بَلْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ إِقَامَةُ الْحُدُوْدِ عَلَى الْأَحْرَارِ الْجُنَاةِ إِلاَّ لِلْإِمَامِ ، فَلَمَّا كَانَ هَذَا التَّكْلِيْفُ تَكْلِيْفاً جَازِماً وَلاَ يُمْكِنُ الْخُرُوْجَ عَنْ عُهْدَةِ هَذَا التَّكْلِيْفِ إِلاَّ عِنْدَ وُجُوْدِ الْإِمَامِ وَمَا لَا يَتَأَتَّى الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ وَكاَنَ مَقْدُوْراً لِلْمُكَلَّفِ فَهُوَ وَاجِبٌ فَلَزِمَ الْقَطْعُ بِوُجُوْبِ نَصْبِ الإِمَامِ
Ulama umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada seorang pun rakyat yang boleh menerapkan Hudud terhadap para penjahat, bahkan mereka juga bersepakat bahwa penerapan Hudud terhadap para penjahat merdeka tidak boleh dilakukan kecuali atas wewenang Imam (Khalifah). Maka, ketika taklif ini (penerapan Hudud) bersifat pasti dan tiada jalan keluar dari taklif tersebut selain dengan keberadaan Imam, mengingat sesuatu yang kewajiban tidak terlaksana tanpanya sedangkan ia dimampui oleh mukallaf hukumnya adalah wajib, maka itu mengharuskan secara pasti wajibnya mengangkat Imam (Khalifah).” (Mafâtîh Al-Ghayb fî At-Tafsîr, vol 11, hlm 181)

Maka, jika ada pelanggaran yang termasuk dalam hal-hal syar'i ini, baik yang terkait hudud yang tujuh macam, terkait jinayat, ataupun terkait pelanggaran syara' di luar hudud dan jinayat, secara syar'i pendidik tidak boleh memberlakukan hukuman, karena hukuman untuk pelanggaran-pelanggaran tersebut hanya wewenang pemerintah (khalifah).

B. Hukuman oleh Orang tua terhadap anaknya
Syara’ hanya mengizinkan orang tua untuk menghukum anaknya yang meninggalkan shalat, berdasarkan hadits:

عن عبد الملك بن الربيع عن أبيه عن جده قال رسول الله صلى الله عليه وسلم علموا الصبي الصلاة ابن سبع سنين واضربوه عليها ابن عشر
Dari Abdulmalik bin Rabi’ dari Ayahnya dari Kakeknya, Rasulullah saw bersabda: ajarilah shalat anak yang sudah berumur tujuh tahun, dan pukullah ia ketika berumur sepuluh tahun. (HR. Tirmidzi)

Dalam nash di atas ditegaskan bahwa mengajarkan shalat kepada anak diperintahkan oleh syara' ketika anak sudah berusia 7 (tujuh) tahun, namun belum disyari'atkan untuk menghukum mereka jika terjadi kesalahan atau kelalaian. Hukuman pukulan yang disebutkan dalam hadits baru diterapkan ketika anak sudah berumur 10 (sepuluh) tahun, tanpa menunggu masa baligh. Apabila ada yang bertanya, bukankah anak yang belum baligh belum tergolong mukallaf (terbebani hukum)? jawabannya: ya benar mereka belum dianggap sebagai mukallaf, dan hukuman diterapkan bukan dalam rangka menganggap mereka sebagai mukallaf. Hukuman diterapkan hanya sebagai ta'dib (edukasi), maka sifat pukulannya pun tidak boleh berbentuk ta'dzib (penyiksaan). Dalam men-syarah hadits di atas, Al-Mubarkafuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mengutip pendapat Al-‘Alaqi, dengan mengatakan:

قال العلقي ... والمراد بالضرب ضربا غير مبرح وأن يتقي الوجه في الضرب
Berkata Al-‘Alaqi: … yang dimaksud dengan pukulan (di hadits tersebut) adalah pukulan yang tidak menyakitkan, dan harus menghindari bagian wajah (Tuhfatul Ahwadzi, 2/370)

Pukulan yang tidak menyakitkan batasannya adalah pukulan yang tidak menyebabkan bekas atau memar, apalagi menyebabkan sobeknya kulit, pecahnya tulang, atau menimbulkan cacat. Sedangkan pukulan yang tidak boleh mengena wajah adalah pukulan baik secara langsung semisal tonjokan atau tamparan, atau menggunakan alat pemukul seperti kayu, rotan, kabel, atau besi. hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw berikut.

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا ضرب أحدكم فليتق الوجه
Dari Abi Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hindarilah memukul bagian wajah (HR. Abu Dawud)

Pada saat anak sudah masuk masa baligh maka hukuman pukulan tersebut tidak berlaku lagi, hukuman bagi mukallaf yang melakukan keharaman selain terkait hudud dan jinayat adalah hukuman ta'zir oleh khalifah, tidak boleh lagi dilakukan oleh orang tua. Jadi, hukuman pukulan oleh orang tua terhadap anak yang meninggalkan shalat ini hanya berlaku saat anak sudah memasuki usia 10 tahun hingga anak memasuki masa baligh.

Apakah hukuman ini bisa diterapkan oleh selain orang tua, seperti misalnya guru di sekolah atau ustadz di pesantren? dan apakah hukuman ini bisa diterapkan untuk hal lain seperti saat anak didik tidak ikut shalat berjama'ah, ber-shaff dengan tidak lurus, mengantuk saat membaca Al-Qur'an, melanggar disiplin bahasa, tidak masuk kelas tanpa izin, terlambat datang dari liburan. dll? Untuk yang pertama jawabannya tidak bisa, syara' hanya memberikan "kewenangan menghukum" tersebut hanya kepada orang tua tidak kepada yang lainnya. Kedua, hukuman tersebut tidak bisa diterapkan untuk pelanggaran-pelanggaran lainnya sebagaimana yang disebutkan. Menurut para ulama, syara' menjadikan hukuman demikian ini hanya pada syari'at shalat dan tidak pada syari'at-syari'at lainya, tidak lain karena kewajiban shalat merupakan kewajiban yang sangat besar bagi seorang muslim dan akan terasa berat apabila tidak ada pembiasaan sejak dini. Dimana ketika seorang anak sudah memasuki masa baligh, maka meninggalkan shalat dengan sengaja sudah menjadi dosa besar baginya.

C. Hukuman oleh Suami terhadap Isterinya
Syara’ hanya mengizinkan para suami untuk menghukum istrinya yang dikhawatirkan nusyuz (membangkang) atau isteri yang sudah nuzyuz, dengan tiga macam hukuman, yaitu menasihatinya, memisahkannya dari ranjang (pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:

... وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا [النساء: 34]
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. An-Nisa [4]: 34)

Tiga hukuman tersebut dilakukan secara bertahap jika isteri masih dikhawatirkan akan nusyuz. Lafazh yang artinya (wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya) menunjukkan bahwa syara' telah mengantisipasi terjadinya nusyuz dengan mengizinkan suami untuk memberikan tindakan secara bertahap sesuai dengan yang tercantum di ayat. Tidak menerapkan tindakan selanjutnya jika dengan yang pertama si istri mau berubah, berdasarkan (kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya). Nasihat adalah nasihat yang menyadarkan, jika tidak ‘mempan’ maka dengan pisah ranjang, jika tidak juga mempan maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak di wajah. Hukuman terakhir ini tidak jauh beda dengan hukuman macam ke dua di atas, yaitu hukuman bersifat ta'dib (edukasi) bukan hukuman bersifat ta'dzib (penyiksaan). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan sifat pukulan tersebut, mengutip perkataan ulama:

ألا يكسر فيها عضوا ولا يؤثر فيها شيئا
Hendaknya tidak merusak anggota tubuh apa pun dan tidak menimbulkan bekas sedikitpun padanya (Tafsir Ibn Katsir, 2/295)

Dari penelaahan kami terhadap nash-nash baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah tidak ditemukan sama sekali adanya peluang bagi para pendidik untuk menghukum anak-didiknya, selain hanya bagi orang tua terhadap anaknya sendiri, itupun sangat terbatas.

Kalau demikian lalu apa yang bisa diperbuat oleh para pendidik ketika menjumpai anak didiknya melanggar baik terhadap hukum syara' maupun terhadap peraturan-peraturan administratif setempat? Yang bisa dilakukan adalah tindakan yang bukan berupa hukuman, melainkan konsekwensi logis yang sejalan dengan syari'at Islam. Misalnya pendidik membuat kesepakatan sejak awal dengan siswa bahwa siapa-siapa yang tidur saat pelajaran atau meletakkan kepalanya di atas meja maka mejanya diambil sehingga dia akan duduk tanpa meja, atau yang keluar dari kursinya dan membuat keonaran maka kursinya akan diambil, atau jika terlambat dalam masuk kelas maka tindakannya begini dan begitu, dll. Contoh lainnya, ketika ada seorang santri atau siswa melanggar disiplin administratif berupa lalai atau berbohong saat meminta izin, maka pendidik bisa menasihatinya dengan nasihat yang baalighoh dengan kata-kata yang menyentuh tanpa amarah atau membentak-bentak dengan mengangkat suara, hingga seorang anak menyadari sendiri kesalahannya dan menyesalinya, kemudian mau meminta maaf seraya bertaubat kepada Allah swt, pendidik bisa memintanya untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya saat itu, atau membangunkannya untuk shalat taubat di malam harinya.

Hukuman-hukuman semacam di atas ini sudah cukup membuat siswa akan berfikir berkali-kali kalau hendak melakukan kesalahan, karena mereka sudah tahu konsekwensinya. Kita tahu betapa banyak siswa melanggar disiplin kemudian dihukum dengan hukuman yang tidak mereka duga-duga sebelumnya. Di satu sisi mungkin memang bisa menjadikan jera, tapi di sisi lain tidak mengajarkan kepada siswa untuk terbiasa memikirkan setiap konsekwensi dari setiap perbuatannya. Kita bisa belajar dari bagaimana Allah swt telah menyebutkan konsekwensi-konsekwensi yang akan diterima bagi para pelaku kesalahan baik di dunia maupun di akhirat.

Adapun jika kesalahan sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, dan pendidik melihat akan berdampak buruk bagi anak didik lainya, selanjutnya bisa menempuh jalan untuk memulangkannya atau mengeluarkannya sementara atau selamanya dari lembaga. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri terhadap bekas muridnya yaitu Washil bin 'Atho' tatkala beliau menjumpainya menyimpang dan tidak ada harapan untuk kembali ke jalan yang lurus, Al-Hasan Al-Bashri tidak menjatuhkan hukuman apa pun terhadap dirinya, beliau hanya mengusirnya dari majlis ilmu yang beliau bina.

Terkait hukuman fisik, hendaknya pendidik tidak boleh main-main dengannya dalam bentuk apapun, karena menyakiti sesama muslim adalah dosa di sisi Allah swt. Sedangkan antara para pendidik dan para santri atau siswa pada hakikatnya adalah sesama muslim, yang tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Rasulullah saw bersabda:

عن أنس بن مالك قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من آذى مسلما فقد آذاني ومن آذاني فقد آذى الله عز وجل
Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Siapa-siapa yang menyakiti seorang muslim maka sungguh ia telah menyakitiku, dan siapa siapa yang telah menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah swt (HR. Ath-Thobaroni)

Semoga yang sedikit ini bermanfaat, jika diterapkan menjadi sumber keberkahan dan magnet bagi setiap kebaikan. Amin

0 comments:

Posting Komentar