Tanya:
Selama ini saya memahami kata kullu
pada hadits “kull[u] bid’at[in] dhalâlat[un]” bermakna semua. Namun sebagian kalangan memahami itu makananya sebagian,
sehingga ada bid’ah hasanah yang tidak termasuk bid’ah dhalalah. Sebenarnya apa
kata kullu bisa bermakna sebagian? kapan bermakna sebagian? Di hadits
tersebut menggunakan makna yang mana?
(Ratna Winarsih - Malang)
Jawab:
Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim
Saudari benar, bahwa lafazh kull secara bahasa memang berarti: semua, seluruh, atau segala. Al-Imam Al-Jurjani (w. 816 H) dalam kamus at-Ta’rîfat menjelaskan lebih lanjut:
Saudari benar, bahwa lafazh kull secara bahasa memang berarti: semua, seluruh, atau segala. Al-Imam Al-Jurjani (w. 816 H) dalam kamus at-Ta’rîfat menjelaskan lebih lanjut:
وَكَلِمَةُ كُلٍّ عَامٌّ تَقْتَضِي عُمُوْمَ الْأَسْمَاءِ
.
“Dan kata kull itu berlaku umum meliputi keumuman semua kata benda.”[1]
Maksudnya adalah apabila ia mengenai sebuah kata benda, maka itu akan menimbulkan makna umum pada kata benda tersebut. Sebagai contoh, lafazh kull dalam hadits Rasulullah saw berikut ini.
« كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا
مَنْ أَبَى » قَالُوْا
يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ أَبَى »
“Semua umatku akan masuk
surga kecuali siapa yang enggan.” Mereka (para sahabat ra) berkata: Wahai Rasulullah, siapa yang enggan
itu? Beliau menjawab: “Siapa saja
menaatiku ia akan masuk surga, dan siapa-siapa yang mendurhakaiku berarti ia
telah enggan (masuk surga).”[2]
Ketika lafazh kull di situ mengenai lafazh ummatî (umatku) maka itu menimbulkan makna umum pada lafazh ummatî, yakni meliputi segenap umat Nabi Muhammad saw tanpa terkecuali.
Ketika lafazh kull di situ mengenai lafazh ummatî (umatku) maka itu menimbulkan makna umum pada lafazh ummatî, yakni meliputi segenap umat Nabi Muhammad saw tanpa terkecuali.
Namun
kemudian perlu diketahui, bahwa dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada kaidah yang mengatakan:
يَبْقَى الْعَامُّ عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ
التَّخْصِيْصِ
“Dalil umum akan senantiasa berlaku
umum selama tidak ada dalil pengkhususan.”[3]
Di titik inilah lafazh kull berpeluang
untuk tidak meliputi secara mutlak keumuman kata benda yang dikenainya. Yaitu manakala
ada atau ditemukan dalil takhshîsh. Baik dalil takhshîsh tersebut terdapat dalam satu nash bersama dalil yang menunjukkan
keumuman (at-takhshîsh al-muttashil), maupun dalil takhshîsh tersebut terdapat
pada nash lain yang berbeda (at-takhshîsh al-munfashil).
Dalam
hadits di atas, dalil takhshîsh terdapat pada nash
hadits itu sendiri. Yaitu bagian illâ man abâ (kecuali siapa-siapa yang enggan). Sehingga
keumuman lafazh kull[u] ummatî (semua umatku) di situ
menjadi makhshush (terkenai pengkhususan). Yakni dikhususkan bagi yang
tidak taat untuk tidak termasuk ke dalam cakupan kull di situ.
Pemahaman
seperti ini juga berlaku pada hadits kull[u] bid’at[in] dhalâlat[un] yang sedang ditanyakan. Asalnya ia berarti umum meliputi segala macam bid’ah
tanpa terkecuali. Namun kemudian ditemukan dalil lain di luar nash umum
tersebut yang menunjukkan adanya bid’ah yang tidak sesat. Di antaranya
berupa Ijma’ Sahabat atas adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang
baik) di masa khalifah Umar bin Khaththab ra. Yaitu penyelenggaraan shalat
tarawih secara terorganisir yang belum pernah ada di masa-masa sebelumnya.
Dalam kesempatan itu Umar dengan jelas mengatakan:
« نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ »
“Ini merupakan sebaik-baik
bid’ah.”[4]
Para sahabat tidak ada yang
memprotes kebijakan dan pernyataan beliau ini, sehingga dipahami sebagai ijma’ akan
adanya bid’ah yang bukan bid’ah dhalâlah. Ini menjadi mukhashshish (pengkhusus) bagi keumuman kata bid’ah
pada hadits bid’ah dhalâlah. Berkenaan dengan
hadits tersebut Al-Imam Al-Hafizh An-Nawawi
Asy-Syafi’i (w. 676 H) menerangkan:
( وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ) هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ
وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ ... أَنَّ الْحَدِيْثَ مِن الْعَامِّ الْمَخْصُوْصِ
وَكَذَا مَا أَشْبَهَهُ مِن الْأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ وَيُؤَيِّدُ مَا قُلْنَاهُ
قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ
وَلَا يَمْنَعُ مِنْ كَوْنِ الْحَدِيْثِ عَامًّا مَخْصُوْصًا قَوْلُهُ كُلُّ بِدْعَةٍ
مُؤَكَّدًا بِكُلٍّ بَلْ يَدْخُلُهُ التَّخْصِيْصُ .
“(Sabda Nabi saw) dan semua
bid’ah adalah sesat; ini merupakan redaksi umum yang terkenai takhshish
(pengkhususan), yang artinya adalah bid’ah pada umumnya (bukan bid’ah secara
mutlak, pentj.) … Bahwa hadits tersebut tergolong dalil umum yang terkenai
pengkhususan, demikian pula halnya hadits-hadits serupa yang ada. Hal yang memperkuat
pendapat kami ini adalah perkataan Umar bin Khaththab ra berkenaan shalat
tarawih: “sebaik-baik bid’ah”. Sabda Nabi: “semua bid’ah” dengan penekanan
menggunakan kata kull, tidak menghalangi untuk terbilangnya hadits tersebut sebagai
hadits umum yang terkenai pengkhususan. Melainkan justru ia terkenai
pengkhususan itu sendiri.”[5]
Jadi apabila dikembalikan pada pertanyaan di atas, maka jabawannya adalah bahwa lafazh kull tidak berarti sebagian, ia tetap bermakna semua, seluruh, atau segala. Hanya saja kemudian ia memungkinkan untuk di-takhshish (dikenai pengkhususan), sehingga itu menjadikannya tidak lagi bermakna umum secara mutlak alias tidak meliputi hal-hal yang dikhususkan darinya. Namun meski demikian kata tersebut tetap tidak berarti sebagian.
Di atas ini merupakan penjelasan menurut prespektif pendapat yang mengakui pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dhalalah, yang itu adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i ra yang banyak diikuti oleh kalangan pesantren. Adapun menurut prespektif pendapat yang menganggap semua bid’ah adalah dhalalah tanpa terkecuali, mereka memahami kata bid’ah pada ungkapan Umar tersebut sebagai bid’ah secara bahasa bukan istilah[6]. Adapun kebolehan melakukannya, karena ia dipayungi oleh syari’at yang bersifat umum, sehingga bagi mereka apa yang dilakukan Umar itu tidak tergolong bid’ah secara istilah. Oleh sebab itu mereka tidak memberlakukannya sebagai mukhashshish bagi hadits bid’ah.
Walhasil, masing-masing dari dua kelompok tersebut sama-sama memahami kull berarti semua, seluruh, atau segala. Hanya bedanya, kelompok pertama memberlakukan takhshîsh atasnya sementara kelompok kedua tidak. Wallâhu a’lam[]
Jadi apabila dikembalikan pada pertanyaan di atas, maka jabawannya adalah bahwa lafazh kull tidak berarti sebagian, ia tetap bermakna semua, seluruh, atau segala. Hanya saja kemudian ia memungkinkan untuk di-takhshish (dikenai pengkhususan), sehingga itu menjadikannya tidak lagi bermakna umum secara mutlak alias tidak meliputi hal-hal yang dikhususkan darinya. Namun meski demikian kata tersebut tetap tidak berarti sebagian.
Di atas ini merupakan penjelasan menurut prespektif pendapat yang mengakui pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dhalalah, yang itu adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i ra yang banyak diikuti oleh kalangan pesantren. Adapun menurut prespektif pendapat yang menganggap semua bid’ah adalah dhalalah tanpa terkecuali, mereka memahami kata bid’ah pada ungkapan Umar tersebut sebagai bid’ah secara bahasa bukan istilah[6]. Adapun kebolehan melakukannya, karena ia dipayungi oleh syari’at yang bersifat umum, sehingga bagi mereka apa yang dilakukan Umar itu tidak tergolong bid’ah secara istilah. Oleh sebab itu mereka tidak memberlakukannya sebagai mukhashshish bagi hadits bid’ah.
Walhasil, masing-masing dari dua kelompok tersebut sama-sama memahami kull berarti semua, seluruh, atau segala. Hanya bedanya, kelompok pertama memberlakukan takhshîsh atasnya sementara kelompok kedua tidak. Wallâhu a’lam[]
05 Dzul Qa’dah 1436 H
Azizi Fathoni K
[1] al-Jurjani, at-Ta’rîfât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1983), 186.
[2] Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, nomor hadits
7280; Musnad Ahmad, Ahmad bin Hambal, nomor hadits 8713; Shahih Ibn
Hibban, Ibnu Hibban, nomor hadits 17; al-Mustadrak, al-Hakim,
nomor hadits 182.
[3] Lihat Taqiyuddin al-Nabhani,
al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah,
vol 1 (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003), 252.
[4] Muhammad bin Ismail
al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, nomor hadits 2010; Ibnu Khuzaimah, Shahih
Ibn Khuzaimah, nomor hadits 1100; Malik bin Anas, al-Muwaththa’, nomor
hadits 279; al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, nomor hadits 3269.
0 comments:
Posting Komentar