Seberapa Pentingkah Belajar Ilmu Agama?

Jumat, April 24, 2015
0
Seberapa Pentingkah Belajar Ilmu Agama?

Berikut ini hadits Nabi saw yang biasa dikenal dalam bab anjuran belajar.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : طلب العلم فريضة على كل مسلم . (رواه البيهقي في شعب الإيمان

Dari Anas bin Malik ra, dari Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iimaan)

Sebelum membahasnya, ada baiknya kami ketengahkan terlebih dahulu kajian sanad hadits di atas. Hadits tersebut –dengan terbatas pada redaksi tersebut– juga diriwayatkan oleh Ibn ‘Adiy, Al-Hakim dalam Al-Kunaa, Ibn ‘Abdilbarr dalam Kitaab Al-’Ilm, Tamam, Al-Khathib, Ibn ‘Asakir, dan Ibn An-Najjar dari jalur Anas bin Malik ra; Ath-Thabarani dan Tamam dari jalur ‘Abdullah bin ‘Abbas ra; Tamam, Ibn ‘Asakir, Al-Khalili, dan Ar-Rafi’i dari jalur ‘Abdullah bin ‘Umar ra; Al-Khathib dan Ibn ‘Asakir dari jalur ‘Ali bin Abi Thalib ra; Ath-Thabarani Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, Tamam, Al-Khathib, dan Ibn ‘Asakir dari jalur Abu Sa’id Al-Khudri ra; Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Adh-Dhiya’, Al-Khathib, dan Ibn An-Najjar dari jalur Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib ra; dan terakhir Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir dan Al-Mu’jam Al-Ausath dan Ibn ‘Asakir dari jalur ‘Abdullah bin Mas’ud ra. (As-Suyuthi, Al-Jaami’ Al-Kabiir, hadits nomor 17 dari maddah ath-tha’).

Menurut para ulama hadits, jalur-jalur periwayatan di atas semuanya dha’if (lemah) karena mengandung illat (cacat). Al-Imam Al-Baihaqi saat mengomentari salah satu jalur mengatakan:

هذا الحديث شبه مشهور وإسناده ضعيف وقد روي من أوجه كلها ضعيفة

“Hadits ini mirip hadits masyhur tapi sanadnya lemah, bahkan dia telah diriwayatkan melalui banyak jalur yang semuanya lemah.” (Al-Baihaqi, Syu’ab Al-Iimaan, juz 2 hlm 253)

Senada, Al-Imam Ibn ‘Abdilbarr sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Az-Zarkasyi beliau mengatakan:

روي من وجوه كلها معلولة ، ثم روي عن إسحاق بن راهويه أن في أسانيده مقالا ، ولكن معناه صحيح

“Dia diriwayatkan melalui banyak jalur yang semuanya ber’illat (mengandung cacat). Diriwayatkan dari Ishaq bin Rahawaih (beliau mengatakan): bahwa pada sanadnya terdapat sangsi, akan tetapi arti daripada hadits tersebut adalah benar.” (Az-Zarkasyi, At-Tadzkirah fii Al-Ahaadiits Al-Musytaharah, juz 1 hlm 43)

Namun meskipun demikian, dalam ilmu hadits terdapat kaidah bahwa hadits dha’if apabila ditopang dengan jalur periwayatan yang berjumlah banyak bisa terangkat derajatnya menjadi hadits hasan, karena masing-masing jalan periwayatan tersebut saling menguatkan satu sama lainnya. Nah, hal ini bisa berlaku pada hadits di atas. Oleh karenanya Al-Imam Al-Hafizh Al-Mizzi penulis kitab Tahdziib Al-Kamaal fii Asmaa’ Ar-Rijaal terkait hadits tersebut mengatakan sebagaimana dikutip oleh Al-Imam Az-Zarkasyi:

وقال الحافظ جمال الدين المزي هذا حديث روي من طرق تبلغ رتبة الحسن

Al-Hafizh Jamaluddin Al-Mizzi berkata: “Hadits ini diriwayatkan melalui banyak jalan yang jumlahnya mencapai derajat hasan.” (Az-Zarkasyi, At-Tadzkirah fii Al-Ahaadiits Al-Musytaharah, juz 1 hlm 43)

Al-Imam Al-Hafizh Al-Munawi juga menyatakan hal serupa terkait hadits itu:

وأسانيده ضعيفة لكن تقوى بكثرة طرقه

“Sanad-sanadnya lemah akan tetapi menjadi kuat karena banyaknya jalur periwayatannya.” (Al-Munawi, At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami’ Ash-Shaghiir, juz 2 hlm 226)

Jadi bisa dikatakan bahwa hadits di atas adalah dha’if apabila ditinjau dari satuan jalur periwayatannya, akan tetapi dia hasan apabila ditinjau dari semua jalur periwayatannya secara kolektif. Kekuatan kolektif semacam ini hanya sebatas mengantarkan hadits dha’if menuju derajat hasan saja, tidak sampai derajat shahih. Tapi derajat hasan saja sudah cukup membuat hadits tersebut tergolong maqbuul (diterima) sebagai dasar suatu amalan, selama tidak ada nash yang lebih kuat yang menyelisihinya.

Adapun tambahan wa muslimatin ( ومسلمة ) yang biasa dikenal sebagai kelanjutan dari redaksi di atas, bukanlah bersal dari riwayat manapun. Dia merupakan tambahan yang datang belakangan dari sebagian ulama guna memperjelas bahwa hadits tersebut juga berlaku atas kaum wanita, semacam idraj jika itu dilakukan oleh perawi. Al-Imam As-Sakhawi sebagaimana dikutip oleh Al-Imam As-Sindi, beliau berkata:

ألحق بعض المصنفين بآخر هذا الحديث ومسلمة وليس لها ذكر في شيء من طرقه وإن كانت صحيحة المعنى

“Sebagian penulis kitab (ulama) menambahkan redaksi ومسلمة (dan muslimah) pada pungkasan hadits ini, tapi dia sama sekali tidak disebutkan dalam hadits menurut jalan periwayatan, sekalipun artinya benar.” (As-Sindi, Haasyiyah As-Sindii ‘alaa Ibn Maajah, juz 1 hlm 208)

Maka dari itu, apabila seseorang hendak menyebutkan tambahan tersebut, hendaknya tidak disertai anggapan bahwa tambahan itu datang dari Nabi saw. Demikian pula ketika hendak menyampaikannya kepada orang lain, hendaknya menyertakan keterangan bahwa tambahan tersebut bukan datang dari beliau. Demi agar terhindar dari dosa berdusta atas nama Rasulullah saw, menganggap beliau telah mengatakannya padahal tidak. Sebagaimana ancaman keras dalam hadits yang disepakati kemutawatirannya ini:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار . رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil bagian tempat di neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini berlaku meskipun kedustaan atas nama Nabi saw didasari maksud baik, terlebih-lebih niat buruk. Wallaahu a’lam.

Ini dari aspek sanad, adapun dari aspek makna maka isi hadits tersebut adalah benar adanya, sebagaimana telah disinggung oleh Al-Imam Ibn ‘Abdilbarr di atas, juga Al-Imam An-Nawawi ketika beliau ditanya tentangnya (lihat Syarh Musnad Abii Haniifah, Mula ‘Ali Al-Qari, hlm 538).

Hadits tersebut memberitakan bahwa hukum menuntut ‘ilmu adalah fardhu ‘ain. Kefardhuan ditunjukkan oleh lafazh fariidhah (kewajiban), dan sifat fardhu ‘ain ditunjukkan oleh lafazh ‘alaa kulli muslim (atas setiap muslim). Pertanyaan selanjutnya, ilmu yang bagaimanakah yang wajib diketahui oleh setiap muslim? Berikut ini penjelasannya.

Sejak seorang anak –baik laki-laki maupun perempuan– mengalami salah satu dari tanda-tanda baligh berikut ini.

    Mimpi basah (junub),
    Tumbuh bulu kasar di sekitar kemaluannya,
    Berusia 15 tahun,

Dan khusus wanita ditambah:

    Keluar darah haidh, dan
    Hamil,

Maka sejak itu pula goresan mata pena para malaikat pencatat amal kebaikan dan keburukan sudah dimulai baginya. Setiap langkah kakinya, gerakan tangannya, ucapannya, pandangan, lirikan, dan kedipan matanya, bahkan besitan hati dan pikirannya, tidak akan ada yang luput sedikitpun dari perhitungan Allah swt.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ * الزلزلة/7، 8

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya., dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”
(QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8)

Jika semua aktivitas itu dilakukan dalam rangka ketaatan maka dicatatlah ia baginya sebagai amal kebaikan, atau jika dilakukan dalam rangka kemaksiatan maka dicatatlah ia baginya sebagai amal keburukan, untuk kemudian dia pertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah swt di hari perhitugan. Allah swt berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ المدثر/38

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 38)

Tidak ada rukhshah (keringanan) bagi seorang hamba mukallaf dari perhitungan amal di atas (untuk tidak dicatat amalnya) kecuali dalam enam kondisi yang Rasulullah saw sebutkan dalam dua hadits yang berbeda. Pertama, sabda Beliau saw:

عن علي عليه السلام عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل . (رواه أبو داود

Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Pena catatan amal diangkat dari tiga hal; dari orang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia bermimpi (baligh), dan dari orang gila sampai dia berakal.” (HR. Abu Dawud)

Kedua, sabda Beliau saw:

عن أبي ذر الغفاري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه . (رواه ابن ماجه

Dari Abu Dzarr Al-Ghifari berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku dalam kondisi tidak sengaja, lupa, dan terpaksa.” (HR. Ibn Majah)

Dua hadits di atas dan yang semacamnya tidak menyebutkan atau menunjukkan keringanan berupa kondisi bodoh atau tidak tahu. Tidak ada penyebutan diangkatnya pena catatan amal saat seorang hamba dalam kondisi bodoh sampai dia mengerti, tidak pula Allah swt memaafkan hambaNya yang melakukan kesalahan karena kebodohannya, atau yang semacamnya.

Nah jika demikian adanya, bahwa di satu sisi Allah swt akan memintai pertanggungjawaban seluruh amal perbuatan setiap mukallaf sekecil apapun itu, dan di sisi lain tidak ada keringanan bagi seorang mukallaf yang bermaksiat atas dasar tidak tahu hukum (sementara dia punya kesempatan untuk mempelajarinya). Atau bahwasannya hukum asal perbuatan seorang hamba adalah terikat dengan hukum-hukum syara’, sehingga ketika hendak melakukan sesuatu dia dituntut untuk mengetahui terlebih dahulu apa hukumnya, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, dan ketika mau mengkonsumsi sesuatu dia juga dituntut untuk mengetahui dulu hukumnya apakah halal atau haram, karena hukum perbuatan maupun hukum benda tidak lepas dari semua itu. Maka wajib hukumnya bagi seorang mukallaf tersebut untuk mempelajari perkara-perkara penting yang tidak boleh tidak harus diketahui olehnya, terkait dengan semua itu. Yaitu berupa pertama ilmu Akidah yang dengannya amalan seorang hamba bisa diterima, karena Allah swt hanya menerima amalan orang-orang yang beriman dan ikhlash, yang tidak menyekutukanNya dengan siapapun.

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا الفرقان/23

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqaan [25]: 23)

Dan kedua ilmu Syari’at yang dengannya seseorang akan mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum perbuatan dan benda, juga dengannya pula setiap amal akan menjadi benar. Mengingat hadits Nabi saw:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَن مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ . رواه مسلم

Dari Aisyah ra beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak.” (HR. Muslim)

Karena merupakan syarat diterimanya amal adalah selain keimanan dan keikhlasan juga kesesuaiannya dengan tuntunan Allah swt dan Rasul-Nya saw.

Dua dimensi di atas tentu sangat luas, maka yang mendesak lebih diutamakan. Seperti mengetahui tatacara bersuci dan shalat yang benar, zakat dan shiyam, menutup ‘aurat dan menjaga pandangan, pernikahan. Kemudian terkait perkara-perkara mu’amalah, seputar mengenal cara-cara kepemilikan, pembelanjaan, dan pengembangan harta yang halal, dll. Atau ketika menghadapi suatu kejadian baru atau yang tidak dimengerti hukumnya, maka wajib mencari tahu. Juga mengetahui perkara-perkara yang hukumnya fardhu kifayah, seperti mengurus jenazah, hudud dan jinayat (hukum pidana), pembagian harta waris, dll. Al-Imam As-Sindi mengatakan:

ثم اعلم أن المراد بهذا العلم ، هو الذي لا يسع البالغ العاقل ، جهله ، أو علم ما يطرأ له خاصة ، أو أراد أنه فريضة على كل مسلم حتى يقوم به من فيه الكفاية.

“Ketahuilah bahwa yang dimaksud ilmu (pada hadits di atas) adalah ilmu yang tidak boleh bagi seseorang yang baligh dan berakal untuk tidak mengetahuinya. Atau ilmu tentang (hukum) apa-apa kejadian yang dialaminya secara khusus. Atau maksudnya adalah wajib atas setiap muslim hingga ada orang yang mumpuni yang melaksanakannya.” (As-Sindi, Syarh Musnad Abii Haniifah, hlm 538)

Terakhir, mari kita simak cuplikan kisah betapa cintanya para shahabat Nabi saw dengan ilmu,

عن ابن سيرين ، قال : أقطع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا من الأنصار يقال له سليط ، وكان يذكر من فضله أرضا ، قال : فكان يخرج إلى أرضه تلك ، فيقيم بها الأيام ، ثم يرجع ، فيقال له : لقد نزل من بعدك من القرآن كذا وكذا ، وقضى رسول الله صلى الله عليه وسلم في كذا وكذا ، قال : فانطلق إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله ، إن هذه الأرض التي أقطعتنيها قد شغلتني عنك ، فاقبلها مني ، فلا حاجة لي في شيء يشغلني عنك ، فقبلها النبي صلى الله عليه وسلم منه .

Dari Ibn Sirin, beliau berkata: Rasulullah saw (selaku kepala Negara Islam) membagikan sebidang tanah kepada seorang laki-laki Anshar, yang bernama Sulaith. Tanah tersebut merupakan tanah yang bagus (subur/produktif), Ibnu Sirin berkata: Adalah beliau (Sulaith) kemudian berangkat ke tahannya itu, dan beliau bermukim di sana untuk beberapa hari, lalu beliau kembali pulang. Kemudian dikatakan padanya: ‘Sungguh saat kamu pergi telah turun ayat ini dan itu, Rasulullah saw juga telah memutuskan perkara dalam perkara ini dan itu.’ Ibn Sirin berkata: Lalu pergilah Sulaith menghadap Rasulullah saw seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah saw, tanah yang telah engkau berikan kepadaku ini sungguh telah menjadikanku sibuk dari bersamamu (untuk belajar), maka aku kembalikan dia terimalah, aku tidak butuh sesuatu yang bisa menyibukkan diriku darimu,’ Maka Nabi saw menerimanya kembali. (Abu ‘Ubaid Al-Harawi, Al-Amwaal, juz 2 hlm 137)

Semoga yang sedikit ini bermanfaat untuk memotivasi kita semua agar senantiasa membajakan tekad dalam mendalami Islam dengan benar dan sebaik mungkin, semakin memperbagus kualias keislaman kita dengan apa yang diwariskan Nabi saw (baca: ilmu). Demi bisa hidup sesuai dengan fithrah (aturan dari sang Pencipta manusia), sebelum kemudian merasakan kenikmatan abadi di balik pintu kematian. Insyaallaah. Hidup adalah perkara serius, seserius kedatangan malaikat maut menunaikan tugasnya tatkala diutus, maka mari kita hadapi dengan serius pula sampai hembusan nafas dan detak jantung kita terputus. Wallaahu ta’aalaa a’lam

Malang, 10 Jumaadi Ats-Tsaaniyah 1434 / 21 April 2013

Azizi Fathoni K.

0 comments:

Posting Komentar