BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI SIKSA KUBUR?

Kamis, April 27, 2017
0
Tanggapan atas Tulisan KH. Muhammad Najih Maimoen: Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. Sub Bab: Konsep Mengingkari Siksa Kubur

Azizi Fathoni K.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

الْحَمْدُ لله وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ الله وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه . وَبَعْد

Sembari memohon ma’ûnah Allah ‘azza wa jalla, al-faqir katakan:

Pada bagian sub bab terkait kritik terhadap Hizbut Tahrir, Kyai Muhammad Najih Maimoen di antaranya juga menuliskan judul: Konsep Mengingkari Siksa Kubur[i] 

Sesuai dengan judul tersebut, Kyai Najih dalam paparannya menyebutkan bahwa Hizbut Tahrir telah mengingkari keberadaan siksa kubur, sembari beliau mengetengahkan bagaimana pandangan Ahlussunnah yang mengimaninya. Jelas ini akan memunculkan pada diri pembaca kesimpulan bahwa Hizbut Tahrir dalam isu ini telah menyelisihi Ahlussunnah alias bukan bagian dari mereka.

Tuduhan terhadap Hizbut Tahrir dalam hal ini beliau nyatakan secara tegas dalam dua paragraf berikut.

Pertama; paragraf di tengah paparan yang sekaligus mencantumkan apa yang beliau anggap sebagai “bukti” dalam tuduhannya, yaitu yang berbunyi:

"Pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur juga dijelaskan dalam buku al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir ketika menjelaskan hadits yang menyebutkan tentang siksa kubur. Menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam hadits tersebut adalah haram, karena haditsnya berupa hadits ahad, akan tetapi boleh membenarkannya. Bahkan salah seorang tokoh Hizbut Tahrir, yaitu Syaikh Umar Bakri pernah mengatakan dengan lucu dan kontradiktif: “Aku mendorong kalian untuk mempercayai adanya siksa kubur dan Imam Mahdi, namun barang siapa yang beriman kepada hal tersebut, maka ia berdosa."[ii]

Ke-Dua; paragraf pungkasan di akhir paparan dengan redaksi:

"Sudah barang tentu pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur karena alasan haditsnya termasuk hadits ahad dan bukan mutawatir, adalah tidak benar. Karena disamping adanya siksa kubur merupakan keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, juga hadits-hadits yang menerangkan adanya siksa kubur adalah hadits mutawatir ma’nan la lafdzon, dan bukan hadits ahad sebagaimana asumsi Hizbut Tahrir."[iii]

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap penulis, al-faqir katakan: Tuduhan tersebut tidak benar. Perlu diketahui bahwa Hizbut Tahrir tidak pernah menyatakan pengingkaran terhadap siksa kubur. Adapun terkait apa yang penulis sebutkan berupa kitab al-Dausiyyah dan kutipan perkataan al-Syaikh Umar Bakri, keduanya bukan merupakan sumber primer yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir alias tidak termasuk pendapat resmi Hizbut Tahrir. Terlepas dari benar tidaknya kutipan tersebut, dan apa yang menjadi maksudnya. Yang terbilang sebagai pendapat Hizbut Tahrir hanyalah apa saja yang diterbitkan oleh Hizbut Tahrir pusat, Hizbut Tahrir di tiap-tiap wilayah, kantor i’lami Hizbut Tahrir, jurubicara resmi Hizbut Tahrir, dan para representator i’lami Hizbut Tahrir. Selain itu terhitung sebagai pendapat penulisnya meskipun dipublikasikan melalui website Hizbut Tahrir[iv]. 

Pendapat Resmi Hizbut Tahrir Terkait Permasalahan

Adapun yang menjadi pendapat resmi Hizbut Tahrir terkait permasalahan ini, adalah sebatas prinsip-prinsip dasar. Yaitu berkenaan dengan karakter akidah, kriteria dalil yang mendasarinya, sikap terhadap hadits ahad, dan konsekwensi bagi orang yang mengingkari. Termaktub dalam kitab yang diadopsinya:

وَعَلَى هَذَا فَلَابُدَّ أَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلُ الْعَقِيْدَةِ يَقِيْنِيًّا أَيْ دَلِيْلاً قَطْعِيًّا ، لِأَنَّ الْعَقِيْدَةَ قَطْعٌ وَجَزْمٌ وَيَقِيْنٌ ، وَلَا يُفِيْدُ الْقَطْعَ وَالْجَزْمَ وَالْيَقِيْنَ إِلَّا الدَّلِيْلُ الْقَطْعِيُّ . وَلِهَذَا لَابُدَّ أَنْ يَكُوْنَ قُرْآنًا أَوْ حَدِيْثًا مُتَوَاتِرًا عَلَى أَنْ يَكُوْنَ كُلٌّ مِنْهُمَا قَطْعِيَّ الدَّلَالَةِ . وَيَجِبُ أَخْذُهُ فِي الْعَقَائِدِ وَفِي الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ ، وَيُكَفَّرُ مُنْكِرُهُ وَمُنْكِرُ مَا دَلَّ عَلَيْهِ ، سَوَاءٌ أَكَانَ عَقِيْدَةً أَمْ حُكْمًا شَرْعِيًّا .

"Berdasarkan hal tersebut, maka dalil akidah haruslah meyakinkan atau dalil yang bersifat pasti. Sebab, akidah adalah kepastian, ketetapan, dan keyakinan. Dan tidak ada yang berfaidah kepastian, ketetapan, dan keyakinan kecuali dalil yang bersifat pasti. Maka dari itu, ia harus berupa al-Qur`an dan hadits mutawatir dengan syarat masing-masing dari keduanya memiliki penunjukan arti yang tegas (qath’î dalâlah). Wajib hukumnya mengamalkannya di bidang akidah dan hukum syari’at. Orang yang meningkarinya dan orang yang mengingkari makna yang ditunjukkannya akan dihukumi kafir, baik itu berupa akidah maupun hukum syari’at."[v]

Sedangkan untuk dalil yang tidak memenuhi kriteria sebagai dasar akidah, maka sikap Hizbut Tahrir adalah sebagaimana paragraf selanjutnya:

أَمَّا إِذَا كَانَ الدَّلِيْلُ خَبَرَ آحَادٍ فَإِنَّهُ لَا يَكُوْنُ قَطْعِيًّا ، فَإِنْ كَانَ صَحِيْحاً فَإِنَّهُ يُفِيْدُ غَلَبَةَ الظَّنِّ ، فَتُصَدَّقُ الْعَقَائِدُ الَّتِي جَاءَ بِهَا تَصْدِيْقاً ظَنِّيًّا ، لَا تَصْدِيْقًا جَازِمًا . وَلِهَذَا لَا يَجُوْزُ أَنْ تُعْتَقَدَ ، وَلَا أَنْ يُجْزَمَ بِهَا . لِأَن َّالْعَقِيْدَةَ قَطْعٌ وَجَزْمٌ ، وَخَبَرُ الْآحَادِ لَا يُفِيْدُ قَطْعًا وَلَا جَزْمًا ، وَإِنَّمَا يُفِيْدُ ظَنًّا ، وَلَا يُكَفَّرُ مُنْكِرُهُ ، وَلَكِنْ لَا يَجُوْزُ أَنْ يُكَذَّبَ ، لِأَنَّهُ لَوْ جَازَ تَكْذِيْبُهُ لَجَازَ تَكْذِيْبُ جَمِيْعِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْمَأْخُوْذَةِ مِنَ الْأَدِلَّةِ الظَّنِّيَّةِ ، وَلَمْ يَقُلْ بِذَلِكَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ .

"Adapun apabila dalil tersebut berupa hadits ahad maka ia tidak bersifat pasti. Jika shahih maka ia berfaidah dugaan kuat, sehingga perkara akidah yang dikandungnya patut dibenarkan dengan pembenaran yang bersifat zhanni (asumtif), bukan pembenaran yang bersifat jâzim (pasti). Karenanya ia tidak boleh diyakini dan tidak pula dipastikan kebenarannya (sebagai bagian dari akidah –penj.). Karena akidah adalah kepastian, sementara hadits ahad tidak berfaidah kepastian. Ia hanyalah berfaidah dugaan. Dan orang yang mengingkari hadits ahad tidak dihukumi kafir. Namun ia tidak boleh didustakan, karena bila saja boleh mendustakannya niscaya boleh juga mendustakan seluruh hukum-hukum syari’at yang diambil dari dalil-dalil zhanni. Sementara tidak ada seorangpun di antara kaum muslim berpendapat demikian."[vi]

Dua ‘ibarat di atas sudah cukup menunjukkan bagaimana sikap Hizbut Tahrir dalam berakidah dan dalam menerima dalil-dalil syara’ yang memberitakan perkara ghaib (al-mughayyabât). Yaitu antara:

Pertama; Apabila dalilnya bersifat qath’i (pasti), berupa al-Qur`an dan hadits mutawatir, maka perkara ghaib yang diberitakannya terhitung sebagai akidah. Di mana pembenaran terhadapnya bersifat pasti, meyakinkan, bulat, total, sempurna, mutlak, atau kata apapun yang mewakilinya. Dengan indikasi menghukumi orang yang mengingkarinya sebagai kafir karena berarti telah mengingkari perkara qath’i yang tergolong akidah.

ke-Dua; Apabila dalilnya bersifat zhanni (asumtif), berupa hadits ahad, maka perkara ghaib yang diberitakannya tidak terhitung sebagai akidah. Pembenaran terhadapnya sebatas bersifat dugaan, asumtif, persangkaan, atau istilah lain yang semakna. Dengan indikasi tidak sampai menghukumi orang yang mengingkarinya sebagai kafir, melainkan sebatas berdosa, bermaksiat, atau fasik, karena belum terbilang mengingkari perkara qath’i yang tergolong akidah.

Konsep yang diadopsi Hizbut Tahrir ini sejalan dengan pandangan Jumhur 'Ulama yang diterangkan oleh al-Syaikh Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou dalam kitabnya al-Wajîz fî Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmî. Silahkan membacanya dengan seksama sambil mencermati point-point: karakter Akidah, kriteria dalil yang mendasarinya, sikap terhadap Hadits Ahad, dan konsekwensi bagi orang yang mengingkari.

الْعَقِيْدَةُ وَخَبَرُ الْوَاحِدِ
ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ لَا يُعْمَلُ بِهِ فِي الْعَقَائِدِ ، وَلَيْسَ هَذَا لِأَنَّهُمْ يَرُدُّوْنَ خَبَرَ الْوَاحِدِ أَوْ يُنْكِرُوْنَ الْعَمَلَ بِهِ ، فَقَدْ ذَكَرْنَا الْاِتِّفَاقَ عَلَى وُجُوْبِ الْعَمَلِ بِهِ ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِاصْطِلَاحٍ خَاصٍّ بِهِمْ فِي الْعَقَائِدِ . لِأَنَّهُمْ يَرَوْنَ أَنَّ الْعَقِيْدَةَ هِيَ الَّتِي تُمَيِّزُ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْإِيْمَانِ ، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُوْنَ إِلَّا عَنْ عِلْمٍ ، وَهُوَ الْاِدْرَاكُ الْجَازِمُ الْمُطَابِقُ لِلْوَاقِعِ عَنْ دَلِيْلٍ ، وَهَذَا غَيْرُ مُتَوَفِّرٍ فِي خَبَرِ الْوَاحِدِ ، لِأَنَّهُ لَا يُفِيْدُ إِلَّا الظَّنَّ ، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ لَا يُسَمَّى عَقِيْدَةً ، وَمِنْ ثَمَّ لَا يُكَفَّرُ جَاحِدُهُ بِالْاِتِّفَاقِ . وَالْعَقِيْدَةُ لَا تَكُوْنُ إِلَّا عَنْ عِلْمٍ ، وَهَذَا لَا يَتَوَفَّرُ إِلَّا فِي الْخَبَرِ الْقَطْعِيِّ ، وَلِذَلِكَ يُحْكَمُ بِكُفْرِ مُنْكِرِ أَيِّ جُزْئِيَّةٍ مِنْ جُزْئِيَّاتِ الْعَقِيْدَةِ ، لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ لِمَعْلُوْمٍ لَا لِمَظْنُوْنٍ . وَأَمَّا مَا وَرَدَ مِنْ أَخْبَارِ الْآحَادِ فِي شَأْنِ الْمُغَيَّبَاتِ ، كَعَذَابِ الْقَبْرِ ، وَالْحَوْضِ ، وَالصِّرَاطِ ، وَالشَّفَاعَةِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُوْرِ الْكَثِيْرَةِ الَّتِي شَحَنَتْ بِهَا كُتُبُ الْعَقِيْدَةِ عِنْدَ الْأَشَاعِرَةِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ ، فَيَجِبُ الْإِيْمَانُ بِهَا ، وَيُفَسَّقُ جَاحِدُهَا ، لِأَنَّهُ خَبَرُ وَاحِدٍ يَجِبُ الْعَمَلُ بِمُقْتَضَاهُ . إِلَّا أَنَّنَا لَا نَحْكُمُ بِكُفْرِ جَاحِدِهِ أَوْ مُؤَوِّلِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْكِرْ شَيْئًا مِنَ الْعَقِيْدَةِ الثَّابِتَةِ بِالْقَوَاطِعِ . وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ لَمْ نُكَفِّرْ الْمُعْتَزِلَةَ فِي إِنْكَارِهِمْ لِكَثِيْرٍ مِنَ الْمُغَيَّبَاتِ وَتَأْوِيْلِهَا مِمَّا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ ظَنِّيٍّ ، وَإِنَّمَا حَكَمْنَا عَلَيْهِمْ بِالْفِسْقِ .

"Akidah dan Hadits Ahad
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits ahad tidak digunakan dalam perkara-perkara akidah. Itu bukan berarti karena mereka menolak hadits ahad atau mengingkari penggunaannya. Telah kami sebutkan sebelumnya perihal adanya konsensus (ijmak) akan wajibnya mengamalkannya. Hal itu tadi tidak lain karena istilah khusus menurut mereka mengenai apa itu akidah. Sebab mereka memandang bahwa akidah merupakan perkara yang membedakan antara kufur dan iman. Sehingga jika demikian halnya maka ia tidak mungkin terealisasi kecuali hanya dari keyakinan (‘ilm). Yaitu pengetahuan pasti yang sesuai dengan realita berdasarkan dalil. Dan hal ini tidak terpenuhi dalam hadits ahad, karena ia tidak berfaidah kecuali hanya dugaan. Jika memang demikian maka ia tidak disebut sebagai akidah, dan untuk selanjutnya orang yang mengingkarinya tidak dihukumi kafir menurut kesepakatan ulama. Akidah tidak dapat terealisasi kecuali berdasarkan keyakinan, dan ini tidak terpenuhi kecuali pada hadits yang bersifat pasti (qaht’i). Oleh karenanya orang yang mengingkari bagian apapun di antara bagian-bagian akidah yang ada akan dihukumi kafir, karena ia telah mengingkari perkara pasti, bukan perkara asumtif. Adapun apa saja yang diriwayatkan berupa hadits ahad dalam permasalahan-permasalahan ghaib, seperti siksa kubur, haudh, shirath, syafa’at, dan banyak perkara lainnya yang memenuhi kitab-kitab akidah menurut asy’ariyyah dan di luar mereka di antara Ahlussunnah, maka wajib mempercayainya dan menghukumi fasik orang yang mengingkarinya, karena ia hadits ahad yang wajib untuk diamalkan isinya. Hanya saja kita tidak menghukumi kafir orang yang mengingkarinya atau orang yang menakwilkannya, karena ia belum mengingkari suatu apapun dari akidah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’i. Berdasarkan hal ini, kita tidak menghukumi kafir kelompok Muktazilah terkait pengingkaran mereka terhadap banyak perkara ghaib serta penakwilannya, di antara apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni. Kita hanya menghukumi mereka fasik."[vii]

Membenarkan Siksa Kubur Menurut Dalilnya

Tinggallah sekarang bagaimana menerapkan konsep Hizbut Tahrir tersebut pada kasus siksa kubur. Maka al-faqir katakan: Di sini Hizbut Tahrir tidak sampai mengadopsi suatu pendapat terkait rinciannya. Namun dengan tidak diadopsinya rincian tersebut tidak kemudian dipahami berarti Hizbut Tahrir mengingkari siksa kubur, atau tidak punya sikap terhadap siksa kubur. Tidak. Kenapa? Karena cukup dengan melihat bahwa dalil siksa kubur banyak berupa hadits shahih saja, sebagaimana menurut sejumlah keterangan yang dikutip oleh Kyai Najih Maimoen, maka berdasarkan ketentuan yang diadopsinya tadi sudah barang tentu Hizbut Tahrir mewajibkan pembenaran (tashdîq) atau percaya (îmân) terhadap keberadaannya.

Sampai di sini terbukti bahwa tuduhan Hizbut Tahrir mengingkari siksa kubur adalah keliru dan fitnah belaka.

Sementara yang al-faqir maksud belum mengadopsi rinciannya di atas, adalah terkait apakah derajat pembenaran di situ mencapai derajat pasti (tashdîqan jâziman) yang pengingkarnya dihukumi kafir; ataukah sebatas dugaan atau dugaan kuat (tashdîqan zhanniyyan) yang pengingkarnya tidak sampai kafir, melainkan dosa atau fasik. Hal itu berpulang pada penilaian terhadap tingkat kevalidan hadits-hadits siksa kubur itu sendiri. Apakah dinilai sudah mencapai derajat mutawâtir ma’nan (lâ lafzhan) sehingga meniscayakan ‘ilm (kepastian, keyakinan); ataukan masih dalam batasan ahad sehingga meniscayakan zhann (dugaan) atau ghalabat zhann (dugaan kuat).

Di sinilah Hizbut Tahrir memberi kelonggaran kepada para anggota-nya untuk memilih mana di antara keduanya yang dipandang lebih tepat, mengingat juga adanya perbedaan pendapat yang muktabar tentangnya. Ada sebagian ulama yang menilainya sudah mencapai mutawâtir ma’nan lâ lafzhan sebagaimana yang telah dikutip oleh Kyai Najih Maimoen dalam tulisannya. Dan ada juga yang menilainya masih dalam batasan ahad sebagaimana keterangan al-Syaikh Hasan Hitou saat menjelaskan pendapat jumhur ulama di atas.

Di antara jumhur tersebut ada Syamsul A`immah al-Sarakhsi al-Hanafi (w. 483 H), yang menyatakan dalam kitab usulnya (Ushûl al-Sarakhsî):

ثُمَّ قَدْ يَثْبُتُ بِالْآحَادِ مِنَ الْأَخْبَارِ مَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ فِيْهِ الْعِلْمَ فَقَطْ ، نَحْوُ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَسُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيْرٍ ، وَرُؤْيَةِ اللهِ تَعَالَى بِالْأَبْصَارِ فِي الْآخِرَةِ ، فَبِهَذَا وَنَحْوِهِ يَتَبَيَّنُ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ مُوْجِبٌ لِلْعِلْمِ . وَلَكِنَّا نَقُوْلُ : هَذَا الْقَائِلُ كَأَنَّهُ خُفِيَ عَلَيْهِ الْفَرْقُ بَيْنَ سُكُوْنِ النَّفْسِ وَطُمَأْنِيْنَةِ الْقَلْبِ وَبَيْنَ عِلْمِ الْيَقِيْنِ . فَإِنَّ بَقَاءَ احْتِمَالِ الْكَذِبِ فِي خَبَرِ غَيْرِ الْمَعْصُوْمِ مُعَايِنٌ لَا يُمْكِنُ إِنْكَارُهُ ، وَمَعَ الشُّبْهَةِ وَالْاِحْتِمَالِ لَا يَثْبُتُ الْيَقِيْنُ ، وَإِنَّمَا يَثْبُتُ سُكُوْنُ النَّفْسِ وَطُمَأْنِيْنَةُ الْقَلْبِ بِتَرَجُّحِ جَانِبِ الصِّدْقِ بِبَعْضِ الْأَسْبَابِ . وَقَدْ بَيَّنَّا فِيْمَا سَبَقَ أَنَّ عِلْمَ الْيَقِيْنِ لَا يَثْبُتُ بِالْمَشْهُوْرِ مِنَ الْأَخْبَارِ بِهَذَا الْمَعْنَى فَكَيْفَ يَثْبُتُ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ؟

"Lalu ada kalanya terdapat perkara-perkara tertentu yang ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad yang hukum di dalamnya hanya keyakinan saja. Seperti siksa kubur, pertanyaan Munkar-Nakir, melihat Allah dengan mata telanjang di akhirat. Maka berdasarkan ini dan yang semacamnya menjadi jelas bahwa hadits ahad meniscayakan keyakinan. Akan tetapi kami (al-Imam al-Sarakhsi) katakan: Orang yang berkata demikian itu seolah-olah belum jelas baginya perbedaan antara ketenangan jiwa, ketentraman hati, dan antara keyakinan pasti. Bahwa adanya kemungkinan salah pada hadits yang diriwayatkan perawi yang tidak ma’shum adalah perkara yang terindera yang tidak mungkin diingkari. Dan dengan adanya syubhat serta kemungkinan salah tersebut maka keyakinan tidak dapat terealisasi. Yang ada hanyalah ketenangan jiwa dan ketentraman hati, berdasarkan lebih menonjolnya aspek benarnya dikarenakan sejumlah sebab. Kami telah menjelaskan pada kesempatan yang lalu bahwa keyakinan pasti tidak dapat terealisasi dengan hadits masyhur karena alasan ini, lantas bagaimana bisa itu terealisasi dengan hadits ahad?"[viii]

Dalam ‘ibarat-nya tersebut al-Imam al-Sarakhsi terlihat meng-iya-kan dan tidak mengingkari akan ke-ahad-an hadits-hadits siksa kubur. Melainkan justru meyakinkan perihal bahwa pembenaran terhdapnya sebatas menimbulkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati, tidak sampai keyakinan pasti.

Dan di antara jumhur juga ada al-Imam al-Hafizh Zainuddin Abdur Rahim al-‘Iraqi (w. 806 H), yang mengatakan:

(الْعَاشِرَةُ) فِيْهِ إثْبَاتُ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَهْلِ الْحَقِّ خِلَافًا لِلْمُعْتَزِلَةِ ، وَقَدْ اشْتَهَرَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ حَتَّى كَادَتْ أَنْ تَبْلُغَ حَدَّ التَّوَاتُرِ ، وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ .

"Ke-Sepuluh: di dalamnya (hadits yang sedang disyarah, -penj.) terdapat penetapan adanya siksa kubur, dan ini merupakan madzhab ahlul haq, berbeda dengan Muktazilah. Sungguh telah masyhur hadits-hadits tentangnya hingga hampir mencapai batas ke-mutawatir-an. Dan mempercayainya adalah wajib."[ix]

Beliau menyebut hadits siksa kubur masih dalam batasan masyhur meski sudah di ambang batas kemutawatiran. Dan masyhur dalam istilah jumhur masih terkategori ahad dengan faidah ghalabat zhann (dugaan kuat/sangat kuat). Belum mencapai derajat ‘ilm (keyakinan pasti) betapapun sangat kecil dan nyaris hilang sudah kemungkinan salahnya. Mengingat bahwa zhann itu bertingkat, dimana sebagian zhann adalah lebih kuat dari sebagian lainnya. al-Qadhi Abu Ya’la al-Hambali (w. 458 H) menerangkan:

وَغَلَبَةُ الظَّنِّ : قُوَّةُ الظَّنِّ ، فَإِنَّ الظَّنَّ يَتَزَايَدُ ، وَيَكُوْنُ بَعْضُ الظَّنِّ أَقْوَى مِنْ بَعْضٍ .

"Ghalabatuzh-zhann adalah kuatnya dugaan, karena sesungguhnya dugaan itu bertingkat-tingkat, di mana sebagian dugaan lebih kuat dari sebagian lainnya."[x]

Sebagai indikasi bahwa sebagian ulama tidak sampai menganggapnya mutawatir adalah masih dianggapnya pengingkarnya sebagai bagian dari umat Islam, belum sampai dianggap kafir. Misalnya apa yang dikatakan oleh al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) ini:

قَوْلُهُمْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ . وَاخْتَلَفُوْا فِي عَذَابِ الْقَبْرِ : فَمِنْهُمْ مَنْ نَفَاهُ وَهُمُ الْمُعْتَزِلَةُ وَالخَوَارِجُ ، وَمِنْهُمْ مَنْ أَثْبَتَهُ وَهُمْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْإِسْلَامِ ، وَمِنْهُمْ ...

"Pendapat Mereka (umat Islam) tentang Siksa Kubur. Mereka telah berbeda pendapat dalam perkara siksa kubur. Di antara mereka ada yang menegasikannya, mereka adalah kaum Muktazilah dan Khawarij. Di antara mereka ada yang membenarkan keberadaannya, mereka adalah mayoritas umat Islam. Dan di antara mereka ..."[xi]

Perihal tidak sampai kafirnya Muktazilah dan Khawarij di antaranya juga dinyatakan oleh al-Imam Abu Manshur Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H) dalam kitabnya al-Farq baynal Firaq, saat menjelaskan kategorisasi umat Islam[xii].

Sampai di sini juga terbukti bahwa anggapan Kyai Najih Maimoen tentang ke-ahad-an dalil siksa kubur hanya sekedar asumsi Hizbut Tahrir semata, adalah tidak benar. Yang benar, Hizbut Tahrir tidak sampai mengadopsi mana di antara mutawatir atau ahad. Sementara di antara ulama Ahlussunnah sendiri banyak yang mengakui akan ke-ahad-annya.

Walhasil, apa yang dituduhkan Kyai Najih Maimoen terhadap Hizbut Tahrir bahwa ia telah mengingkari siksa kubur dengan alasan haditsnya ahad adalah tidak benar, dan termasuk fitnah yang berpotensi menjadikan memar dan retak Ukhuwwah Islamiyyah antar sesama muslim. Selain juga dapat melenyapkan pahala amalan yang sudah dengan susah payah dikumpul dan usahakan. wal 'iyâdzu billâh

Oleh karananya menurut al-faqir perlu kiranya Kyai Najih membuat klarifikasi umum untuk meluruskan kesalahan atas tuduhan-tuduhan beliau yang juga sudah tersebar secara umum.

Ghafarallâhu lî wa lahu wa li sâ`iril muslimîn, wa razaqanâ husnal khitâm... âmîn 

___________

[i] H. Muhammad Najih Maimoen. 2013. Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. (Rembang: Perc. Al-Anwar Sarang Rembang) hlm. 21

[ii] Ibid. hlm. 22-23

[iii] Ibid. hlm. 25-26

[iv] Lihat: http://www.hizb-ut-tahrir.info/ . Di website Maktab I'lami Hizbut Tahrir Pusat keterangan tersebut berbunyi:

فقط إصدارات حزب التحرير، الولايات، المكاتب الإعلامية، الناطقين الرسميين والممثلين الإعلاميين لحزب التحرير تعبر عن رأي الحزب، وما عدا ذلك فهو يعبر عن رأي كاتبه وإن نشر في مواقع حزب التحرير .

Lihat: http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/

[v] Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah). vol. 1 hlm. 192

[vi] Ibid.

[vii] Muhammad Hasan Hitou. 1990. al-Wajîz fî Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmî. Cet. 3. (Beirut: Mu`assasah al-Risalah). hlm. 324-326

[viii] Ahmad bin Abu Sahal al-Sarakhsi. 1993. Ushûl al-Sarakhsî. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah). vol. 1 hlm. 329

[ix] Zainuddin Abdur Rahim al-‘Iraqi. t.t. Tharh al-Tatsrîb fî Syarh al-Taqrîb. (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi). vol. 3 hlm. 111

[x] Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain. 1993. al-‘Uddah fî Ushûl al-Fiqh. Cet. III. (Riyadh: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah). hlm. 83

[xi] Abu al-Hasan al-Asy’ari. 2005. Maqâlât al-Islâmiyyîn. (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah). vol. 2 hlm. 318

[xii] Lihat Abdul Qahir al-Baghdadi. 1993. al-Farq bayn al-Firaq. Cet. 2. (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah). hlm. 11

0 comments:

Posting Komentar