Hukum Berkurban untuk Orang Tua yang Sudah Meninggal dan Anak-anak

Minggu, September 20, 2015
0
Tanya:
Bagaimanakah hukumnya berkurban yang diniatkan untuk orang tua kita yang sudah meninggal? dan berkurban untuk anak-anak kita? Mohon Penjelasannya. Syukron. (penanya: 082233699###)

Jawab:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Para ulama berbeda pendapat terkait hukum menyembelih binatang kurban dengan niat untuk mayat. Sebagian dari mereka menganggapnya boleh, dan sebagian lagi tidak boleh kecuali dengan suatu syarat tertentu. Kedua pendapat tersebut berpulang di antaranya pada perbedaan memahami hadits berikut ini.

عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَالآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : أَمَرَنِي بِهِ ، يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلاَ أَدَعُهُ أَبَدًا .
Dari Ali (bin Abi Thalib), bahwa beliau berkurban dengan dua ekor domba. Salah satunya untuk Nabi saw dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian beliau ditanya (atas dasar apa), maka beliaupun menjawab: “Beliau yang telah memerintahkanku untuk itu, yakni Nabi saw (saat masih hidup), maka ia (kurban untuk Nabi saw) tidak akan kutinggalkan untuk selamanya.”[1]

Usai menyebutkan riwayat tersebut al-Imam al-Tirmidzi memberi keterangan bahwa ia gharîb[2]. Kemudian beliau menambahkan penjelasan:

وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ أَنْ يُضَحَّى عَنِ الْمَيِّتِ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُضَحَّى عَنْهُ .
“Sebagian ulama telah membolehkan berkurban untuk mayat, sementara sebagian lainnya tidak membolehkannya.”[3]

Bagi ulama yang membolehkan, hadits tersebut cukup jelas menunjukkan hal itu. Karena Nabi saw sendiri yang mewasiatkan itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra, dan sahabat Ali pun menaatinya sampai bertekad tidak akan meninggalkannya di setiap musim kurban untuk selamanya atau sampai akhir hayatnya.
Bagi yang tidak membolehkan, mereka memahami bahwa hadits tersebut tidak bisa diberlakukan secara mutlak. Karena kurban di situ dilakukan lantaran adanya wasiat dari mayat, yang dalam hal ini wasiat Nabi saw kepada Ali ra. Jadilah hukumnya tidak boleh kecuali dengan syarat adanya wasiat dari mayat di saat ia masih hidup. al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Syafi’i mengatakan:

وَلَا تَضْحِيَةَ عَن الْغَيْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إِنْ لَمْ يُوْصِ بِهَا .
“Tidak boleh kurban dengan niat untuk orang lain tanpa ada izin darinya, dan tidak boleh pula kurban dengan niat untuk mayat jika ia tidak mewasiatkannya.”[4]

Menurut ulama yang mengambil pendapat pertama, wasiat Nabi saw dalam hadits di atas tidak dipahami sebagai syarat atau pembatas yang mengikat. Pasalnya ada nash lain yang tidak mengharuskan hal tersebut, yaitu hadits:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى ، فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ، وَقَالَ : بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي .
Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, aku pernah menjumpai ‘Idul Adha bersama Rasulullah di mushalla, setelah selesai dari khutbah beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan seekor domba, lalu Rasulullah saw menyembelihnya dengan tangannya sendiri, seraya berkata: “(yang artinya) Dengan nama Allah, dan Allah adalah Dzat Mahabesar, ini kurban untukku dan untuk siapa saja yang tidak berkurban di antara umatku.”[5]

Lafazh man (siapa saja) di situ menunjukkan keumuman pada niat kurban yang diucapkan Nabi saw, bahwa ia tidak terbatas pada kaum muslim yang hidup saat penyembelihan saja. Melainkan juga meliputi seluruh umat beliau yang tidak berkesempatan untuk melaksanakan kurban, baik yang masih hidup saat penyembelihan maupun yang sudah meninggal. Ini dipertegas dengan kata jamî’[an] (seluruhnya) pada riwayat versi lain berikut. 

اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ أُمَّتِي جَمِيْعًا مَنْ شَهِدَ لَكَ بِالتَّوْحِيْدِ وَشَهِدَ لِي بِالْبَلَاغِ .
“… Ya Allah, ini untuk umatku seluruhnya: (yaitu) siapa saja yang bersaksi atas keesaan-Mu dan bersaksi atas kerasulanku.”[6]

Nah, berhubung kurban oleh Nabi saw ini tidak dibarengi dengan adanya wasiat dari umat beliau yang sudah meninggal di kala mereka masih hidup namun manfaatnya tetap meliputi mereka, maka ini menunjukkan kebolehan kurban untuk mayat meski tidak berwasiat, dan pahalanya in syâ-allâh akan sampai kepada mereka. Terkait ini al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra’ al-Hambali menyatakan:

وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أُمَّتَهُ أَمْوَاتَهُمْ وَأَحْيَاءَهُمْ قَدْ نَالَهُمْ النَّفْعُ وَالْأَجْرُ بِتَضْحِيَتِهِ وَإِلَّا كَانَ ذَلِكَ عَبَثًا .
“Dia (hadits tersebut) menunjukkan bahwa umat Beliau, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, sungguh akan mendapatkan manfaat dan pahala dari kurban Beliau itu. Jika tidak (dipahami) demikian niscaya (sabda Beliau) itu hanya omong kosong belaka.”[7]

Kami lebih cenderung kepada pendapat ini, tanpa menafikan kemu’tabaran pendapat satunya. Karena bisa jadi kurban oleh Nabi saw yang diniatkan untuk umat beliau tersebut merupakan khushûshiyah (kekhususan) beliau saja sehingga tidak berlaku bagi selain beliau. Namun untuk mengatakan demikian diperlukan dukungan suatu qarînah (indikasi) tertentu[8].
Menyikapi perbedaan ini al-Imam Abdullah ibn Al-Mubarak memiliki jalan keluar yang baik. Beliau berkata: 

أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُتَصَدَّقَ عَنْهُ وَلاَ يُضَحَّى عَنْهُ ، وَإِنْ ضَحَّى فَلاَ يَأْكُلُ مِنْهَا شَيْئًا ، وَيَتَصَدَّقُ بِهَا كُلِّهَا .
“Aku lebih suka bersedekah dengan niat untuknya (mayat) dari pada menyembelihkan kurban baginya. Kalaupun disembelihkan kurban, maka janganlah (yang berkurban) memakan suatu apapun darinya (hasil kurban), dan hendaknya ia menyedekahkannya seluruhnya.”[9]

Artinya meskipun membolehkan, beliau lebih memilih bersedekah langsung dengan niat untuk mayat daripada berkurban. Ini bisa jadi karena dalil sedekah untuk mayat lebih kuat dan lebih jelas daripada dalil kurban untuk mayat. Sekaligus demi memegang prinsip khurûj[an] min al-khilâf (keluar dari perselisihan). Adapun larangan beliau kepada orang yang berkurban agar tidak memakannya, itu karena beliau juga menganggapnya sebagai sedekah dan orang yang bersedekah tidak boleh memakan sedekahnya sendiri yang telah ia keluarkan dan untuk mendapatkannya kembali harus seizin mayat dan itu tidak mungkin[10]. Tentu ini berbeda dengan kurban biasanya yang pengurban berhak atas sepertiga dari hasil kurbannya.
Adapun kurban dengan niat untuk anak-anak serta keluarga, maka itu boleh menurut pendapat terkuat. Berdasarkan hadits:

عَطَاء بْن يَسَارٍ : سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ : كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ ، فَصَارَتْ كَمَا تَرَى .
‘Atha bin Yasar berkata, aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari ra: Bagaimanakah perihal kurban di masa Rasulullah saw? Beliau menjawab: (kala itu) Seseorang berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan untuk keluarganya. Merekapun memakannya dan memberi makan (orang lain), hingga kemudian orang-orang saling berbangga diri, lalu terjadilah seperti yang anda lihat saat ini.”[11]

Hadits ini menyatakan bahwa seseorang bisa meniatkan kurban seekor kambing untuk dirinya sendiri dan keluarganya meski afdhal-nya seekor kambing hanya untuk satu orang. Berdasarkan ini maka kurban dengan niat untuk anak-anak saja tentu boleh dan sah. Wallâhu a’lam []

Malang, 07 Dzulhijjah 1436 H


[1] Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, al-Jâmi al-Kabîr (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1997), jilid 3 hal. 136. nomor hadits: 1495.
[2] Hadits Gharib: Hadits yang hanya memiliki satu jalur periwayatan di sebagian atau seluruh tingkatan sanadnya.
[3] Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Op.Cit.
[4] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhâj al-Thâlibin wa ‘Umdat al-Muftîn fî al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), hlm 321.
[5] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abî Dâwud (Beirut: Maktabah ‘Ashriyah, t.t), jilid 3 hal. 99, nomor hadits 2810. Lihat pula HR. al-Tirmidzi nomor: 1521; HR. Ahmad nomor: 11066, 14880, 14936, dan 14938; HR. al-Hakim nomor: 7549, beliau berkata: hadits ini sanadnya shahih sekalipun tidak dikeluarkan oleh beliau berdua (al-Bukhari-Muslim). Komentar al-Dzahabi dalam al-Talkhish: shahih.
[6] Ahmad bin Hambal, al-Musnad (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), jilid 45 hal. 168. nomor hadits: 27190. Lihat juga HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir nomor: 920 dan 922; HR. al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra nomor: 18788 dan 18828, dan Su’ab al-Imam nomor: 7323; HR. al-Bazzar dalam al-Bahr al-Zakhkhar nomor: 3289; HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak nomor: 3478, beliau berkata: sanadnya shahih sekalipun tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
[7] Abu Abdillah Ibn Muflih, al-Furû’ wa Tashhîh al-Furû(Beirut: Muassasah al-Risalah, 2003), jilid 3 hal. 430.
[8] Lihat Abu Ibrahim Taqiyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2005), jilid 3 hal. 107.
[9] Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Op.Cit.
[10] Lihat Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1983), jilid 9 hal. 368. Lihat juga Syamsuddin al-Ramli, Nihâyat al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), jilid 8 hal. 144.
[11] Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Op.Cit., hal. 143. nomor hadits: 1505. Beliau berkata: hadits ini Hasan Shahih.

0 comments:

Posting Komentar