Sahkah Khuthbah Jum’at yang Hanya Sekali?
Tanya:
Tadi siang saya sholat jumat, si khotib lupa baca kuthbah hanya 1 kali (tanpa duduk di kuthbah kedua) setelah itu sholat jumat dilaksanakan seperti biasa 2 rakaat. Kemudian, setelah sholat jumat selesai pak modin mengumumkan bahwa shalat jumat yang barusan dilaksanakan tidak sah hukumnya dan harus diganti sholat dzuhur. al hasil jama'ah terpecah ada yang sholat jumat ada yang langsung ngloyor pulang. Yang saya tanyakan ketika rukun khutbah dan syarat wajib tidak dipenuhi apakah sholat jumat diulang dari awal, atau cukup sujud sahwi atau diganti shalat zhuhur? syukron
Penanya: Nama dirahasiakan - Sidoarjo
Jawab:
Sebenarnya permasalahan tersebut sudah menjadi pembahasan para ‘ulama di masa lalu. Yaitu tentang apakah khuthbah jumu’ah termasuk syarat sahnya shalat jumu’ah atau bukan, dan apakah khuthbah jumu’ah disyaratkan harus dua kali atau boleh hanya sekali saja.
Di antara ‘ulama yang menganggap khuthbah jumu’ah bukan merupakan syarat sahnya jumu’ah, mereka adalah yang disebutkan oleh An-Nawawi dalam kitab Syarah atas Shahih Muslim nya berikut ini.
وعن الحسن البصري وأهل الظاهر ورواية بن الماجشون عن مالك أنها تصح بلا خطبة
“…, dari Al-Hasan Al-Bashri, pengikut madzhab Azh-Zhahiri, dan riwayat Ibn Al-Majisyun dari Malik bin Anas bahwa shalat jumu’ah tanpa khuthbah adalah sah.” (Syarh An-Nawawî ‘alâ Muslim, 6/150)
Sementara ‘ulama lainnya -dan mereka mayoritas-, yang berpendapat bahwa khuthbah termasuk syarat sah daripada shalat jumu’ah, adalah yang disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni nya berikut ini.
... أَنَّهُ يُشْتَرَطُ لِلْجُمُعَةِ خُطْبَتَانِ وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ . وَقَالَ مَالِكٌ ، وَالْأَوْزَاعِيُّ ، وَإِسْحَاقُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ : يُجْزِيهِ خُطْبَةٌ وَاحِدَةٌ
“Bahwasannya disyaratkan dua khutbah dalam shalat jum’at, ini pendapat Asy-Syafi’i. Sementara Malik, Al-Auza’iy, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan ashhabur-ra’yi (kalangan Hanafiyah) berkata: (shalat Jum’at) sah hanya dengan satu kali khutbah.” (Al-Mughni, 4/119)
Hanya saja -sebagaimana disebutkan Ibnu Qudamah di atas- kelompok kedua ini berbeda pendapat lebih lanjut dalam hal; apakah syarat sahnya khuthbah harus dilakukan dua kali, ataukah cukup sekali.
Adapun menurut kami, pendapat terkuat dalam perkara ini adalah bahwa khuthbah merupakan syarat sah shalat jumu’ah, dan disyaratkan khuthbah dilakukan dua kali. Ini sebagaimana pendapat madzhab Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
واتفقت نصوص الشافعي وطرق الاصحاب على أن الجمعة لا تصح حتى يتقدمها خطبتان
“Telah bersepakat perkataan-perkataan Asy-Syafi’i langsung dan jalan-jalan periwayatan para pengikut beliau (tentang pendapat beliau), bahwa shalat jumu’ah tidak sah hingga didahului dengan dua khuthbah.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 4/513)
Kami mendasarkan penguatan atas pendapat ini pada fi’lu-r-Rasuul (perbuatan Rasulullah Muhammad saw) yang dalam ibadah jumu’ah selalu menyertakan khuthbah dua kali sebelum shalat. Banyak riwayat yang menyebutkan hal ini, diantaranya adalah:
عن ابن عباس رضي الله عنه قال : إن النبي - صلى الله عليه وسلم -كان يخطب يوم الجمعة خطبتين يفصل بينهما بجلسة . رواه البزار وأحمد وأبو يعلى، ورواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح
Dari Ibnu Abbas ra, berkata: Sesungguhnya Nabi Muhammad saw berkhuthbah pada hari jumu’ah dengan dua kali khuthbah, yang keduanya dipisahkan oleh sekali duduk. (HR. Al-Bazzar, Ahmad, dan Abu Ya’la, diriwayatkan pula Ath-Thabarani dan para perawinya para perawi hadits shahih)
عن ابن عمر رضي الله عنه قال : كان النبي - صلى الله عليه وسلم - يخطب قائماً، ثم يقعد ثم يقوم كما تفعلون الآن . رواه البخاري ومسلم
Dari Ibnu Umar ra, berkata: Adalah Nabi Muhammad saw berkhuthbah dengan berdiri, kemudian beliau duduk, lalu berdiri lagi sebagaimana yang kalian lakukan saat ini. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
عن جابر بن سمرة يقول : كان النبي صلى الله عليه و سلم يجلس بين الخطبتين يوم الجمعة ويخطب قائما وكانت صلاته قصدا وخطبته قصدا ويقرأ آيات من القرآن على المنبر . رواه أحمد . تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح لغيره وهذا إسناد حسن من أجل سماك
Dari Jabir bin Samurah ra, berkata: Adalah Nabi Muhammad saw duduk di antara dua khuthbah pada hari jumu’ah, dan beliau berkhuthbah sambil berdiri. Dan adalah shalat beliau dilakukan dengan sengaja, dan khuthbah beliau dilakukan dengan sengaja, dan beliau membaca ayat-ayat Al-Qur’an di atas mimbar. (HR Ahmad – komentar Syu’aib Al-Arna’uth: Shahih li-ghairihi, sementara ini adalah isnad Hasan semata-mata dikarenakan seorang perawi bernama Sammak)
Rasulullah saw yang senantiasa ber-mulâzamah (konsisten dan selalu) melakukan khuthbah setiap sebelum shalat jumu’ah tersebut menunjukkan bahwa khuthbah jumu’ah adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Jika memang tidak wajib, niscaya Beliau menjelaskannya di sebagian sabda Beliau atau meninggalkannya di kesempatan-kesempatan tertentu tanpa ada 'udzur (halangan), sebagaimana yang Beliau lakukan dalam qiyam Ramadhan (shalat Tarawih) berjama’ah. Setelah mendengar para sahabat bertanya-tanya kenapa Beliau tidak qiyam Ramadhan berjamaah di malam ke-empat, Beliau bersabda:
وإنه لم يمنعني أن أنزل إليكم إلا مخافة أن يفترض عليكم قيام هذا الشهر . رواه أحمد
“… Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk shalat tarawih berjama’ah bersama kalian melainkan kekhawatiran akan diwajibkannya (dianggapnya wajib) qiyam Ramadhan ini atas kalian.” (HR Ahmad - Shahih)
Namun Rasulullah saw tidak melakukan hal tersebut terkait khuthbah jumu’ah ini, sehingga ini menunjukkan akan wajibnya ia. Asy-Syaikh Az-Zuhailiy menjelaskan:
والمواظبة دليل الوجوب
"Dan Muwazhabah (kekonsistenan/kedisiplinan) merupakan bukti yang menunjukkan kewajiban." (Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, 2/265)
Juga diperkuat oleh Hadits shahih yang menjelaskan sebab diturunkannya ayat 11 dari surat Al-Jumu’ah berikut ini.
عن جابر بن عبد الله قال : بينما النبي صلى الله عليه وسلم يخطب يوم الجمعة، فقدمت عيرٌ إلى المدينة، فابتدرها أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم، حتى لم يبق مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا اثنا عشر رجلا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: والذي نفسي بيده، لو تتابعتم حتى لم يبق منكم أحد، لسال بكم الوادي النار فنزلت هذه الآية : وإذا رأوا تجارة أو لهوا انفضوا إليها وتركوك قائما (الجمعة : 11) وقال : في الاثني عشر الذين ثبتوا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم أبو بكر و عمر. رواه أبو يعلى . قال حسين سليم أسد : إسناده صحيح
Dari Jabir bin Abdillah berkata: Ketika Nabi saw berkhuthbah di hari Jumu’ah, datanglah serombongan pedagang ke Madinah, maka bergegaslah para Sahabat Nabi menghampirinya, hingga tidak tersisa di sisi Rasulullah saw kecuali dua belas orang saja. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian semua ikut sampai tidak tersisa seorangpun (mendengarkan khuthbah) niscaya akan mengalir api di lembah ini atas kalian.” Lalu turunlah ayat ini: وإذا رأوا تجارة أو لهوا انفضوا إليها وتركوك قائما ... (dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). …) (Al-Jumu’ah 11). Jabir bin Abdillah berkata: di antara dua belas orang yang tetap bersama Rasulullah saw itu adalah Abu Bakar dan Umar. (HR Abu Ya’la – Husain Salim Asad berkata: isnadnya shahih)
Hadits di atas memberitakan ancaman adzab jika sampai tidak ada seorangpun yang mendengarkan khuthbah jumu’ah. Hal ini menunjukkan secara dalâlatu-l-iltizâm (penunjukan yang selalu menyertai) akan wajibnya keberadaan khuthbah itu sendiri. Sebagaimana perintah wajibnya menaati ulil amri dalam surat An-Nisa’ 59, secara dalâlatu-l-iltizâm juga mewajibkan keberadaan ulil amri itu sendiri.
Dua dasar di atas sudah cukup untuk membuktikan akan wajibnya khuthbah jumu’ah, dan kedudukannya sebagai syarat sah.
Hadits-hadits di atas tadi juga menunjukkan wajibnya khuthbah dilakukan dua kali. Itu karena nash-nash tersebut mengandung mafhûmu-l-‘adad (pemahaman terhadap jumlah tertentu), mengingat juga bahwa khuthbah Rasulullah saw dilakukan secara sengaja (وخطبته قصدا), maka aktivitas duduk Beliau di antara dua khuthbah juga merupakan kesengajaan, bukan karena alasan tertentu, semacam sakit, istirahat, dsb. Berdasarkan ini maka khuthbah yang dilakukan dua kali secara konsisten dan selalu tersebut menandakan larangan terhadap jumlah selain itu. Misalnya menjadikan khuthbah berjumlah tiga kali dengan dua kali duduk, atau menjadikannya empat kali dengan tiga kali duduk, atau seterusnya. Termasuk juga tidak bisa menjadikannya satu kali tanpa duduk.
Inilah yang menjadi alasan kami untuk mengatakan bahwa tidak sah shalat jumu’ah tanpa ada khuthbah, dan tidak sah khuthbah tanpa dilakukan dua kali. Sehingga apabila dijumpai shalat jumu’ah yang khuthbahnya hanya sekali, maka khuthbah tersebut terhitung tidak sah, dan untuk selanjutnya tidak sah pula shalatnya. Jika demikian yang berlaku, maka jama’ah yang mengikuti atau sependapat dengan pendapat ini hendaknya mengulang kembali khuthbah dan shalat jumu’ah nya selama masih memungkinkan (waktu belum habis dan jumlah terpenuhi). Jika tidak memungkinkan maka menggantinya dengan shalat Zhuhur. Ibnu Qudamah menuliskan:
فمتى صلوا جمعة مع اختلال بعض شروطها ، لم يصح ، ولزمهم أن يصلوا ظهرا
“… Ketika mereka shalat jumu’ah dengan adanya kekosongan pada sebagian syarat-syaratnya, maka dianggap tidak sah, dan mereka diharuskan shalat zhuhur.” (Al-Mughni, 3/172)
Tidak bisa dengan melakukan sujud sahwi setelah raka’at ke-dua, karena sujud sahwi dilakukan manakala terlewatkan sebagian rukun atau kewajiban dalam sholat tanpa sengaja, sementara terlewatkannya rukun khuthbah tidak termasuk di dalamnya dan khuthbah jumu’ah tidak setara dengan dua raka’at Zhuhur menurut pendapat yang terkuat. Wallâhu A’lam
Malang, 03 Rajab 1433 H
Abu Shulha Azizi Ash-Shiddiqi
0 comments:
Posting Komentar