Hak Istri dalam Membelanjakan Harta Miliknya

Rabu, September 02, 2015
0
Tanya:
Saya pernah membaca sebuah hadits yang menyebutkan bahwa seorang Istri wajib meminta izin kepada suaminya jika hendak membelanjakan hartanya sendiri. Shahihkah hadits tersebut dan jika shahih bagaimana penerapannya? Bagaimanakah pendapat Imam Syafi’i dalam hal ini?
(Penanya: FLV - Malang)

 
Jawab: 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Memang ada hadits yang menyebutkan demikian, yang secara zhahir lafazhnya memunculkan pemahaman bahwa seorang istri harus meminta izin kepada suaminya jika hendak membelanjakan hartanya sendiri. Terdapat beberapa redaksi yang intinya sama, salah satu di antaranya adalah:

« لَا يَجُوزُ لِامْرَأَةٍ عَطِيَّةٌ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا »

“Tidak boleh bagi seorang wanita mengeluarkan suatu pemberian kecuali atas seizin suaminya.” (HR. Ahmad[i], al-Nasai[ii], dan Abu Dawud[iii])

Redaksi ini merupakan potongan dari hadits agak panjang berisikan khutbah Nabi saw setelah peristiwa fathul Makkah. Disuguhkan secara utuh oleh al-Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad nya.

Secara kualitas, hadits ini tergolong kuat. Menurut penilaian al-Imam Abu Dawud semua perawinya adalah perawi kredibel kecuali Amru bin Syu’aib, dan Amru bin Syu’aib sendiri merupakan perawi yang dianggap kredibel oleh al-Imam al-Tirmidzi. Di mana beliau terbukti menshahihkan sejumlah haditsnya. al-Imam al-Syaukani juga memberi keterangan bahwa hadits Amru bin Syu’aib tergolong hasan[iv].

Hadits ini tidak dikomentari oleh al-Imam Abu Dawud, dan sudah dimaklumi bahwa sikap diam beliau terhadap hadits yang beliau riwayatkan sendiri berarti anggapan bahwa ia tidak bermasalah. Karena beliau terkenal sebagai seorang ulama jarh wa ta’dîl yang apabila meriwayatkan suatu hadits yang bermasalah, beliau akan mengomentari atau memberi keterangan akan kelemahannya. Dan jika tidak mengomentari maka itu menunjukkan ketidak-bermasalahan hadits tersebut. Yang terakhir inilah yang terjadi pada hadits yang sendang dibahas di atas. al-Imam al-Hakim juga meriwayatkan dalam al-Mustadrak nya dengan perbedaan tipis pada redaksinya seraya memberi keterangan: sanadnya shahih meski tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim[v], keshahihan riwayat al-Hakim ini juga disepakati oleh al-Imam al-Dzahabi dalam al-Talkhish nya[vi].

Selain itu hadits di atas oleh sebagian kalangan fuqaha juga digunakan sebagai landasan yang mendukung pendapat wajibnya seorang istri meminta izin kepada suami dalam membelanjakan hartanya, sebagaimana juga tidak disisihkan begitu saja oleh para fuqaha yang menyelisihi pendapat tersebut. Di mana mereka tetap menerimanya tapi dengan memahaminya secara berbeda. Ini semua menunjukkan bahwa hadits tersebut terhitung maqbûl, baik di mata ulama hadits maupun menurut ulama fiqh.

Dari segi pengambilan hukum, sebagaimana telah kami isyaratkan di atas, para ulama telah berbeda pendapat ke dalam dua pendapat.

Pendapat pertama mengatakan wajib bagi seorang istri meminta izin kepada suaminya jika hendak membelanjakan hartanya meski harta tersebut adalah harta si istri sendiri. Pendapat pertama ini terbagi lagi, ada yang memutlakkan berapapun harta yang dibelanjakan tersebut kecuali barang yang tidak berharga sama sekali, ini adalah pendapat al-Imam al-Laits; dan ada yang bersyarat yaitu jika harta yang dibelanjakan tersebut melebihi sepertiga dari keseluruhan harta sang istri sendiri, dan ini adalah pendapat al-Imam Malik bin Anas dan Thawus.

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat mayoritas ulama, menyatakan bahwa seorang istri tidak wajib izin suaminya dalam membelanjakan harta pribadinya, kecuali jika wanita tersebut lemah akalnya (bodoh atau idiot).[vii]

Perbedaan di atas muncul karena adanya nash-nash lain yang berjumlah banyak menunjukkan wanita tidak wajib izin suaminya dalam membelanjakan harta miliknya. Sebagai contoh adalah hadits muttafaq ‘alayhi berikut ini.

Diceritakan pernah suatu ketika Nabi saw bersama Bilal bin Rabah ra menghampiri kaum wanita seusai shalat ‘ied. Setelah menasehati mereka beliau bersabda:

« فَتَصَدَّقْنَ » ، فَبَسَطَ بِلَالٌ ثَوْبَهُ ... فَجَعَلْنَ يُلْقِينَ الْفَتَخَ ، وَالْخَوَاتِمَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ .

“Maka bersedekahlah kalian (kaum wanita)”. Lalu Bilal menggelar jubahnya, … merekapun kemudian melemparkan gelang-cincin (perhiasan) mereka ke jubah Bilal. (HR. al-Bukhari[viii], Muslim[ix])

al-Imam Malik mengkompromikan hadits-hadits yang seakan kontradiktif tersebut dengan mengatakan bahwa boleh tanpa izin suami selama harta yang dikeluarkan sedikit. Namun jika banyak maka wajib izin. Batas sedikit banyak adalah tidak melebihi sepertiga dari keseluruhan harta yang dimiliki istri. Sementara jumhur ulama, di antaranya al-Imam al-Syafi’i, mengkompromikannya dengan mengatakan sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Khaththabi yang dikutip oleh al-Sindi berikut.

وَهُوَ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ عَلَى مَعْنَى حُسْنِ العِشْرَةِ وَاسْتِطَابَةِ نَفْسِ الزَّوْجِ ، وَنُقِلَ عَن الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْحَدِيْثَ لَيْسَ بِثَابِتٍ وَكَيْفَ نَقُوْلُ بِهِ وَالْقُرآنُ يَدُلُّ عَلَى خِلَافِهِ ، ثُمَّ السُّنَّةُ ، ثُمَّ الْأَثَرُ ، ثُمَّ الْمَعْقُوْلُ ، وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُوْنَ هَذَا فِي مَوْضِعِ الِاخْتِيَارِ .

"Ia (hadits di atas) menurut kebanyakan ulama berarti (syari’at izin) dalam rangka keharmonisan rumah-tangga dan menjaga perasaan ridha suami. Telah dinukil dari al-Imam al-Syafi’i perkataan bahwa hadits tersebut tidak shahih, bagaimana kami katakan shahih sementara al-Qur’an bertentangan dengannya, demikian pula hadits, atsar, dan logika; dan mungkin saja (jika memang shahih) ini dalam posisi sebagai pilihan (untuk izin atau tidak).”[x]

Walhasil, jika dikembalikan kepada pertanyaan penanya. Hadits tersebut adalah hasan, namun memungkinkan tertolak karena menyelisihi nash-nash yang lebih kuat sebagaimana dikatakan al-Imam al-Syafi’i. Kalaupun diterima dan dikompromikan, maka larangan padanya sebatas untuk menjaga keharmonisan rumah-tangga dan ridha suami saja sebagaimana pendapat jumhur, bukan larangan tegas yang menunjukkan keharaman. Adapun pendapat al-Imam Malik dan Thawus yang mengatakan bahwa batasan berlakunya hadits tersebut jika pembelanjaan melebihi sepertiga harta, untuk bisa diterima maka dibutuhkan dalil penunjang yang menerangkan batasan tersebut. Mengingat sepertiga harta itu tergolong banyak bukan sedikit, yakni pada sabda Nabi saw terkait wasiat (al-tsuluts katsîr). Adapun pendapat al-Imam al-Laits yang tidak kenal kompromi, maka tertolak dengan nash-nash shahih yang menyelisihi hadits di atas.Wallâhu a’lam []

Malang, 18 Dzul Qa’dah 1436
_________________________


[i] Ahmad bin Hambal, al-Musnad. nomor hadits 6552

[ii] Al-Nasai, Sunan al-Nasâî al-Shughrâ. nomor hadits 2504

[iii] Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud. nomor hadits 3083

[iv] Lihat Nail al-Authâr, Muhammad bin Ali al-Syaukani (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 6/20.

[v] Lihat al-Mustadrak, Muhammad bin Abdullah al-Hakim. nomor hadits 2299.

[vi] Ibid.

[vii] Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authâr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 6/20.

[viii] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad. nomor hadits 4895.

[ix] Muslim bin Hajjaj, al-Musnad al-Shahîh. nomor hadits 884.

[x] Al-Sindi, Sunan al- Nasâî bi Hâsyiat al-Sindî (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1420 H), 6/279.

Sumber: http://www.malang-bersyariah.com/index.php/82-tanya-jawab/128-hak-istri-dalam-membelanjakan-harta.html

0 comments:

Posting Komentar